—Saiful Islam—
“Rumahku, itu dekat Bali. Pelabuhan
Ketapang, itu dulu tempat mainanku waktu remaja. Menjelang maghrib, Makku
sering bilang: Ayu masuk. Nanti ada Samar Wulu…”
Dalam tradisi Veda (kitab sucinya
Hindu), ada istilah Sura dan Asura. Sura dipercaya sebagai golongan makhluk
suci gaib metafisik yang sifat baiknya lebih dominan. Sura ini adalah para
dewa. Yaitu prajapati, astavasu, aditya, gandarwa (artis kahyangan), para rsi
surga, para pitra (roh leluhur), dan vidyadara-vidyadari.
Adapun Asura (disebut juga
Paisaca-Paisaci) juga dipercaya sebagai golongan makhluk gaib metafisika yang
sifat jahatnya lebih dominan. Sura dan Asura, dua-duanya diyakini memuja
Mahadewa (dewanya dewa). Yakni Tuhan. Tapi saat Asura memperoleh karunia dari
Mahadewa itu, mereka menyalahgunakannya. Yaitu malah ingin menguasai alam
surga. Atau alam para dewa. Bahkan sampai membangkang pada Tuhan. Golongan
kedua ini, kerap namanya berakhiran sura: Durgasura, Mahaesasura, Triparasura,
Tarakasura, dan lain-lain.
Jadi gampangnya, Sura itu golongan
‘makhluk halus’ metafisika yang baik. Sedangkan Asura adalah sebaliknya.
Golongan makhluk gaib metafisik yang tidak baik. Atau jahat. Tambahan ‘a’
seringkali kita temukan berarti tidak. Misalnya dalam Bahasa Indonesia kata
moral menjadi amoral. Susila menjadi asusila.
Baik Sura maupun Asura diyakini
awalnya memuja Mahadewa. Mahadewa ini merupakan salah satu dari tiga nama Tuhan
dalam agama Hindu (Trimurti: Shiwa, Brahma, dan Wisnu). Mahadewa berarti Tuhan
Yang Maha Besar. Nama lain Mahadewa adalah Shiwa. Di bumi, Shiwa ini dipercaya
bersemayam di Kailasha. Yaitu sebuah tempat suci di puncak gunung Himalaya.
Puncak Himalaya itu diyakini sebagai perbatasan antara alam nyata (fisik)
dengan surga.
Himalaya (tempat kediaman salju)
merupakan sebuah barisan pegunungan di Asia. Memisahkan anak benua India dari
dataran tinggi Tibet. Himalaya adalah lokasi gunung-gunung tertinggi di dunia.
Seperti Gunung Everest, Kangchenjunga, dan seterusnya. Memanjang sampai lima
negara. Yaitu Pakistan, India, Tiongkok, Bhutan, dan Nepal. Himalaya merupakan
sumber dua sistem sungai besar dunia. Yaitu Sungai Indus dan Sungai Ganga.
Ingat ya. Ini konteksnya keyakinan
Hindu. Sura dan Asura adalah ciptaan Tuhan. Keduanya memuja Tuhan. Interaksi
keduanya adalah saling bermusuhan. Satu protagonis dan satunya lagi, antagonis.
Sura dan Asura menjadikan manusia sebagai tempat reinkarnasi. Atau media
penjelmaan. Sehingga permusuhan Sura dan Asura itu lantas juga terjadi antar
manusia.
Tradisi Bali yang mayoritas Hindu,
menyebut golongan Asura itu dengan beberapa nama. Seperti Samar Agung, Wong
Samar, Sang Wengi, Pekak Wengi (kakek malam) atau Sang Wengi (makhluk gaib
metafisk penguasa malam), dan lain-lain. Diyakini bahwa makhluk gaib metafisik
ini aktivitasnya saat malam. Maghrib adalah saat keluar rumahnya. Dan pagi
merupakan waktu pulangnya. Sedangkan manusia di siang hari. Karenanya, manusia
dianggap tidak baik bekerja di malam hari.
Ada juga istilah Kala atau Bhuta
Kala. Ini diyakini sebagai makhluk gaib metafisik yang benar-benar sakti dengan
kekuatan negatif. Nama-namanya misalnya Kala Dengen, Kala Mertyu, dan seterusnya.
