—Saiful Islam—
“Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh
tidak keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat.
Qur’an juga tidak keramat…”
Marzuki, mengutip Clifford Geertz,
menyatakan bahwa pada masa sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa
umumnya merupakan perpaduan seimbang antara animisme, Hindhu, dan Islam. Yaitu sebuah
sinkretisme (campur aduk) dasar yang menjadi tradisi masyarakat. Penelitian
Geertz ini lantas melahirkan tiga golongan masyarakat Jawa. Yakni golongan
priyayi, santri, dan abangan. Setiap golongan memiliki karakteristik
keberagamaan yang berbeda.
Priyayi itu menunjuk golongan
bangsawan atau keturunan kerajaan. Kalau sekarang seperti Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Keberagamaannya cenderung ke Hindu. Adapun santri, lebih menekankan
kepercayaan kepada Islam. Sedangkan abangan menekankan kepercayaannya pada
unsur-unsur lokal. Seperti ritual yang sering disebut slametan, kepercayaan
kepada makhluk halus metafisik, sihir dan magis.
Sinkretisme itu lantas memunculkan
istilah Islam kejawen. Atau agama Jawi. Yang menurut Koentjaraningrat merupakan
suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik
yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam.
Penganut Islam kejawen ini, pada
umumnya adalah masyarakat Muslim. Tapi tidak menjalankan ajaran Islam secara
keseluruhan. Sebab ada aliran kejawen yang juga dijalankan sebagai pedoman. Aliran
kejawen itu masih mempercayai ada kekuatan lain selain kekuatan Allah. Seperti
kekuatan roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh yang dianggap bisa
memberi berkah pada kehidupan seseorang.
Masyarakat Jawa ini memang memiliki
kebiasaan. Terutama yang menganut Islam kejawen. Seperti berziarah (mengunjungi)
makam-makam yang dianggap suci atau keramat pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at
Kliwon untuk mencari berkah. Di Jogja, ada makam raja-raja atau makam suci
Imogiri dan makam-makam lain yang dianggap keramat dan bisa membawa berkah itu.
Menurut saya, anggapan keramat itu
keliru. Tidak ada orang keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada
benda-benda pusaka keramat. Tidak ada pepohonan, gunung, atau materi apa pun di
dunia ini yang keramat. Tidak ada. Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh tidak
keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat.
Kalau ziarah kuburnya, is OK. Tapi anggapan keramat pada kuburan, itu salah. Dan
sesat menurut kacamata akidah Islam.
Ada lagi istilah Suran.
Yaitu semacam perayaan menyambut tahun baru Jawa. Tradisi Suran ini
banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan
yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbolkan Kanjeng Ratu Roro Kidul. Alias Ratu
Pantai Selatan (gaib metafisik). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton
Ngayogyakarta yang dipusatkan di Parangtritis—kawasan pantai selatan. Selain
Islam kejawen, tradisi ini juga diikuti oleh Non Muslim.
Menurut saya, Ratu pantai selatan
atau Nyai Roro Kidul itu mitos. Hayalan belaka. Kanjeng Ratu ini hanya sekadar
rekaan imajinasi manusia. Karangan. Tokoh fiktif. Sama persis dengan
kuntilanak, tuyul, genderuwo, dan kawan-kawannya. Santri haram mengimani yang
demikian. Kecuali kalau kalian Islam abangan. Tapi sebaiknya, jangan bawa-bawa
Islam. Abangan begitu saja. Atau kebatinan. Aliran kepercayaan. Atau apalah. Pokoknya
jangan Islam.
Di Desa Traji, Kecamatan Parakan,
Kabupaten Temanggung, juga memiliki tradisi Suran ini. Yaitu salah satu
upaca ritual untuk melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang serta dalam
rangka perayaan atau tasyakkuran datangnya tahun baru dalam kalender Jawa.
