—Saiful Islam—
“Motivasi Qur’an, justru supaya
bercampur dan bergaul antara laki-laki dan perempuan…”
“Mas Islam. Ada satu lagi yang
kurang. Pas minta komentar film, produser film kan perempuan. Jarak dengan kyainya
dekat. Ini jadi sorotan. Bagaimana?” kata seorang kawan itu lagi.
Produser yang dimaksud adalah Livi
Zheng. Sedangkan kyainya adalah Said Aqil Siradj.
Sejak Senin 9 September 2019
kemarin, trailer The Santri diupload di YouTube. Film ini merupakan hasil kerja
sama dengan PBNU. Kyai Said, selaku ketua umum PBNU, menjadi executive
produser. Rencananya, The Santri akan release pada Oktober 2019 nanti. Yaitu bertepatan
dengan Hari Santri.
Film yang digarap Livi Zheng
bersama adiknya, Ken Zheng, ini mengangkat nilai-nilai kehidupan santri. Yaitu
mandiri, sederhana, toleransi, dan cinta tanah air. Digambarkan juga tradisi
pembelajaran di pondok pesantren. Naskah The Santri berasal dari PBNU.
Revisinya dari pihak Livi karena disesuaikan dengan pasar AS.
Pemeran utama film itu adalah Gus
Azmi, Veve Zulfikar, dan Wirda Mansur. Pondok Mambaus Sholihin, Candi
Penataran, Hutan Maliran, dan pendopo kabupaten, diambil sebagai lokasi syuting
oleh Livi dan timnya.
OK. Sekarang soal jarak Kyai Said
dan Livi yang berdekatan saat memberi komentar film The Santri itu. Menurut
saya tidak ada masalah di situ. Konteksnya adalah kerjasama antara Kyai Said
dan Livi untuk promosi. Di kalangan ulama dan santri, Kyai Said sudah tidak
asing lagi. Tapi siapa yang mengenal Livi Zheng? Saya saja baru tahu saat
dikenalkan Kyai Said itu.
Sekali lagi, Qur’an justru
menganjurkan agar Kaum Mukminin ini bersosial. Memang supaya saling mengenal.
Mempromosikan kelebihan masing-masing. Supaya bisa bermanfaat dan orang lain
memanfaatkan jasa atau produk kita. “Manusia terbaik adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi sesamanya,” tutur Nabi. Bukan malah anti sosial. Mengurung diri.
Tidak mau bergaul. Sampai ada istilah ‘kuper’, kurang pergaulan. Berikut
ayatnya.
QS. Al-Hujurat[49]: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia. Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari JENIS LAKI-LAKI DAN SEORANG PEREMPUAN dan menjadikan kamu
BERBANGSA-BANGSA DAN BERSUKU-SUKU SUPAYA KAMU SALING KENAL-MENGENAL.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Jelas sekali di ayat itu. Allah
menciptakan manusia itu berbeda-beda. Ada laki-laki. Ada perempuan. Warna
kulitnya juga beda-beda. Ada yang hitam. Coklat. Kuning langsat. Kemerah-merahan.
Dan seterusnya. Bahasanya, bangsanya, negaranya, juga beda-beda. Madura, Jawa,
Sunda, Sulawesi, Indonesia, Jepang, Arab, Inggris, Perancis, Jerman, dan
seterusnya. Nah dengan perbedaan itu, justru Qur’an anjurkan supaya
berinteraksi. Saling mengenal. Bergaul.
Kedekatan Kyai Said dan Livi, bisa
jadi itu hanya etika dan estetika promosi. Kyai Said akan memperkenalkan Livi
Zheng kepada pemirsa. Kedekatan itu bisa melambangkan solidnya kerjasama antara
pihak PBNU dan Livi Zheng dan timnya. Juga melambangkan keakraban antar
keduanya. Melambangkan juga sevisi dan semisi. Kerukunan dan kebersamaan. Antara
kakek dengan cucunya. Antara Kyai dengan santrinya. Antara ayah dengan
putrinya. Antara yang sepuh dengan yang muda.
Bisa dibayangkan kalau seandainya Livi
Zheng di pojok meja. Sambil merunduk-runduk, takut-takut dan sungkan-sungkan. Karena
berhadapan dengan Sang Kyai. Berjarak. Kayak orang baru kenal. Hati keduanya
seperti jauh sekali.
