Senin, 30 September 2019

DICIPTAKAN BERPASANGAN


—Saiful Islam—

“Tidak afdhol disebut istri (zawj), kalau belum berhubugan seksual. Hehe…”

Dari sudut pandang kosa kata nakaha, sudah diceritakan. Ayat-ayat Qur’an terkait kosa kata itu yang relevan dengan topik, juga sudah. Sekarang kita akan melihat dari sudut pandang kosa kata za, wa, ja. Diceritakan oleh Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an seperti berikut.

Disebutkan. Zawj itu untuk menyebut salah satu dari sepasang jantan dan betina binatang yang kawin. Semua binatang yang kawin antara jantan dan betina, salah satunya disebut zawj. Tidak hanya dunia binatang yang berpasangan. Begitu juga untuk selain binatang. Asal berpasangan, maka salah satunya disebut zawj. Seperti sepatu dan alasnya yang biasanya terbuat dari besi, karet, serat tanaman dan semisalnya.

Kata zawj juga dipakai untuk setiap perkawinan dua jenis yang berbeda yang saling cenderung atau tertarik.

QS. Al-Qiyamah[75]: 39
فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ
Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.

QS. Al-Baqarah[2]: 35
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini. Makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai. Janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.

Di sini tidak disebutkan bahwa zawjah itu bentuk feminin dari zawj. Baik feminin (muannats) maupun maskulin (mudzakkar) dalam berpasangan itu sama-sama disebut zawj. Seperti istri Adam, juga disebut zawj. Seorang perempuan disebut istri (zawj), pastilah dia sudah pernah berhubungan seksual. Termasuk Adam dengan istrinya itu. Tidak afdhol disebut istri, kalau belum berhubugan seksual. Hehe.

Bentuk plural al-zawj adalah azwaaj. Yang dimaksud QS.36:56 dan QS.37:22 di bawah ini adalah kawan-kawan mereka yang mengikuti perbuatan mereka.

QS. Yasin[36]: 56
هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ
Mereka dan pasangan mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.

QS. Al-Shaffat[37]: 22
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ
(Kepada Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah.”

 Sedangkan makna QS.15:88 berikut ini adalah yang serupa dan kawan-kawan mereka.

QS. Al-Hijr[15]: 88
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu). Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka. Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.

Adapun QS.36:36 dan QS.51:49 di bawah ini bermakna pengingat. Bahwa segala sesuatu itu tersusun dari inti atom, unsur, molekul, senyawa, dan seterusnya. Sesuatu yang terusun komplek dan teratur ini, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pastilah ada yang penciptanya. Dialah Allah Yang Tunggal.

QS. Yasin[36]: 36
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya. Baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

QS. Al-Dzariyat[51]: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

QS. Al-Dzariyat[51]: 49 di atas itu menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam ini itu memiliki pasangannya. Yaitu lawan jenisnya. Atau padananya. Atau susunannya. Kalau pun disebut tidak berpasangan, pasti ia tidak akan lepas dari kebersusunan itu. Itulah kenapa di sini disebut zawjayn. Sejodoh. Sepasang.

Yang dimaksud oleh QS.20:53 ini adalah jenis-jenis yang serupa. Begitu juga QS.26:7 dan QS.39:6 artinya adalah macam-macamnya.

QS. Thaha[20]: 53
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَسَلَكَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلًا وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْ نَبَاتٍ شَتَّىٰ
Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hampara. Dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan. Dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.

QS. Al-Syu’ara[26]: 7
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الْأَرْضِ كَمْ أَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi. Berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

QS. Al-Zumar[39]: 6
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ ۚ يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُصْرَفُونَ
Dia menciptakan kamu dari diri/jiwa yang satu. Kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya. Dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain dia. Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

Yang dimaksud oleh QS.56:7 berikut ini adalah tiga kawanan atau tiga kelompok yang disebut oleh ayat setelahnya (ayat 8, 9, dan 10).

QS. Al-Waqi’ah[56]: 7
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً
Dan kamu menjadi tiga golongan.

Adapun “wa idzaa al-nufuus zuwwijat (ketika jiwa/nyawa disatukan)…,” QS. Al-Takwir[81]: 7. Menurut satu pendapat. Bahwa setiap kelompok itu akan dikawankan dengan orang yang masuk dalam kelompok mereka kelak di surga dan neraka. Seperti QS. Al-Shaffat[37]: 22, “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah.”

Menurut pendapat yang lain, maknanya adalah ruh-ruh akan dikawankan atau disatukan dengan jasad-jasadnya. Seperti salah satu tafsir dari QS. Al-Fajr[89]: 27 dan 28: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” Yakni kawanmu.

Dan menurut pendapat yang lain, yang dikawankan itu adalah jiwa atau nyawa dengan amal perbuatannya. Seperti disebut pada QS. Ali Imran[3]: 30. “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya). Begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”

Sedangkan makna QS.44:54 di bawah ini adalah Kami menyatukan atau mengawankan mereka dengan bidadari itu.

QS. Al-Dukhan[44]: 54
كَذَٰلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.

Tidak pernah ada dalam Qur’an redaksi zawwajnaahum huuron atau zawwajtuhu imroatan. Karena tidak bermakna seperti pernikahan yang kita kenal sekarang ini.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Minggu, 29 September 2019

NIKAH SEBELUM SEKS BUDAK


—Saiful Islam—

“Logika Abdul Aziz yang ngompori dan mencari-cari itu, mirip militan ISIS terhadap para perempuan Yazidi…”

Jadi dari tijauan kata nakaha sebelumnya, nikah itu lebih menekankan kepada makna akadnya. Persetujuan, perjanjian, atau komitmen kedua belah pihak. Laki-laki dan perempuan. Yang wajib, paling tidak ada wali dan maharnya. Serta wajib dicatatkan resmi jika di Indonesia sekarang. Maka, jika kita menemukan ayat Qur’an yang menggunakan kata nakaha dan derivasiya, saya akan menerjemahkanya dengan nikah. Bukan kawin.

Kesimpulan sementara, nikah beda dengan kawin (tazawwaja). Kalau kawin, lebih menggambarkan aktivitas seksualnya. Kata zawj (pasangan, jodoh, kawin), dan derivasinya dalam Qur’an, insya Allah akan kita eksplor sendiri di bagian lain. Di depan.

Jangan pernah membayangkan kalau sudah memiliki budak, terus kaum Mukmin bisa main paksa kepada para budaknya. Jangan lantas mengira perbudakan itu seperti ‘mami’ (germo) kepada para anak buahnya (para pelacur). Saat itu, meskipun seorang Mukmin bisa punya budak, tetap wajib memanusiakannya. Dia bukan barang yang seenak tuannya bisa dijualbelikan. Dia adalah manusia yang harus dihormati kehendak, kemauan, keinginan, dan hak-haknya.

QS. Al-Nur[24]: 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya. Sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran. Sedang mereka sendiri mengingini kesucian. Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Budak itu harus dinikahi. Jangan pernah mengira bahwa kalau sudah menjadi budaknya, kemudian bebas menyetubuhinya. Bahkan sudah sejak saat itu, harus nikah dulu. Ya, akad nikah dulu. Yakni perjanjian dulu. Berkomitmen dulu. Meminta kerelaannya dulu. Dan membayar maharnya. Kalau ada tuahnya (ahlinya) wajib izin kepadanya. Kalau dapat rampasan perang, tetap memanusiakannya. Yaitu wajib ada mahar dan meminta kerelaannya.

Dan catat ini: Qur’an tidak pernah ngompori orang untuk bercerai. Baik dengan perempuan merdeka. Maupun dengan budak. Motivasi Qur’an adalah memanusiakan, memuliakan, mengayomi budak. Sekali lagi bukan seperti prostitusi yang setelah bayar, puas, kemudian lepas bebas masing-masing tanpa ikatan begitu saja. Atau cerai otomatis setelah waktu tertentu. Bukan itu tujuan nikah dan seks menurut Qur’an. Berikut ayat-ayat bahwa budak itu harus dinikahi dulu.

