—Saiful Islam—
“Ternyata. Al-naffaatsaat fi al-‘uqod
itu bukan para perempuan penyihir…”
QS. Al-Falaq[113]: 4
وَمِنْ شَرِّ
النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“Dan
dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul
(talinya).
QS. Al-Nas[114]: 4 – 6
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ
الْخَنَّاسِ
“Dari
kejahatan (bisikan) Setan yang bersembunyi.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي
صُدُورِ النَّاسِ
“Yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“Dari
(golongan) jin dan manusia.”
Pertama kata al-nafts dalam wa
min syarri al-naffaatsaat fi al-‘uqod. Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an mengartikan al-nafts adalah orang yang meludah.
Tapi ludahnya atau riyaknya sedikit. Gampangnya al-natfs itu berarti
meludah yang ludahnya sedikit sekali.
Kata al-nafts jika
konteksnya adalah ular, misalnya al-hayyat tanfuts al-summ, maka artinya
ular yang sedang mematuk. Atau ular yang sedang mengeluarkan bisanya
(racunnya). Uloe ngepros, kata orang Banyuwangi. Atau dicetol ulo.
Dipatuk ular. Ular itu kalau menggigit memang sekaligus mengeluarkan racun.
Sedangkan dalam Lisan al-‘Arab,
arti kata al-nafts ini mirip dengan kata nafakha. Kata nafakha
berarti meniup atau menghembus sesuatu. Jadi kata nafatsa itu serupa
atau mirip dengan nafakha yang berarti meniup. Menurut satu pendapat,
kata al-nafts itu meludah sekaligus riyaknya.
Selain bisa dikapai untuk ular,
kata al-nafts juga dipakai untuk darah yang keluar karena luka.
Di dalam Hadis diceritakan bahwa
Nabi bersabda, “Ruh qudus (Malaikat Jibril) menghembus (nafatsa) ke
dalam jiwaku atau hatiku atau pikiranku.” Menurut Abu Ubayd Jibril itu seperti
meniup dengan mulut. Serupa dengan nafakha (meniup). Yakni Jibril. Yaitu
ia mewahyukan atau menyampaikan wahyu.
Dalam doa iftitah (pembukaan)
sholat, ada Hadis yang berbunyi: Allohumma inniy a’udzu bik min al-syaythoon
al-rojiim min hamazih wa naftsih wa nafkhih. Yakni, “Ya Allah. Aku
berlindung kepada-Mu dari Setan yang terkutuk dari segala bisikan dan inspirasi
jahatnya.”
Masih menurut Lisan al-‘Arab.
Dan ini yang sangat penting dicatat. Bahwa al-nafts dalam Hadis,
tafsirnya adalah syair. Atau puisi. Atau sajak. Menurut Abu ‘Ubayd, al-nafts
itu memang untuk menyebut syair. Itulah arti asalnya. Ingat, arti asalnya.
Memang di kedua buku ini disebut
juga istilah nafts al-rooqiy wa al-saahir. Tiupan pembaca mantra atau
jompa-jampi atau tiupan penyihir. Serta al-naffaatsaat fi al-‘uqod yang
disebut sebagai penyihir perempuan.
Jadi, terjemah perempuan-perempuan
penyihir yang terinspirasi arti meniup, itu bukan arti satu-satunya. Masih ada
arti yang lain seperti mematuk dan syair. Bahkan arti asalnya adalah meludah.
Tergantung konteks kalimatnya. Diartikan meniup, itu pun hanya diserupakan
dengan nafakha. Arti asal al-nafts adalah meludah. Bukan meniup.
Sedangkan al-‘uqod (Bahasa
Indonesianya akad), itu berasal dari kata al-‘aqd yang berarti mengumpulan
antara ujung-ujung sesuatu. Digunakan untuk benda-benda yang keras (padat).
Seperti mengikat tali dan mengikat bangunan. Maksudnya, bangunan-bangunan
sederhana dulu, itu menyatukannya dengan memakai tali. Agaknya belum ada paku
dan peralatan modern seperti sekarang.
Kemudian makna al-‘uqod itu
dipinjamkan (isti’aaroh dalam teori Sastra Arab), untuk banyak makna.
Seperti akad jual beli, akad perjanjian, dan lain-lain. Termasuk juga akad
pernikahan. Akad jual beli, maksudnya perjanjian jual beli. Yaitu sebuah MOU (memorandum
of understanding), semacam dokumen legal yang menjelaskan persetujuan
antara dua belah pihak terkait jual beli atau bisnis. Begitu juga untuk
perjanjian-perjanjian yang lain.
Allah memerintahkan supaya kita
komitmen dan konsisten dengan akad-akad yang kita lakukan antar manusia. Jangan
merusaknya. Jangan mengkhianatinya. Jangan saling merusak dan mengkhianati
akad-akad yang telah kalian buat. Yang telah kalian sepakati. Jangan
sembarangan dengan janji-janji dan akad-akad yang telah kalian buat. Supaya
selamat, sukses, dan bahagia. Dunia akhirat. Sebagaimana misalnya direkam dalam
ayat berikut ini.