Keunikan tradisi ini adalah pengambilan air di sumber mata air Sendhang
Sidhukun dan kirab pengantin pembawa sesaji. Dilanjutkan dengan malam tirakatan
ke makam Simbah Kyai Adam Muhammad. Keyakinan masyarakat setempat, upacara ini
wajib dilakukan. Kalau tidak, maka akan terjadi musibah atau malapetaka.
Menurut saya, kalau sekadar
perayaan dan tasyakuran secara umum, itu masih ditolelir dalam Islam. Tapi kalau
sudah sesaji (sajen) yang dipersembahkan untuk Tuhan atau arwah, baru
ini keliru. Keyakinan bahwa kalau tidak tidak melakukan upacara (ritual) akan
terjadi musibah, menurut saya, ini sesat. Dalam Islam tidak ada keyakinan
seperti itu. Tidak boleh ngarang-ngarang soal keyakinan.
Jadi, ciri Islam kejawen itu
mempunyai keyakinan (akidah) pada sesuatu yang dianggap gaib (metafisik) yang
memiliki kekuatan seperti Tuhan. Mereka juga punya upacara atau perilaku ritual
seperti melakukan persembahan. Misalnya dengan sesaji. Atau berdoa kepada Tuhan
dengan berbagai cara tertentu. Seperti berdoa melalui perantara gaib metafisik.
Bahkan sekarang pun di masjid saya
masih mendengar doa kurang lebih seperti ini, “Yaa sayyidiy yaa Rasuulalloh.
Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Ya Syeikh Abdul Qodir Jailaniy. Innaa
natawassalu bika ilaa robbika fii qodhoi haajaatina…” (Wahai tuanku wahai
Rasulalloh. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Syaikh Abdul
Qadir Jailaniy. Sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai perantara kepada
Tuhan engkau. Agar Ia mengabulkan hajat-hajat kami. Ia membacanya setelah
shalat berjamaah dalam posisi berdoa—kedua tangan diangkat.
Saya termasuk yang tidak setuju
dengan cara berdoa dengan perantara-perantara
seperti ini. Allah itu sudah amat sangat dekat dengan kita (QS.50:16).
Dan berdoa itu memang harus langsung kepada Allah (QS.40:60). Redaksi yang
benar mestinya, “Yaa Alloh… Robbanaa… Allohummaa…,” dan semisalnya seperti
doa-doa yang dicontohkan dalam Qur’an dan Hadis. Menurut saya, keyakinan roh orang
yang sudah mati dapat memberi manfaat kepada orang yang masih hidup itu sudah
terpengaruh keyakinan animisme-dinamisme dan Hindu-Buddha.
Bagi masyarakat Jawa santri, jelas
dan tegas. Bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali sumbernya dari Allah. laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tapi
masyarakat Jawa abangan, Nyai Roro Kidul dipercaya ada dan memiliki kekuatan
yang bisa menentukan nasib seseorang. Serta benda-benda pusaka, kuburan, sampai
roh leluhur.
Sekali lagi, tidak ada benda-benda pusaka
keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada roh atau arwah keramat. Bahkan
Qur’an itu pun tidak keramat. Keramat dalam artian mengandung kekuatan magis.
Masyarakat abangan juga mempunyai
tradisi upacara-upacara keagamaan (ritual) sebagai ungkapan persembahan kepada
Tuhan. Seperti upacara labuhan di pantai Parangtritis, upacara ruwatan
(Jawa) atau ruatan (Sunda)—ritual membuang atau menolak sial atau
apes, upacara kelahiran sampai kematian seseorang, upacara tahun baru Jawa (suran),
dan bentuk-bentuk ritual semisalnya.
Saya termasuk yang tidak percaya
pada kesialan atau apes sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Karenanya tidak
perlu dilakukan ritual-ritual tertentu. Berdoa saja langsung kepada Allah supaya
selalu untung, sukses, menang dan bahagia dunia akhirat. Dilanjutkan dengan
ikhtiar (kerja) yang baik dan halal serta amal salih. Kelahiran dan kematian
seseorang juga tidak perlu dilakukan ritual. Kalau memang harus, cukup dinamai
syukuran saja.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar