Jumat, 20 September 2019

SANTRI PENANTANG ZAMAN


—Saiful Islam—

“Motivasi Qur’an, justru supaya bercampur dan bergaul antara laki-laki dan perempuan…”

“Mas Islam. Ada satu lagi yang kurang. Pas minta komentar film, produser film kan perempuan. Jarak dengan kyainya dekat. Ini jadi sorotan. Bagaimana?” kata seorang kawan itu lagi.

Produser yang dimaksud adalah Livi Zheng. Sedangkan kyainya adalah Said Aqil Siradj.

Sejak Senin 9 September 2019 kemarin, trailer The Santri diupload di YouTube. Film ini merupakan hasil kerja sama dengan PBNU. Kyai Said, selaku ketua umum PBNU, menjadi executive produser. Rencananya, The Santri akan release pada Oktober 2019 nanti. Yaitu bertepatan dengan Hari Santri.

Film yang digarap Livi Zheng bersama adiknya, Ken Zheng, ini mengangkat nilai-nilai kehidupan santri. Yaitu mandiri, sederhana, toleransi, dan cinta tanah air. Digambarkan juga tradisi pembelajaran di pondok pesantren. Naskah The Santri berasal dari PBNU. Revisinya dari pihak Livi karena disesuaikan dengan pasar AS.

Pemeran utama film itu adalah Gus Azmi, Veve Zulfikar, dan Wirda Mansur. Pondok Mambaus Sholihin, Candi Penataran, Hutan Maliran, dan pendopo kabupaten, diambil sebagai lokasi syuting oleh Livi dan timnya.

OK. Sekarang soal jarak Kyai Said dan Livi yang berdekatan saat memberi komentar film The Santri itu. Menurut saya tidak ada masalah di situ. Konteksnya adalah kerjasama antara Kyai Said dan Livi untuk promosi. Di kalangan ulama dan santri, Kyai Said sudah tidak asing lagi. Tapi siapa yang mengenal Livi Zheng? Saya saja baru tahu saat dikenalkan Kyai Said itu.

Sekali lagi, Qur’an justru menganjurkan agar Kaum Mukminin ini bersosial. Memang supaya saling mengenal. Mempromosikan kelebihan masing-masing. Supaya bisa bermanfaat dan orang lain memanfaatkan jasa atau produk kita. “Manusia terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi sesamanya,” tutur Nabi. Bukan malah anti sosial. Mengurung diri. Tidak mau bergaul. Sampai ada istilah ‘kuper’, kurang pergaulan. Berikut ayatnya.

QS. Al-Hujurat[49]: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia. Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari JENIS LAKI-LAKI DAN SEORANG PEREMPUAN dan menjadikan kamu BERBANGSA-BANGSA DAN BERSUKU-SUKU SUPAYA KAMU SALING KENAL-MENGENAL. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Jelas sekali di ayat itu. Allah menciptakan manusia itu berbeda-beda. Ada laki-laki. Ada perempuan. Warna kulitnya juga beda-beda. Ada yang hitam. Coklat. Kuning langsat. Kemerah-merahan. Dan seterusnya. Bahasanya, bangsanya, negaranya, juga beda-beda. Madura, Jawa, Sunda, Sulawesi, Indonesia, Jepang, Arab, Inggris, Perancis, Jerman, dan seterusnya. Nah dengan perbedaan itu, justru Qur’an anjurkan supaya berinteraksi. Saling mengenal. Bergaul.

Kedekatan Kyai Said dan Livi, bisa jadi itu hanya etika dan estetika promosi. Kyai Said akan memperkenalkan Livi Zheng kepada pemirsa. Kedekatan itu bisa melambangkan solidnya kerjasama antara pihak PBNU dan Livi Zheng dan timnya. Juga melambangkan keakraban antar keduanya. Melambangkan juga sevisi dan semisi. Kerukunan dan kebersamaan. Antara kakek dengan cucunya. Antara Kyai dengan santrinya. Antara ayah dengan putrinya. Antara yang sepuh dengan yang muda.

Bisa dibayangkan kalau seandainya Livi Zheng di pojok meja. Sambil merunduk-runduk, takut-takut dan sungkan-sungkan. Karena berhadapan dengan Sang Kyai. Berjarak. Kayak orang baru kenal. Hati keduanya seperti jauh sekali.