QS. Al-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka NIKAHILAH perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, MAKA (NIKAHILAH) SEORANG SAJA, ATAU (NIKAHILAH) BUDAK-BUDAK YANG KAMU MILIKI. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Jelas sekali ayat di atas berbicara tentang pernikahan. Ada kata fankihuu… di depan ayat itu. Meskipun fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum tidak ada kata nikahnya. Makna nikah itu sudah bisa dipahami dari topik keseluruhan ayat itu. Yakni kata fankihuu itu. Apalagi sebelum kata waahidatan, jelas ada kata fa di situ. Yakni maka nikahilah. Makna nikah sudah include di dalamnya. Begitu juga ayat di bawah ini. Budak itu harus dinikahi dulu.

QS. Al-Baqarah[2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu MENIKAHI perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya (MENIKAHI) BUDAK PEREMPUAN MUKMINAH lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukminah) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Bahkan ayat di bawah ini semakin jelas lagi. Bahwa untuk bisa kawin dengan budak, itu harus akad nikah dulu. Harus ada maharnya. Serta mesti minta izin kepada tuan atau ahlinya.

QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh MENIKAHI PEREMPUAN YANG BERIMAN, DARI BUDAK-BUDAK YANG KAMU MILIKI. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain. Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka. Dan berilah mahar mereka menurut yang patut. Sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri. Bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abdul Aziz menggunakan QS.23:6 itu untuk ngompori perbudakan. Bahkan sampai sekarang di Indonesia. Jadi mencari-cari. Padahal ayat tersebut motivasinya adalah membatasi. Bahkan sudah sejak abad 7 Masehi itu. Memang, saat itu boleh seks dengan budak. Tapi budak YANG TELAH  dimiliki. Maa malakat aymaanuhum. BUKAN budak yang akan dimiliki (maa tamlik aymaanuhum atau maa sawfa tamlik atau satamlik).

QS. Al-Mukmiun[23]: 6
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Logika ala Abdul Aziz itu mencari-cari perbudakan yang memang sudah tidak ada. Ngompori. Logika mencari-cari itu mirip yang dilakukan kombatan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) terhadap para perempuan Yazidi. Silakan search di YouTube misalnya ‘History of Slavery’ atau “ISIS Slavery’. Kalian akan melihat bagaimana para perempuan yang diperbudak itu dijual di antara kawannya dan juga dijual di pasar. Sambil tangan-tangan mereka diikat.

Bahkan Republika.co.id pernah memberitakan. Judulnya: Akhir Penderitaan Perempuan Yazidi Jadi Budak Eks ISIS. Jelas di situ dituliskan: “Baseh Hammo berusia 38 tahun ketika ia dijadikan budak seks oleh militan ISIS. Ia diperkosa dan disiksa serta diperjual-belikan sebanyak 17 kali di antara anggota ISIS. Ia dipindahkan dari satu kota ke kota lainnya yang sempat dikuasai ISIS di Irak maupun Suriah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Sabtu, 28 September 2019

LOGIKA MILKUL YAMIN


—Saiful Islam—

“Benarkah Anda membolehkan seks di luar nikah?”

“Benar sekali. Ini adalah penemuan baru!”

Membaca Qur’an untuk kemudian mengambil kesimpulan darinya, itu memang tidak boleh membaca hanya satu ayat saja. Apalagi hanya sepotong kalimat. Alias belum satu ayat pun. Tentu saja beresiko keliru. Seperti gajah. Dipegang kupingnya saja. Kemudian disimpulkan bahwa gajah itu pipih. Tentu saja salah. Yang paling mendekati kebenaran, menurut saya, dibaca sebanyak mungkin ayat-ayatnya yang terkait dengan tema yang sedang dibahas.

Seperti poligami. Di masyarakat sering kita menemukan alasan orang berpoligami. “Ini loh diperintah Allah,” katanya. Kemudian mengutip, “Fankihuu maa thooba lakum minannisaa’ matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’, Nikahilah perempuan-perempuan yang kau senangi. Dua, tiga, atau empat.” (QS.4:3). Dari ayat ini juga ada yang membolehkan poligami itu sampai empat istri.

Malah ada yang 9 istri. Karena redaksinya pakai ‘wa’ yang berarti ‘dan’. Dua dan tiga dan empat. Yang dipahami sebagai ‘tambah’. Jadi 2 tambah 3 tambah 4. Jadi 9. Semakin ‘gila’ lagi memahaminya dengan kali. Matsna berarti 2 kali 2. Sama dengan 4. Tsulaats, 3 kali 3, sama dengan 9. Rubaa’, 4 dikali 4, sama dengan 16. Kemudian disimpulan bahwa Allah membolehkan menikah sampai dengan 29 perempuan.

QS. Al-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Padahal konteks ayat itu, kalau dibaca dari ayat sebelumnya, sejatinya adalah proteksi kepada anak yatim. Bahwa anak yatim itu sangat berharga. Tidak boleh sembarangan mengurusi mereka. Kalau mau menikahi mereka pun tidak boleh sembarangan. Seakan-akan sindiran, “Kalau kalian tidak bisa adil kepada perempuan yatim itu, nikahi perempuan lain saja sana. Sak karepmu.” Apalagi terusannya, “Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (NIKAHILAH) SEORANG SAJA, atau budak yang kalian miliki.”

Kalau pun poligami itu dihalalkan, mesti dilihat dulu konteks tradisi Arab saat itu. Yaitu peperangan. Dampaknya adalah rampasan perang. Atau tawanan perang. Mereka yang kalah, konsekuensinya menjadi budak. Termasuk anak-anak dan perempuan yang para suaminya tewas di medan perang. Saat itu juga biasa, seorang laki-laki menikahi perempuan sebanyak apa pun tanpa batas. Poligami ala Qur’an itu justru membatasi. Bukan ‘ngompori’. Juga melindungi anak-anak dan para perempuan yang suaminya tewas itu.

Dan yang pasti. Poligami ala Qur’an itu bukan alasan syahwat. Qur’an tidak pernah merestui poligami alasan syahwat. Catat ini. Tapi poligami itu semacam solusi terakhir terkait dengan problem-problem alamiah rumah tangga.

Logika poligami yang ‘ngompori’, itu persis seperti logikanya Abdul Aziz. Yang mengatakan bahwa selain dengan nikah, Qur’an mengizinkan juga hubungan seksual dengan cara milkul yamin. Mengutip (QS.23.6), “Kecuali terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang mereka miliki…” Kemudian disimpulkan bahwa berhubungan seksual di luar nikah itu boleh. Jadi abai konteks sosial Arab saat itu serta konteks masa kini. Sehingga keliru kontekstualisasi ayat tersebut.

Begitu juga kalau kita lihat wawancara Muhammad Syahrur dengan seorang presenter di sebuah TV Arab. Alur logikanya sama. Yaitu membangun premis-premis yang menurut saya mengabaikan konteks. Di YouTube ada. Ketika dikonfirmasi kepadanya apakah dirinya membolehkan seksual di luar nikah. Syahrur menjawab, “Benar sekali (ithlaaqon). Ini adalah penemuan (haadza iftiro’).”

Sama persis dengan logika kombatan ISIS. Lihat di YouTube bagaimana perempuan-perempuan Yazidi diperbudak oleh mereka. Mereka mengaku tindakan mereka yang memperbudak itu dibenarkan Qur’an. Siapa yang tidak berhukum dengan Qur’an secara tekstual, dianggap kafir. Diperangi. Para perempuannya ditawan. Kemudian digauli dengan paksa dan semena-mena. Dijual-belikan antar kawannya serta di pasar layaknya barang.

Jadi pemerintah yang berbentuk demokrasi dan berideologi Pancasila misalnya, itu dianggap sekuler. Dianggap kafir. Produk Barat. Bukan Islam. Padahal Nabi sendiri tidak pernah mendirikan negara Islam. Ruh demokrasi dan Pancasila, itu juga sudah selaras dengan Qur’an. Bahwa Tuhan itu harus Esa. Mesti beradab. Bersatu. Musyawarah. Serta adil. Serta memberikan sangsi dan hukuman kepada siapa saja yang berbuat kriminal. Melindungi hak-hak setiap warga negara.

Qur’an itu panduan nilai dan moral universal. Bentuk nilai dan moral universal itu bisa bermacam-macam. Kaum Muslimin diperbolehkan berkreasi dan berinovasi. “Antum a’lam bi umur dunyakum. Kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” tutur Nabi. Dan Indonesia ini misalnya, itu sudah Qur’aniy. Memang bukan secara teks-nya yang harus ngeplek Qur’an. Tapi substansinya.

Logika ngutip sepotong dan abai konteks itu, juga terjadi pada terorisme. Membunuh orang kafir itu halal, katanya. Kemudian mengutip penggalan QS. Al-Baqarah[2]: 191 ini. “Dan bunuhlah mereka (orang kafir itu) di mana saja kamu jumpai mereka…” Lantas sekarang digunakan untuk mengebom gereja misalnya.

Atau mengutip QS. Al-Taubah[9]: 123: “Hai orang-orang yang beriman. Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu. Dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu. Dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Padahal orang kafir di situ adalah orang kafir yang khusus memerangi Kaum Mukminin saat itu. Bukan orang kafir (tidak mengimani Muhammad sebagai Nabi) secara umum yang lepas dari konteksnya. Itu bisa dibaca pada ayat 190-nya QS. 2 tersebut: “Dan perangilah di jalan Allah ORANG-ORANG YANG MEMERANGI KAMU. (Tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Sebaliknya. Kepada orang kafir yang baik. Kaum Mukminin wajib baik kepada mereka. Dan juga mesti adil. Setara dalam kaca mata hukum. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama. Dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah[60]: 8).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Waloohu a’lam bishshowaab. Salam

Jumat, 27 September 2019

SUBSTANSI PERNIKAHAN


—Saiful Islam—

“Loh, Mas. Yang penting syarat rukunnnya terpenuhi, kan itu sudah sah?”

Yang dimaksud syarat dan rukunnya itu ucapan ijab kabul, wali, dua saksi, dan sepasang pengantin. Meskipun ada variasi pendapat, mana rukunnya dan mana syarakatnya. Bahkan ada yang mengatakan rukunnya cuma kedua pengatin. Wali dan akad dianggap syarat. Sementara saksi dan mahar, tidak dimasukkan rukun maupun syarat. Menurut saya, semua ini baru kulit. Belum esensi dari pernikahan! Belum isinya!! Belum substansinya!!!

“Yang penting syarat rukunnnya terpenuhi,” biasanya akan menjebak kita menjadi gampangan soal nikah. Memandang pernikahan itu layaknya transaksi perdagangan biasa. Memposisikan perempuan seperti barang. Yang bisa dinikmati sekehendaknya, sesukanya setelah dibeli.

Sempit sekali memandang pernikahan. Yaitu hanya dari kaca mata fikih. Hitam putih. Halal haram. Memandang pernikahan hanya bolehnya seks. Dianggapnya pernikahan itu hanya urusan seks. Dikira, tujuan nikah itu adalah hanya seks. Tidak bisa melihat pernikahan itu secara holistik.

Jadi tujuannya egoistik. Yang penting happy bagi dirinya. Tidak bisa melihat akibat-akibat sebuah pernikahan. Baik itu konsekuensi pada pribadinya, keluarganya, istri dan anaknya, sampai masyarakat sekitarnya.

Rujukannya biasanya fikih klasik yang di sana. Padahal dia hidup di zaman modern yang di sini. Karakteristik masyarakat klasik yang di sana itu, tentu saja beda dengan masyarakat modern yang di sini. Dan ingat, masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradabannya itu dinamis. Seiring dengan gerak zaman.

Fikih itu, menurut saya, beda dengan syariat. Kalau syariat, itu cara menjalani hidup dan kehidupan ini menurut Qur’an yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Rasul-Nya. Dengan kata lain, syariat itu ketentuan-ketentuan Qur’an. Sedangkan fikih, itu kesimpulan-kesimpulan yang dibuat seseorang yang terinspirasi dari Qur’an.

