Sabtu, 31 Agustus 2019

ABANGAN BUKAN ISLAM


—Saiful Islam—

“Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh tidak keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat. Qur’an juga tidak keramat…”

Marzuki, mengutip Clifford Geertz, menyatakan bahwa pada masa sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa umumnya merupakan perpaduan seimbang antara animisme, Hindhu, dan Islam. Yaitu sebuah sinkretisme (campur aduk) dasar yang menjadi tradisi masyarakat. Penelitian Geertz ini lantas melahirkan tiga golongan masyarakat Jawa. Yakni golongan priyayi, santri, dan abangan. Setiap golongan memiliki karakteristik keberagamaan yang berbeda.

Priyayi itu menunjuk golongan bangsawan atau keturunan kerajaan. Kalau sekarang seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Keberagamaannya cenderung ke Hindu. Adapun santri, lebih menekankan kepercayaan kepada Islam. Sedangkan abangan menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur lokal. Seperti ritual yang sering disebut slametan, kepercayaan kepada makhluk halus metafisik, sihir dan magis.

Sinkretisme itu lantas memunculkan istilah Islam kejawen. Atau agama Jawi. Yang menurut Koentjaraningrat merupakan suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam.

Penganut Islam kejawen ini, pada umumnya adalah masyarakat Muslim. Tapi tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan. Sebab ada aliran kejawen yang juga dijalankan sebagai pedoman. Aliran kejawen itu masih mempercayai ada kekuatan lain selain kekuatan Allah. Seperti kekuatan roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh yang dianggap bisa memberi berkah pada kehidupan seseorang.

Masyarakat Jawa ini memang memiliki kebiasaan. Terutama yang menganut Islam kejawen. Seperti berziarah (mengunjungi) makam-makam yang dianggap suci atau keramat pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon untuk mencari berkah. Di Jogja, ada makam raja-raja atau makam suci Imogiri dan makam-makam lain yang dianggap keramat dan bisa membawa berkah itu.

Menurut saya, anggapan keramat itu keliru. Tidak ada orang keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada benda-benda pusaka keramat. Tidak ada pepohonan, gunung, atau materi apa pun di dunia ini yang keramat. Tidak ada. Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh tidak keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat. Kalau ziarah kuburnya, is OK. Tapi anggapan keramat pada kuburan, itu salah. Dan sesat menurut kacamata akidah Islam.

Ada lagi istilah Suran. Yaitu semacam perayaan menyambut tahun baru Jawa. Tradisi Suran ini banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbolkan Kanjeng Ratu Roro Kidul. Alias Ratu Pantai Selatan (gaib metafisik). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta yang dipusatkan di Parangtritis—kawasan pantai selatan. Selain Islam kejawen, tradisi ini juga diikuti oleh Non Muslim.

Menurut saya, Ratu pantai selatan atau Nyai Roro Kidul itu mitos. Hayalan belaka. Kanjeng Ratu ini hanya sekadar rekaan imajinasi manusia. Karangan. Tokoh fiktif. Sama persis dengan kuntilanak, tuyul, genderuwo, dan kawan-kawannya. Santri haram mengimani yang demikian. Kecuali kalau kalian Islam abangan. Tapi sebaiknya, jangan bawa-bawa Islam. Abangan begitu saja. Atau kebatinan. Aliran kepercayaan. Atau apalah. Pokoknya jangan Islam.

Di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, juga memiliki tradisi Suran ini. Yaitu salah satu upaca ritual untuk melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang serta dalam rangka perayaan atau tasyakkuran datangnya tahun baru dalam kalender Jawa. Keunikan tradisi ini adalah pengambilan air di sumber mata air Sendhang Sidhukun dan kirab pengantin pembawa sesaji. Dilanjutkan dengan malam tirakatan ke makam Simbah Kyai Adam Muhammad. Keyakinan masyarakat setempat, upacara ini wajib dilakukan. Kalau tidak, maka akan terjadi musibah atau malapetaka.

Menurut saya, kalau sekadar perayaan dan tasyakuran secara umum, itu masih ditolelir dalam Islam. Tapi kalau sudah sesaji (sajen) yang dipersembahkan untuk Tuhan atau arwah, baru ini keliru. Keyakinan bahwa kalau tidak tidak melakukan upacara (ritual) akan terjadi musibah, menurut saya, ini sesat. Dalam Islam tidak ada keyakinan seperti itu. Tidak boleh ngarang-ngarang soal keyakinan.

Jadi, ciri Islam kejawen itu mempunyai keyakinan (akidah) pada sesuatu yang dianggap gaib (metafisik) yang memiliki kekuatan seperti Tuhan. Mereka juga punya upacara atau perilaku ritual seperti melakukan persembahan. Misalnya dengan sesaji. Atau berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu. Seperti berdoa melalui perantara gaib metafisik.

Bahkan sekarang pun di masjid saya masih mendengar doa kurang lebih seperti ini, “Yaa sayyidiy yaa Rasuulalloh. Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Ya Syeikh Abdul Qodir Jailaniy. Innaa natawassalu bika ilaa robbika fii qodhoi haajaatina…” (Wahai tuanku wahai Rasulalloh. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai perantara kepada Tuhan engkau. Agar Ia mengabulkan hajat-hajat kami. Ia membacanya setelah shalat berjamaah dalam posisi berdoa—kedua tangan diangkat.

Saya termasuk yang tidak setuju dengan cara berdoa dengan perantara-perantara  seperti ini. Allah itu sudah amat sangat dekat dengan kita (QS.50:16). Dan berdoa itu memang harus langsung kepada Allah (QS.40:60). Redaksi yang benar mestinya, “Yaa Alloh… Robbanaa… Allohummaa…,” dan semisalnya seperti doa-doa yang dicontohkan dalam Qur’an dan Hadis. Menurut saya, keyakinan roh orang yang sudah mati dapat memberi manfaat kepada orang yang masih hidup itu sudah terpengaruh keyakinan animisme-dinamisme dan Hindu-Buddha.

Bagi masyarakat Jawa santri, jelas dan tegas. Bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali sumbernya dari Allah. laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tapi masyarakat Jawa abangan, Nyai Roro Kidul dipercaya ada dan memiliki kekuatan yang bisa menentukan nasib seseorang. Serta benda-benda pusaka, kuburan, sampai roh leluhur.

Sekali lagi, tidak ada benda-benda pusaka keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada roh atau arwah keramat. Bahkan Qur’an itu pun tidak keramat. Keramat dalam artian mengandung kekuatan magis.

Masyarakat abangan juga mempunyai tradisi upacara-upacara keagamaan (ritual) sebagai ungkapan persembahan kepada Tuhan. Seperti upacara labuhan di pantai Parangtritis, upacara ruwatan (Jawa) atau ruatan (Sunda)—ritual membuang atau menolak sial atau apes, upacara kelahiran sampai kematian seseorang, upacara tahun baru Jawa (suran), dan bentuk-bentuk ritual semisalnya.

Saya termasuk yang tidak percaya pada kesialan atau apes sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Karenanya tidak perlu dilakukan ritual-ritual tertentu. Berdoa saja langsung kepada Allah supaya selalu untung, sukses, menang dan bahagia dunia akhirat. Dilanjutkan dengan ikhtiar (kerja) yang baik dan halal serta amal salih. Kelahiran dan kematian seseorang juga tidak perlu dilakukan ritual. Kalau memang harus, cukup dinamai syukuran saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...