Memang di kalangan pesantren, biasanya para santri laki-laki dan perempuan itu dipisah. Mungkin supaya para santri lebih fokus belajar. Dan tidak ada yang pacaran misalnya. Menurut saya, ya boleh-boleh saja. Terserah yang punya pesantren. Mungkin konteks di pesantren tersebut, mengharuskan pemisahan itu. Sehingga pemisahan ini dianggap lebih baik. Bahkan yang terbaik. Is OK. “Antum a’lam bi umur dunyakum, Kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” tutur Nabi. Tapi bukan berarti aturan ini pasti lebih baik juga untuk tempat yang lain. Konteks yang lain. Tidak selalu.

SD, SMP, dan SMA saya misalnya. Semuanya dicampur antara laki-laki dan perempuan. Bahkan kuliah saya yang jurusan Tafsir Hadis, pun juga campur. Apakah dengan dicampurnya itu para siswa selalu tidak fokus dan pacaran? Tidak selalu! Ada yang fokus  dan tidak pacaran, serta memang ada juga yang tidak fokus dan pacaran. Bahkan jauh lebih banyak yang tidak pacaran. Paling yang pacaran dua sampai empat orang di antara 20-an orang. Tapi di pesantren yang para santrinya dipisah itu. Apakah dijamin semua santrinya fokus dan tidak ada yang pacaran? Ayo ngaku! Hehe.

Alumninya juga bisa kita lihat dari dua model aturan lembaga pendidikan itu. Apakah yang dari kecil di pesantren, bertahun-tahun mondok, kemudian setelah lulus menjadi pribadi yang pasti baik, berprestasi, dan berkontribusi? Baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan orang lain pada umumnya? Menurut saya tidak selalu. Bisa baik dan berkontributif, bisa juga sebaliknya. Begitu juga yang dari sekolah umum. Lulusannya bisa jadi orang yang baik dan kontributif, bisa juga tidak. Yang jelas, semua lembaga pendidikan itu visi misinya adalah mencetak manusia yang berkualitas iman dan takwanya (IMTAK) serta ilmu pengetahuan dan teknologinya (IPTEK).

Hanya yang pasti. Pendidikan para siswa di sekolah umum formal itu lebih mudah mengamalkan QS.49:13 di atas. Mereka akan praktik langsung. Mulai dari bagaimana memahami karakteristik lawan jenisnya masing-masing. Sampai bagaimana cara berinteraksinya. Mereka akan mendapatkan pengalaman itu langsung. Serta manfaat dan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Bersosialisasi, berinteraksi, hingga berorganisasi. Ini menurut saya, sangat bermanfaat untuk masa depannya.

Jadi kalau rujukannya Qur’an, itu justru motivasinya adalah bergaul. Bercampur. Bukan hanya antara laki-laki dan perempuan. Tapi sampai antar suku. Bahkan antar negara. Yang pasti akan berbeda warna kulit, postur tubuh, adat, tradisi, kebudayaan, bahasa, sampai agamanya.

Biasanya penyeru supaya dipisah-pisah antara laki-laki dan perempuan, itu sandarannya Hadis ini: “Tidaklah seorang laki-laki dan seorang perempuan itu berduaan, kecuali setan menjadi pihak ketiganya.” Padahal yang dimaksud adalah konteksnya mesum. Kalau untuk kemanfaatan, atau aktivitas kemanusiaan yang lain, seperti promosi film, belajar mengajar, diskusi, transaksi bisnis, cek kesehatan, dan semisalnya, itu tidak termasuk dalam Hadis ini. Halal. Bahkan sunnah (dikerjakan mendapat kebaikan, tidak dikerjakan rugi).

Adapula yang takut bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Seperti bersalaman misalnya. Lagi-lagi sandarannya Hadis: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum terbuat dari besi, itu lebih baik baginya daripada dia MENYENTUH wanita yang tidak halal baginya.” Padahal kata ‘menyentuh’ di Hadis ini, yang Bahasa Arab-nya ‘yamass’, itu berarti hubungan biologis. Berzina. Ini berarti majazi. Bukan makna hakiki. Seperti disebut dalam ayat berikut.

QS. Maryam[19]: 20
قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun MENYENTUHKU dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

Begitu dulu selingan ini. Ini kopi saya sudah tandas. Saya mau jogging dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...