QS. Al-Maidah[5]: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman,
PENUHILAH AKAD-AKAD ITU. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.
Dengan begitu, makna al-‘uqod
itu tidak hanya makna sebenarnya. Makna hakikinya. Makna denotatifnya. Yaitu
ikatan, atau ikatan tali atau ikatan benda-benda padat. Tapi bisa juga untuk
makna kiasannya. Makna majasnya. Makna konotatifnya. Yaitu perjanjian. Akad.
Yang dalam oleh KBBI diartikan janji, perjanjian, dan kontrak atau ikatan
kerja.
Maka frase al-naffaatsaat fi
al-‘uqod yang berarti meludah atau meniup dalam ikatan-ikatan, itu tidak
hanya bisa diartikan makna tekstualnya. Yakni makna hakikinya. Tapi juga bisa
dimaknai makna majaznya. Makna kiasannya. Makna konotatifnya. Alias makna
kontekstualnya. Bahkan harus dilakukan takwil. Yaitu mengalihkan makna
hakikinya kepada makna majaz karena konteks yang tidak memungkinkan untuk dimaknai
secarai hakikinya. Karena sihir magis itu tidak masuk akal. Baik secara
definisi kata sihir itu sendiri, secara Qur’aniy, maupun secara saintifik.
Menurut makna hakikinya saja, Allah
sama sekali tidak menyebut sihir magis di situ. Ayat itu cuma menyebut, al-naffaatsaat
fi al-‘uqod. Kejahatan perempuan yang ‘meniup’ (negatif) ikatan-ikatan. Ayat
ini dipaksa ditarik ke makna sihir magis, agaknya para penerjemahnya
terpengaruh Hadis lemah yang kemarin sudah saya kritisi itu. Sehingga konteks
ayat itu dicocok-cocokkan dengannya.
Maka menurut saya, pemahamannya begini.
Wa min syarri al-naffaatsaat fi al-‘uqod. Aku berlindung
kepada-Mu dari perempuan-perempuan tukang fitnah. Tukang ghibah. Tukang adu-domba.
Tukang desas-desus. Tukang sebar hoax. Para perempuan yang karena fitnahnya. Karena
ghibahnya. Karena adu-dombanya. Karena hoax-nya. Dan karena
desas-desunya, membuat orang terpengaruh sehingga merusak akad-akadnya. Mengkhianati
janji-janjinya. MOU-nya.
Perempuan-perempuan yang berkata, “Mbak.
Tahukah kamu. Suamimu selingkuh dengan temanku.” Padahal suaminya baik-baik. Fitnah
itu kalau tidak diklarifikasi, bisa merusak akad pernikahan keduanya. Alias cerai.
Perempuan-perempuan yang memprovokasi, “Pak. Jangan libatkan lagi si Fulan
dalam proyek kita. Kerjanya tidak becus. Suka menggarong uang haram.” Padahal
si Fulan orang baik-baik dan profesional. Tentu saja, itu bisa membuat si Bos
memutus kontrak kerja (akad) dengan si Fulan. “Sudah Pak. Batalkan saja
kontraknya. Harganya terlalu mahal. Kualitasnya terbukti buruk di lapangan.
Kami bisa memberi Bapak hasil yang jauh lebih bagus. Dengan harga yang lebih
murah.” Dan lain seterusnya.
Dan kalau melihat ayat ke-5 Surat
Al-Falaq ini, “Dan dari kejahatan orang yang dengki,” sekan-akan konteks
keseluruhannya memang mengarah kepada ghibah, fitnah, adu-domba, hoax, dan desas-desus
ini. Sebabnya adalah iri, dengki, dan sombong. Orang yang sudah dengki, memang
bisa gelap mata, gelap hati. Bakal menghalalkan segala cara untuk menghabisi orang
sasarannya. Dan cara paling mudahnya adalah dengan menebar fitnah dan hoax
itu.
Surat berikutnya, yakni Al-Nas ayat
4 sampai 6, seakan-akan menegaskan. Bahwa fitnah, hoax, adu domba, dan
desas-desus mereka itu memang bisa berdampak pada orang sasarannya jika tidak
diklarifikasi. Fitnah itu benar-benar bisa membuat was-was hati sasarannya.
Apalagi bagi orang awam yang tak terbiasa klarifikasi, pasti fitnah para
perempuan jahat itu akan membuat takut hatinya. Curiga. Khawatir. Sedih. Dan sampai
putus asa. Para perempuan jahat inilah al-khunnas (Setan) itu. Yaitu
sifat Setan yang sudah meliputi manusia.
Kita berlindung kepada Allah.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar