Kamis, 19 September 2019

MEMERDEKAKAN BUKAN MEMPERBUDAK


—Saiful Islam—

“Nabi menikahkan Zayd dengan Zaynab. Perempuan cantik jelita…”

Narasi yang dibangun untuk menjelekkan citra Nabi adalah begini: “Nabi pun punya budak. Pertama, Mariah al-Qibthiyah. Kedua adalah Zayd bin Haritsah.” Iya kan Nabi memperbudak orang?! Kemudian lantas mengasosiasikan praktik Nabi itu dengan perbudakan ala jahiliyah. Yang sewenang-wenang. Ala romusa. Dan main paksa.

Termasuk pernyataan Abdul Aziz dalam Disertasinya itu. Seakan-akan Nabi memperbudak Zayd. Disebutkan begini: “Bahkan, Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita, MENJADIKAN BUDAKNYA, Zaid bin Harisah sebagai anaknya.” (hlm.70). Lantas disebutkan juga, “Rasulullah MEMPERLAKUKAN BUDAKNYA seperti anak-anaknya sendiri.” (hlm.71).

Tentu saja tidak begitu! Soal Mariah, kemarin sudah saya ceritakan. Tidak benar Nabi berhubungan biologis dengan Mariah tanpa nikah. Yang benar, Nabi menikahi Mariah. Sehingga Mariah menjadi perempuan merdeka. Bahkan menjadi Ummul Mukminin. Statusnya tidak budak lagi. Qur’an memang membolehkan berhubungan biologis dengan budak. Tapi harus dengan izin walinya dan membayar mahar. Nikah.

Soal Zayd saya rasa juga begitu. Ketika diangkat anak oleh Nabi, Zayd bukan budak lagi. Tidak seperti narasi Abdul Aziz di atas. Seakan-akan setelah diangkat anak oleh Nabi, status Zayd masih budak. Tentu saja tidak benar. Menurut saya, ketika diadobsi menjadi anak angkat Nabi, Zayd adalah orang merdeka.

Jadi ceritanya begini. Zayd itu nama lengkapnya Zayd bin Haritsah. Yang hidup sekitar tahun 581 – 629 M. Ia termasuk sahabat Nabi yang awal-awal masuk Islam. Yaitu orang ketiga setelah Khadijah dan Ali. Menurut saya, ini cara pertama Nabi memuliakan Zayd yang mantan budak itu.

Ketika diadobsi oleh Nabi, tentu saja status Zayd meningkat. Terutama di mata masyarakat. Menjadi ‘anak Nabi’. Ya, orang-orang waktu itu sampai memanggil Zayd dengan Zayd bin Muhammad—Zayd anak laki-lakinya Muhammad. Meskipun, kemudian dilarang oleh Qur’an supaya anak angkat itu harus tetap disandarkan kepada ayah kandungnya (QS.33:5). Yakni Zayd bin Haritsah—Zayd anak laki-lakinya Haritsah.

Kedua, Zayd menikah dengan kerabat Nabi. Salah satunya dengan sepupu beliau yang bernama Zaynab—perempuan muda yang terkenal cantik jelita. Nabi yang mengusulkan pernikahan itu. Sekitar tahun 625 M. Meskipun Zaynab sempat menolak. Melihat status sosialnya yang dari Quraisy. Sementara Zayd, mantan budak. Justru Nabi ingin menghilangkan kasta kesukuan itu. Apalagi itu perintah Qur’an. Berikut.

QS. Al-Ahzab[33]: 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.

Zaynab pun setuju. Dan lantas menikah dengan Zayd. Selain dengan Zaynab, Zayd juga dinikahkan dengan pelayan Nabi, Ummu Ayman. Yang dengannya Zayd dikaruniai anak laki-laki bernama Usamah. Usamah bin Zayd bin Haritsah.

Ketiga, Zayd diangkat menjadi panglima perang. Terutama dalam pertempuran Mu’tah. Zayd juga terlibat dalam beberapa pertempuran penting yang lain. Yaitu perang Badar, Uhud, Khandaq (Parit), Khaybar, dan hadir juga di ekspedisi ke Hudaybiyah. Bahkan ketika Nabi ke Al-Muraysi, beliau meninggalkan Zayd di Madinah sebagai gubernur.

Tercatat Zayd memimpin tujuh ekspedisi militer. Yaitu Al-Qarada pada November 624; Al-Jumum pada September 627; Al-‘Is pada Oktober 627; Al-Taraf yang merupakan serang di wilayah Nakhl—jalan menuju Irak; Wadi al-Qura pada November 627. Zayd sempat kalah. Tapi pada 628 dia membawa pasukan lebih besar dan berhasil mengalahkan suku Fazara; Hisma atau Khushayn pada Oktober 628 yang berhadapan dengan suku Judham; dan terakhir adalah pertempuran Mu’tah itu yang terjadi pada tahun 629 M.

Bahkan menurut ‘Aisyah, Nabi tidak pernah mengirim Zayd bin Haritsah ini ke medan perang, kecuali menjadikannya sebagai komandan perangnya.

Di sini saya ingin katakan bahwa tidak benar kalau Nabi memperbudak Zayd ala jahiliyah yang merendahkan, menyepelekan, menghinakan, semena-mena dan sewenang-wenang. Apa yang sudah saya ceritakan itu membuktikan bahwa sebaliknya. Nabi sangat memuliakannya. Nabi menghapus sistem kasta. Tidak ada manusia lebih tinggi dari manusia lain. Kecuali karena takwanya. Bukan karena warna kulitnya. Suku bangsanya. Negaranya. Kekayaannya. Dan seterusnya.

Bahkan ketika kelurga Zayd mendengar bahwa anaknya tinggal bersama Nabi dan kemudian ingin membawanya pulang. Nabi memberikan kebebasan kepada Zayd. Mau pulang bersama ayah kandungnya itu. Atau mau tinggal bersama Nabi. Tentu saja Zayd merasakan betul bagaimanya bahagianya tinggal dengan Nabi. Begitu Nabi memuliakannya. Menghormatinya. Mengangkat derajatnya. Bahkan mengandalkannya.

Terbukti, Zayd tidak mau pulang. Dia ingin tinggal dengan Nabi saja. Agaknya, hidup dengan Nabi, Zayd merasa hidupnya lebih bermakna. Kalau saja hidup dengan Nabi adalah sebuah tirani, pastilah Zayd kembali ke orang tuanya. Ya orang tuanya. Bayangkan. Atau malah sudah kabur duluan.

Dan ingat. Zayd itu jadi budak, bukan karena dia diperbudak oleh Nabi dan keluarganya. Bukan. Zayd ini jadi budak karena diculik. Zayd ini berasal dari kabilah Kalb yang menghuni sisi utara jazirah Arab. Kira-kira sekitar Syam. Awalnya, Zayd ditangkap oleh sekolompok penjahat yang lantas menjualnya sebagai seorang budak. Lalu Hukaim bin Hisyam, keponakan Khadijah, membelinya. Barulah Khadijah memberikan Zayd kepada Nabi. Dan Nabi pun lantas memerdekakannya.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...