Meski negatif begitu, juga dipercaya sebagai bagian dari pasukan Sura.
‘Kaum’ Kala atau Bhuta Kala ini
dipercaya sering mengganggu kegiatan keagamaan. Makanya setiap orang Hindu
melaksanakan sebuah ritual, selalu membuat banten caru untuk Bhuta Kala (ritual
panulak atau penjinak Kala). Atau istilahnya nyomia Butha (menetralisir
kekuatan negatif dari Kala atau Butha). Bahkan setiap hari diwajibkan membuat
persembangan untuk golongan Bhuta Kala itu. Katanya, bukan untuk menyembah.
Tapi supaya mereka tidak mengganggu.
Bhuta Kala ini masih punya pimpinan
lagi. Namanya Sanghyang Indra Belaka. Atau istilah yang lain Mahakala. Inilah
yang diyakini sebagai rajanya Kala. Semua Bhuta Kala tunduk padanya.
Untuk mempermudah memberi
persembahan kepada para Asura itu, dibuatlah Palinggih. Yaitu semacam tempat
suci. Konsep agama Hindu dengan makhluk gaib metafisik itu adalah persahabatan.
Catat ini: jadi, konsep bahwa orang bisa bersahabat dengan makhluk gaib
metafisik ini adalah konsep Hindu. Jelas sekali. Meskipun persahabatan yang
dimaksud adalah bukan bersekutu. Tapi menghormati keberadaannya.
Begitu juga konsep Jin ala Kejawen.
Yaitu persahabatan. Berdamai. Bukan saling bermusuhan. Mirip keyakinan lokal
Bali pada umumnya. Menurut saya, agaknya Budaya Jawa ini juga terpengaruh oleh
keyakinan Hindu yang sudah dulu ada itu.
Rumah Sang Wengi, dipercaya ada di
pohon yang sudah tua. Atau rerumputan yang sudah berusia puluhan tahun. Juga
tinggal di batu, bukit kecil, dan paling banyak diyakini tinggal di goa yang
ada di jurang.
Tempat keramat, juga merupakan
keyakinan Hindu. Konsep Hindu. Semakin curam, seperti jurang, diyakini makhluk
gaib metafisik yang tinggal berderajat rendah. Sebaliknya semakin tinggi
tempat, tinggi pula derajat makhluk itu. Misalnya Dewa Hyang (leluhur), Bhatara
Kawitan, dan Dewa. Itulah alasan, kenapa banyak ditemukan pura pemujaan untuk
leluhur berada di bukit-bukit.
OK. Jadi begini. Kalau kalian
meyakini itu semua, silakan. Anda beragama Hindu, juga silakan. Tapi tolong.
Ini yang membuat saya keberatan. Sangat malah. Jangan campuradukkan keyakinan
Hindu itu dengan keyakinan Islam. Sebab ada yang mencampuradukkan seperti yang
akan saya ceritakan di bawah ini. Akan saya klarifikasi. Tentu keyakinan campur
aduk ini sangat berbahaya bagi kaum Muslim awam. Apalagi sampai dibawa mati.
Menurut kaca mata Akidah. Tauhid.
Ada yang menulis begini, “Bila
kita cermati tentang Iblis dan Jin dari ajaran Islam, sepertinya yang dimaksud
Iblis dalam ajaran Hindu adalah golongan Asura seperti raksasa, dlsb.”
Selanjutnya disebutkan, “Dalam kepercayaan Islam, ada juga istilah Jin Islam
(Jin yang beriman) dan Jin Kafir (Jin jahat). Ada juga Jin Qarin, Jin
pendamping manusia. Bahkan Nabi Muhammad memiliki Jin pendamping. Akan tetapi
Jin pendamping tersebut tunduk pada Nabi. Bahkan konon Nabi Sulaiman dibantu
Jin dalam perang.” Ini menurut saya, salah total. Fatal malah!
Pertama, menyamakan konsep
Sura—Asura dengan Jin konsep Islam. Tentu ini menyesatkan! Sura—Asura versi
Hindu itu adalah konsep makhluk gaib metafisik. Sedangkan Jin dalam Islam
(menurut hasil rekonstruksi saya), itu fisik semua. Yaitu energi atau
gelombang. Atau para pembesar. Atau orang asing. Tidak ada yang gaib metafisik.