Memang di kalangan pesantren,
biasanya para santri laki-laki dan perempuan itu dipisah. Mungkin supaya para
santri lebih fokus belajar. Dan tidak ada yang pacaran misalnya. Menurut saya,
ya boleh-boleh saja. Terserah yang punya pesantren. Mungkin konteks di
pesantren tersebut, mengharuskan pemisahan itu. Sehingga pemisahan ini dianggap
lebih baik. Bahkan yang terbaik. Is OK. “Antum a’lam bi umur dunyakum,
Kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” tutur Nabi. Tapi bukan berarti aturan
ini pasti lebih baik juga untuk tempat yang lain. Konteks yang lain. Tidak
selalu.
SD, SMP, dan SMA saya misalnya. Semuanya
dicampur antara laki-laki dan perempuan. Bahkan kuliah saya yang jurusan Tafsir
Hadis, pun juga campur. Apakah dengan dicampurnya itu para siswa selalu tidak
fokus dan pacaran? Tidak selalu! Ada yang fokus dan tidak pacaran, serta memang ada juga yang
tidak fokus dan pacaran. Bahkan jauh lebih banyak yang tidak pacaran. Paling yang
pacaran dua sampai empat orang di antara 20-an orang. Tapi di pesantren yang
para santrinya dipisah itu. Apakah dijamin semua santrinya fokus dan tidak ada
yang pacaran? Ayo ngaku! Hehe.
Alumninya juga bisa kita lihat dari
dua model aturan lembaga pendidikan itu. Apakah yang dari kecil di pesantren,
bertahun-tahun mondok, kemudian setelah lulus menjadi pribadi yang pasti baik,
berprestasi, dan berkontribusi? Baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan
orang lain pada umumnya? Menurut saya tidak selalu. Bisa baik dan
berkontributif, bisa juga sebaliknya. Begitu juga yang dari sekolah umum. Lulusannya
bisa jadi orang yang baik dan kontributif, bisa juga tidak. Yang jelas, semua
lembaga pendidikan itu visi misinya adalah mencetak manusia yang berkualitas
iman dan takwanya (IMTAK) serta ilmu pengetahuan dan teknologinya (IPTEK).
Hanya yang pasti. Pendidikan para
siswa di sekolah umum formal itu lebih mudah mengamalkan QS.49:13 di atas.
Mereka akan praktik langsung. Mulai dari bagaimana memahami karakteristik lawan
jenisnya masing-masing. Sampai bagaimana cara berinteraksinya. Mereka akan mendapatkan
pengalaman itu langsung. Serta manfaat dan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Bersosialisasi,
berinteraksi, hingga berorganisasi. Ini menurut saya, sangat bermanfaat untuk
masa depannya.
Jadi kalau rujukannya Qur’an, itu
justru motivasinya adalah bergaul. Bercampur. Bukan hanya antara laki-laki dan
perempuan. Tapi sampai antar suku. Bahkan antar negara. Yang pasti akan berbeda
warna kulit, postur tubuh, adat, tradisi, kebudayaan, bahasa, sampai agamanya.
Biasanya penyeru supaya
dipisah-pisah antara laki-laki dan perempuan, itu sandarannya Hadis ini: “Tidaklah
seorang laki-laki dan seorang perempuan itu berduaan, kecuali setan menjadi
pihak ketiganya.” Padahal yang dimaksud adalah konteksnya mesum. Kalau
untuk kemanfaatan, atau aktivitas kemanusiaan yang lain, seperti promosi film,
belajar mengajar, diskusi, transaksi bisnis, cek kesehatan, dan semisalnya, itu
tidak termasuk dalam Hadis ini. Halal. Bahkan sunnah (dikerjakan mendapat
kebaikan, tidak dikerjakan rugi).
Adapula yang takut bersentuhan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Seperti bersalaman misalnya. Lagi-lagi
sandarannya Hadis: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum terbuat dari besi,
itu lebih baik baginya daripada dia MENYENTUH wanita yang tidak halal baginya.”
Padahal kata ‘menyentuh’ di Hadis ini, yang Bahasa Arab-nya ‘yamass’,
itu berarti hubungan biologis. Berzina. Ini berarti majazi. Bukan makna hakiki.
Seperti disebut dalam ayat berikut.
QS. Maryam[19]: 20
قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ
لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: "Bagaimana
akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun MENYENTUHKU
dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
Begitu dulu selingan ini. Ini kopi
saya sudah tandas. Saya mau jogging dulu. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar