Jumat, 09 Agustus 2019

PEREMPUAN-PEREMPUAN PENEBAR FITNAH


—Saiful Islam—

“Ternyata. Al-naffaatsaat fi al-‘uqod itu bukan para perempuan penyihir…”

QS. Al-Falaq[113]: 4

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“Dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya).

QS. Al-Nas[114]: 4 – 6
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan (bisikan) Setan yang bersembunyi.

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“Dari (golongan) jin dan manusia.”
           
Pertama kata al-nafts dalam wa min syarri al-naffaatsaat fi al-‘uqod. Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an mengartikan al-nafts adalah orang yang meludah. Tapi ludahnya atau riyaknya sedikit. Gampangnya al-natfs itu berarti meludah yang ludahnya sedikit sekali.

Kata al-nafts jika konteksnya adalah ular, misalnya al-hayyat tanfuts al-summ, maka artinya ular yang sedang mematuk. Atau ular yang sedang mengeluarkan bisanya (racunnya). Uloe ngepros, kata orang Banyuwangi. Atau dicetol ulo. Dipatuk ular. Ular itu kalau menggigit memang sekaligus mengeluarkan racun.

Sedangkan dalam Lisan al-‘Arab, arti kata al-nafts ini mirip dengan kata nafakha. Kata nafakha berarti meniup atau menghembus sesuatu. Jadi kata nafatsa itu serupa atau mirip dengan nafakha yang berarti meniup. Menurut satu pendapat, kata al-nafts itu meludah sekaligus riyaknya.

Selain bisa dikapai untuk ular, kata al-nafts juga dipakai untuk darah yang keluar karena luka.

Di dalam Hadis diceritakan bahwa Nabi bersabda, “Ruh qudus (Malaikat Jibril) menghembus (nafatsa) ke dalam jiwaku atau hatiku atau pikiranku.” Menurut Abu Ubayd Jibril itu seperti meniup dengan mulut. Serupa dengan nafakha (meniup). Yakni Jibril. Yaitu ia mewahyukan atau menyampaikan wahyu.

Dalam doa iftitah (pembukaan) sholat, ada Hadis yang berbunyi: Allohumma inniy a’udzu bik min al-syaythoon al-rojiim min hamazih wa naftsih wa nafkhih. Yakni, “Ya Allah. Aku berlindung kepada-Mu dari Setan yang terkutuk dari segala bisikan dan inspirasi jahatnya.”

Masih menurut Lisan al-‘Arab. Dan ini yang sangat penting dicatat. Bahwa al-nafts dalam Hadis, tafsirnya adalah syair. Atau puisi. Atau sajak. Menurut Abu ‘Ubayd, al-nafts itu memang untuk menyebut syair. Itulah arti asalnya. Ingat, arti asalnya.

Memang di kedua buku ini disebut juga istilah nafts al-rooqiy wa al-saahir. Tiupan pembaca mantra atau jompa-jampi atau tiupan penyihir. Serta al-naffaatsaat fi al-‘uqod yang disebut sebagai penyihir perempuan.

Jadi, terjemah perempuan-perempuan penyihir yang terinspirasi arti meniup, itu bukan arti satu-satunya. Masih ada arti yang lain seperti mematuk dan syair. Bahkan arti asalnya adalah meludah. Tergantung konteks kalimatnya. Diartikan meniup, itu pun hanya diserupakan dengan nafakha. Arti asal al-nafts adalah meludah. Bukan meniup.

Sedangkan al-‘uqod (Bahasa Indonesianya akad), itu berasal dari kata al-‘aqd yang berarti mengumpulan antara ujung-ujung sesuatu. Digunakan untuk benda-benda yang keras (padat). Seperti mengikat tali dan mengikat bangunan. Maksudnya, bangunan-bangunan sederhana dulu, itu menyatukannya dengan memakai tali. Agaknya belum ada paku dan peralatan modern seperti sekarang.

Kemudian makna al-‘uqod itu dipinjamkan (isti’aaroh dalam teori Sastra Arab), untuk banyak makna. Seperti akad jual beli, akad perjanjian, dan lain-lain. Termasuk juga akad pernikahan. Akad jual beli, maksudnya perjanjian jual beli. Yaitu sebuah MOU (memorandum of understanding), semacam dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah pihak terkait jual beli atau bisnis. Begitu juga untuk perjanjian-perjanjian yang lain.

Allah memerintahkan supaya kita komitmen dan konsisten dengan akad-akad yang kita lakukan antar manusia. Jangan merusaknya. Jangan mengkhianatinya. Jangan saling merusak dan mengkhianati akad-akad yang telah kalian buat. Yang telah kalian sepakati. Jangan sembarangan dengan janji-janji dan akad-akad yang telah kalian buat. Supaya selamat, sukses, dan bahagia. Dunia akhirat. Sebagaimana misalnya direkam dalam ayat berikut ini.

QS. Al-Maidah[5]: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, PENUHILAH AKAD-AKAD ITU. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

Dengan begitu, makna al-‘uqod itu tidak hanya makna sebenarnya. Makna hakikinya. Makna denotatifnya. Yaitu ikatan, atau ikatan tali atau ikatan benda-benda padat. Tapi bisa juga untuk makna kiasannya. Makna majasnya. Makna konotatifnya. Yaitu perjanjian. Akad. Yang dalam oleh KBBI diartikan janji, perjanjian, dan kontrak atau ikatan kerja.

Maka frase al-naffaatsaat fi al-‘uqod yang berarti meludah atau meniup dalam ikatan-ikatan, itu tidak hanya bisa diartikan makna tekstualnya. Yakni makna hakikinya. Tapi juga bisa dimaknai makna majaznya. Makna kiasannya. Makna konotatifnya. Alias makna kontekstualnya. Bahkan harus dilakukan takwil. Yaitu mengalihkan makna hakikinya kepada makna majaz karena konteks yang tidak memungkinkan untuk dimaknai secarai hakikinya. Karena sihir magis itu tidak masuk akal. Baik secara definisi kata sihir itu sendiri, secara Qur’aniy, maupun secara saintifik.

Menurut makna hakikinya saja, Allah sama sekali tidak menyebut sihir magis di situ. Ayat itu cuma menyebut, al-naffaatsaat fi al-‘uqod. Kejahatan perempuan yang ‘meniup’ (negatif) ikatan-ikatan. Ayat ini dipaksa ditarik ke makna sihir magis, agaknya para penerjemahnya terpengaruh Hadis lemah yang kemarin sudah saya kritisi itu. Sehingga konteks ayat itu dicocok-cocokkan dengannya.

Maka menurut saya, pemahamannya begini. Wa min syarri al-naffaatsaat fi al-‘uqod. Aku berlindung kepada-Mu dari perempuan-perempuan tukang fitnah. Tukang ghibah. Tukang adu-domba. Tukang desas-desus. Tukang sebar hoax. Para perempuan yang karena fitnahnya. Karena ghibahnya. Karena adu-dombanya. Karena hoax-nya. Dan karena desas-desunya, membuat orang terpengaruh sehingga merusak akad-akadnya. Mengkhianati janji-janjinya. MOU-nya.

Perempuan-perempuan yang berkata, “Mbak. Tahukah kamu. Suamimu selingkuh dengan temanku.” Padahal suaminya baik-baik. Fitnah itu kalau tidak diklarifikasi, bisa merusak akad pernikahan keduanya. Alias cerai. Perempuan-perempuan yang memprovokasi, “Pak. Jangan libatkan lagi si Fulan dalam proyek kita. Kerjanya tidak becus. Suka menggarong uang haram.” Padahal si Fulan orang baik-baik dan profesional. Tentu saja, itu bisa membuat si Bos memutus kontrak kerja (akad) dengan si Fulan. “Sudah Pak. Batalkan saja kontraknya. Harganya terlalu mahal. Kualitasnya terbukti buruk di lapangan. Kami bisa memberi Bapak hasil yang jauh lebih bagus. Dengan harga yang lebih murah.” Dan lain seterusnya.

Dan kalau melihat ayat ke-5 Surat Al-Falaq ini, “Dan dari kejahatan orang yang dengki,” sekan-akan konteks keseluruhannya memang mengarah kepada ghibah, fitnah, adu-domba, hoax, dan desas-desus ini. Sebabnya adalah iri, dengki, dan sombong. Orang yang sudah dengki, memang bisa gelap mata, gelap hati. Bakal menghalalkan segala cara untuk menghabisi orang sasarannya. Dan cara paling mudahnya adalah dengan menebar fitnah dan hoax itu.

Surat berikutnya, yakni Al-Nas ayat 4 sampai 6, seakan-akan menegaskan. Bahwa fitnah, hoax, adu domba, dan desas-desus mereka itu memang bisa berdampak pada orang sasarannya jika tidak diklarifikasi. Fitnah itu benar-benar bisa membuat was-was hati sasarannya. Apalagi bagi orang awam yang tak terbiasa klarifikasi, pasti fitnah para perempuan jahat itu akan membuat takut hatinya. Curiga. Khawatir. Sedih. Dan sampai putus asa. Para perempuan jahat inilah al-khunnas (Setan) itu. Yaitu sifat Setan yang sudah meliputi manusia.

Kita berlindung kepada Allah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...