Tentu saja, orang yang menyimpulkan dari Qur’an dan Hadis, itu sesuai dengan tantangan zamannya. Konteks sosial masyarakat pada waktu itu. Yang sholih li kull zaman wa makan, itu Qur’an. Bukan kesimpulan dari Qur’an. Mestinya kandungan dari teks itu bersifat dinamis. Seiring dengan masyarakat yang dinamis. Bukan statis.

Ungkapan, “Yang penting syarat rukunnya terpenuhi…,” itu seperti kaca mata kuda. Mengira kesimpulan dari Qur’an itu, statis. Tidak peduli seperti apa pun dinamisnya masyarakat, pokoknya harus disesuaikan dengan kesimpulan itu. Tak peduli teks kesimpulan itu terjadi dimana, kapan, dan bagaimana pun keadaan sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya.

Substansi pernikahan itu, justru sudah tergambar dari makna nikah itu sendiri. Seperti yang sudah saya ceritakan kemarin. Bahwa nikah itu asalnya untuk akad. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. Semacam komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun dan membina rumah tangga. Perjanjian kedua belah pihak. Qur’an sendiri bahkan menggambarkannya sebagai perjanjian yang amat sangat kokoh.

QS. Al-Nisa’[4]: 21
كَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kalian PERJANJIAN YANG AMAT SANGAT KOKOH.

Kata miitsaaqon, dari kata watsuqa, itu saja sudah mengandung berarti kokoh, kuat, gagah, dan teguh. Masih oleh Qur’an ditambahi gholiizhon. Ini menggambarkan betapa kuat dan kokohnya perjanjian antara laki-laki dan perempuan itu. Jadi, tidak boleh meremehkan dan apalagi sembarangan dengan akad pernikahan itu.

Saking sangat pentingnya perjanjian itu, sampai-sampai Qur’an menyamakannya dengan perjanjian antara Allah dan para Nabi. Di sini Qur’an juga menggunakan kata miitsaaqon gholiizhon. Seperti direkam dalam ayat berikut.

QS. Al-Ahzab[33]: 7
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka PERJANJIAN YANG AMAT SANGAT KOKOH.

Perjanjian yang penting saja, itu biasanya sudah tertulis kalau di Indonesia sekarang. Seperti perjanjian kerja, perjanjian sewa tanah, rumah, bangunan, dan semisalnya. Apalagi perjanjian yang sangat penting seperti akad pernikahan ini. Mestinya ya tertulis. Di lembaga resmi negara. Wajib itu. Sekali lagi, untuk lebih menjamin kepastian hukum dengan konteks masyarakat Indonesia sekarang. Hak-hak lebih terlindungi. Ini sudah selaras dengan semangat Qur’an.

Ada konsekuensi dari pernikahan itu: bolehnya seks. Ada konsekuensi bolehnya seks itu: lahirnya anak-anak. Ada konsekuensi lahirnya anak-anak itu: bertanggung jawab pada kehidupan, terutama pendidikan mereka. Yang terpenting adalah bersama-sama mengupayakan keselamatan, kebaikan, dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat bagi semua anggota keluarga.

Jadi, menikah itu tujuannya bukan hanya seks. Seks hanya bagiannya saja. Tapi yang lebih penting adalah membangun dan membina rumah tangga yang tentram (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rohmah).

QS. Al-Rum[30]: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri. Supaya dengannya, kalian TENTRAM. Dan Dia jadikan rasa CINTA, serta KASIH SAYANG di antara kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Itulah bedanya akad pernikahan dengan wani piro (prostitusi). Kalau wani piro itu tujuan utamanya memang hanya memuaskan nafsu seksual. Dia hanya membeli atau menyewa seks. Kalau sudah selesai, puas, ya sudah. Tinggal. Tidak ada di dalam wani piro itu, namanya cinta, kasih, dan sayang. Apalagi untuk membangun rumah tangga. Gampangnya, wani piro itu, tidak bertanggung jawab.

Malah tak jarang di masyarakat, “Yang penting syarat rukunnya terpenuhi…,” ini digunakan untuk ngeles dari wani piro itu. Syarat rukunnya diakali. Tapi substansinya sama: kepuasan seksual menjadi tujuan pertama dan utamanya serta tidak bertanggung jawab. Sehingga kalau sudah puas dan bosan, ya ditinggal begitu saja. Perempuan menjadi korban. Dituntut secara hukum, tidak bisa. Sebab memang tidak ada hitam di atas putih. Tidak ada bukti. Lain cerita kalau akad pernikahan itu ditulis resmi!

Manusia itu sejatinya memang binatang. Hanya bisa berakal. Andai saja tidak ada hukum, pastilah kehidupan manusia itu seperti di hutan. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Siapa akan menerkam siapa. Chaos. Kehidupan akan rusak dan berantakan. Qur’an sebagai panduan nilai dan moral universal diturunkan. Memang supaya manusia menemukan jati dirinya: khalifah. Teknisnya dibuat dan diimplementasikan oleh negara. Melalui hukum-hukum yang disepakati.

Jadi sekali lagi. Nikah sirri (akad nikah tanpa dicatat resmi), menurut saya itu bisa jadi tidak sah!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam




Kamis, 26 September 2019

NIKAH DAN KAWIN


—Saiful Islam—

“Maka, nikah sirri, menurut saya, bisa tidak sah…”

Sebelum mengritisi semakin detail lagi argumen-argumen Abdul Aziz juga Muhammad Syahrur, itu rasanya penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dulu masalah yang terkait dengan milkul yamin ini. Yaitu pernikahan. Atau perkawinan. Langsung perspektif ayat-ayat Qur’an. Sebagai alat bantunya, kita pakai kamus. Seperti biasanya, paling tidak saya akan pakai Lisan al-‘Arab dan al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.

Al-Raghib al-Ashfahaniy ringkas menguraikan kata nikah. Dari nakaha. Nikah itu asalnya untuk akad. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. KBBI mengartikan kontrak sebagai berikut. Kontrak/kon·trak/ n 1 perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya; 2 persetujuan yang bersangsi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.

Kemudian kata nikah itu, lanjut Ashfahaniy, dipinjam (sebagai kiasan) untuk bersetubuh. Alias seks. Sebab semua kata yang berarti seks itu kiasan. Karena anggapan buruk orang-orang terhadap kata itu ketika menyebutnya. Sebagaimana anggapan negatif mereka ketika melakukan seks tersebut. Jadi, nikah itu seks. Dan kata seks itu biasanya memang dianggap tabu. Adapun orang-orang yang menganggap seks itu positif, tidak mungkin akan mengkiaskan kata seks itu dengan nikah. Apalagi orang tersebut tidak bermaksud berbuat fahisyah (zina).

Kemudian dikutip contoh ayat di bawah ini.

QS. Al-Nur[24]: 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan NIKAHKANLAH orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki, dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk MENIKAHAI wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain. Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka. Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka bisa disimpulkan bahwa nikah asalnya adalah untuk akad, persetujuan, kontrak, atau ikatan. Untuk konteks Indonesia yang modern sekarang, saya lebih mantap akad pernikahan itu harus tertulis. Melalui lembaga resmi semisal KUA. Inspirasinya dari KBBI di atas. Sebab hak-hak perempuan dan anak-anaknya lebih terjamin hukum. Maka, nikah sirri, menurut saya, bisa tidak sah. Sebab sudah ada aturan negara yang lebih menjamin kepastian hukum.

Begitu juga menurut kamus Hans Wehr: A Dictionary of Modern Written Arabic. Yang mengartikan kata nakaha itu dengan to marry, get married, to become related by marriage, marriage, marriage contract, matrimony, wedlock. Yakni menikah, ikatan nikah, kontrak nikah, perkawinan, dan ikatan perkawinan. Jadi sekali lagi, dalam konteks modern sekarang, ikatan perkawinan itu wajib tertulis.

 Sementara dalam Lisan al-‘Arab, diceritakan begini. “Fulan menikahi perempuan,” maksudnya mengawininya. Juga berarti seks dengannya. Menggaulinya. Begitu juga menurut al-A’sya bahwa nakaha itu bermakna tazawwaja. Yakni kawin.

QS.24:3, “Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Menurut Al-Azhariy takwilnya adalah pezina itu harus menikah dengan pezina juga.

Suatu kaum pernah berpendapat. Bahwa makna nikah di ayat itu adalah al-wath’u. Yakni seks. Sehingga artinya, pezina tidak boleh seks kecuali dengan pezina pula. Namun ini dianggap tafsir yang jauh. Sebab di dalam Qur’an tidak pernah dijumpai makna nikah itu kecuali kawin. Misalnya QS.33.49, “Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman...,” dan 24.32 di atas. Nah, akad kawin itu disebut nikah.

Kebanyakan tafsir pada QS.24.3, ayat itu turun pada sebuah komunitas Muslim yang miskin di Madinah. Di situ ada perempuan pezina yang meminta bayaran (semacam prostitusi atau pelacuran). Orang-orang Muslim itu ingin mengawininya. Serta mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk mengharamkannya. Al-Azhariy juga mengatakan bahwa menurut orang Arab, nikah itu asal maknanya adalah seks. Kawin disebut nikah, itu karena kawin adalah sebab dibolehkannya seks.

Sedangkan Al-Jauhariy berpendapat begini. Nikah itu seks. Dan kadang berarti akad. “Aku menikahi perempuan itu,” maksudnya adalah “Aku mengawininya.” Ibnu Sidah mengatakan bahwa al-nikah itu adalah kelamin perempuan.

Jika dikatakan, “rojulun nukahatun wa nukahun,” itu berarti banyak nikahnya. Nikah itu sama dengan kawin. Hadis Mu’awiyah, “lastu bi nukahin thulaqotin,” artinya aku bukanlah orang yang banyak nikahnya atau cerainya.

Begitu juga kalimat, “Dia menikahkannya.” Yaitu dia mengawinkan seseorang dengan perempuan. Di masa jahiliyah dulu, jika seorang laki-laki bermaksud mengkhitbah seorang perempuan, laki-laki itu akan berkata, “khitbun”. Jika pihak atau keluarga si perempuan menerimanya, maka akan dijawab, “nikhun”. Yang maksudnya, “Kami telah menikahkan kamu dengannya”. Nikah yang dimaksud di sini adalah sebanding dengan khitbah.

Menurut Abu ‘Ubayd dan Ibnu al-A’rabiy perempuan itu adalah Ummu Kharijah. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan mengatakan, “khitbun”. Kemudian dijawab oleh Ummu Kharijah, “nikhun”. Orang-orang kemudian berkata, “Lebih cepat dari nikahnya Ummu Kharijah. Agaknya kisah pernikahan Ummu Kharijah itu fenomenal di kalangan orang-orang Arab. Sehingga kalau mau menikah, cukup meniru caranya Ummu Kharijah.

Menurut Al-Jauhariy, bahwa al-nakhu dan al-nikhu itu dua kata. Kata tersebut dipakai oleh orang-orang Arab untuk kawin.

Dijumpai juga kalimat-kalimat seperti ini: Hujan menikahi bumi. Ngantuk menikahi mata. Yaitu ketika sudah sangat mengantuk. Dan jika disebut perempuan yang nakih (tanpa ha’). Maka artinya perempuan itu sudah bersuami.

Nikah versi KBBI adalah kata benda yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedangkan kawin adalah kata kerja berarti pertama membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; dan menikah. Arti kedua adalah melakukan hubungan kelamin; dan bersetubuh. Jadi kata nikah itu menggambarkan akad persetujuannya. Kawin lebih pada menggambarkan aktivitas seksualnya.

Maka bisa disimpulkan bahwa nikah itu adalah akad kawin yang salah satu tujuannya untuk menghalalkan seks. Jadi, seks bebas itu asalnya haram. Nah, supaya halal harus melakukan persetujuan tertulis melalui lembaga resmi negara.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...