Jelas sekali sekarang, ketahuan. Bahwa konsep Jin metafisik yang diyakini oleh
masyarakat Jawa-Madura-Sunda, atau Indonesia lah, itu ternyata terpengaruh oleh
konsep Hindu. Jangan-jangan Islam kalian masih begitu? Kita harus bersihkan.
Sebersih-bersihnya!
Pernyataan ini juga salah. “Dalam
kepercayaan Islam, ada juga istilah Jin Islam (Jin yang beriman) dan Jin Kafir
(Jin jahat).” Dengan maksud Jin Islam adalah Sura, dan Jin Kafir adalah
Asura. Tentu ini sesat. Yang dimaksud QS. Jin[72] ayat 11, 14, dan ayat 15 itu
orang asing. Yaitu orang Kristen non Arab. Jadi, orang. Bukan makhluk gaib
metafisik yang harus diberi persembahan itu.
“Ada juga Jin Qarin, Jin
pendamping manusia.” Ini juga menyesatkan. Silakan cari dalam Al-Qur’an from
cover to cover. Silakan ubek-ubek Qur’an itu. Pasti kalian tidak akan
menemukan istilah Jin Qorin itu. Tidak ada. Dan tolong jangan mengada-ada. Kata
Qoriin dalam QS. Al-Nisa[4] ayat 38, atau QS. Al-Zukhruf[43] ayat 36 dan
38 itu adalah Setan. Yaitu sifat yang membuat orang jauh dari rahmat Allah.
Bukan Jin gaib metafisik. Sedangkan QS. Qof[50]: 16 sampai 29 itu adalah
Malaikat. Bukan Jin!
“Bahkan Nabi Muhammad memiliki Jin
pendamping. Akan tetapi Jin pendamping tersebut tunduk pada Nabi.” Tentu ini
pernyataan ngawur. Tidak pernah ada pernyataan Allah dalam Qur’an yang menyebut
bahwa Nabi Muhammad punya Jin gaib metafisik. Apalagi disamakan dengan konsep
Sura-Asura. Saya tegaskan bahwa pernyataan ini menyesatkan! Nabi tidak pernah
punya Jin gaib metafisik!!
Pernyataan yang tak kalah ngawurnya
adalah ini, “Bahkan konon Nabi Sulaiman dibantu Jin dalam perang.”
Mengaitkan konteks Sura-Asura dengan Jin Nabi Sulaiman, tentu saja salah total.
Jin Nabi Sulaiman itu para pembesarnya. Kalau sekarang para menterinya. Atau
para panglima perangnya. Bukan makhluk gaib metafisika Sura-Asura ala Hindu
itu. Jadi sekali lagi, tolong jangan menyama-nyamakan atau mengait-ngaitkan konsep
Hindu itu dengan konsep Islam.
Puncak kengawuran itu adalah
pernyataan ini, “Kita sebagai masyarakat Indonesia sering mendengar istilah
Jin, istilah yang berasal dari ajaran Islam. Katanya, Jin merupakan turunan
dari Iblis. Dan kemudian mereka beranak pinak sebagaimana layaknya manusia.
Mereka memiliki jenis kelamin dan tinggal di berbagai tempat. Seperti batu,
kuburan, tempat kotor, pohon, dan lain sebagainya.” Kalau saya jawab,
katanya siapa?! Jangan mengada-ada!! Tidak ada dalam Qur’an satu ayat pun yang
menggambarkan Jin seperti itu. Tidak ada!!!
Adapun versi keyakinan Buddha,
Asura merupakan golongan makhluk gaib metafisik non dewa. Tapi bukan hantu.
Mereka menghuni salah satu alam kehidupan (antah berantah). Karena masih
menjalani reinkarnasi akibat karma yang dilakukan pada kehidupan sebelumnya.
Asura disebut sebagai makhluk gaib metafisik yang menghuni bagian bawah gunung
Sumeru. Masih suka melekat pada kenikmatan duniawi. Iri hati dan berseteru
dengan dewa.
PR Kawan-Kawan sekalian adalah ini.
Coba bandingkan keyakinan Hindu dan Buddha ini dengan keyakinan
Animisme-Dinamisme!
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar