—Saiful Islam—
“Nabi menikahkan Zayd dengan
Zaynab. Perempuan cantik jelita…”
Narasi yang dibangun untuk
menjelekkan citra Nabi adalah begini: “Nabi pun punya budak. Pertama, Mariah
al-Qibthiyah. Kedua adalah Zayd bin Haritsah.” Iya kan Nabi memperbudak orang?!
Kemudian lantas mengasosiasikan praktik Nabi itu dengan perbudakan ala
jahiliyah. Yang sewenang-wenang. Ala romusa. Dan main paksa.
Termasuk pernyataan Abdul Aziz
dalam Disertasinya itu. Seakan-akan Nabi memperbudak Zayd. Disebutkan begini: “Bahkan,
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita, MENJADIKAN BUDAKNYA, Zaid bin
Harisah sebagai anaknya.” (hlm.70). Lantas disebutkan juga, “Rasulullah MEMPERLAKUKAN
BUDAKNYA seperti anak-anaknya sendiri.” (hlm.71).
Tentu saja tidak begitu! Soal
Mariah, kemarin sudah saya ceritakan. Tidak benar Nabi berhubungan biologis
dengan Mariah tanpa nikah. Yang benar, Nabi menikahi Mariah. Sehingga Mariah
menjadi perempuan merdeka. Bahkan menjadi Ummul Mukminin. Statusnya tidak budak
lagi. Qur’an memang membolehkan berhubungan biologis dengan budak. Tapi harus
dengan izin walinya dan membayar mahar. Nikah.
Soal Zayd saya rasa juga begitu. Ketika
diangkat anak oleh Nabi, Zayd bukan budak lagi. Tidak seperti narasi Abdul Aziz
di atas. Seakan-akan setelah diangkat anak oleh Nabi, status Zayd masih budak. Tentu
saja tidak benar. Menurut saya, ketika diadobsi menjadi anak angkat Nabi, Zayd
adalah orang merdeka.
Jadi ceritanya begini. Zayd itu
nama lengkapnya Zayd bin Haritsah. Yang hidup sekitar tahun 581 – 629 M. Ia termasuk
sahabat Nabi yang awal-awal masuk Islam. Yaitu orang ketiga setelah Khadijah dan
Ali. Menurut saya, ini cara pertama Nabi memuliakan Zayd yang mantan budak itu.
Ketika diadobsi oleh Nabi, tentu
saja status Zayd meningkat. Terutama di mata masyarakat. Menjadi ‘anak Nabi’. Ya,
orang-orang waktu itu sampai memanggil Zayd dengan Zayd bin Muhammad—Zayd anak
laki-lakinya Muhammad. Meskipun, kemudian dilarang oleh Qur’an supaya anak
angkat itu harus tetap disandarkan kepada ayah kandungnya (QS.33:5). Yakni Zayd
bin Haritsah—Zayd anak laki-lakinya Haritsah.
Kedua, Zayd menikah dengan kerabat
Nabi. Salah satunya dengan sepupu beliau yang bernama Zaynab—perempuan muda
yang terkenal cantik jelita. Nabi yang mengusulkan pernikahan itu. Sekitar
tahun 625 M. Meskipun Zaynab sempat menolak. Melihat status sosialnya yang dari
Quraisy. Sementara Zayd, mantan budak. Justru Nabi ingin menghilangkan kasta
kesukuan itu. Apalagi itu perintah Qur’an. Berikut.
QS. Al-Ahzab[33]: 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
Zaynab pun setuju. Dan lantas
menikah dengan Zayd. Selain dengan Zaynab, Zayd juga dinikahkan dengan pelayan
Nabi, Ummu Ayman. Yang dengannya Zayd dikaruniai anak laki-laki bernama Usamah.
Usamah bin Zayd bin Haritsah.
Ketiga, Zayd diangkat menjadi
panglima perang. Terutama dalam pertempuran Mu’tah. Zayd juga terlibat dalam
beberapa pertempuran penting yang lain. Yaitu perang Badar, Uhud, Khandaq
(Parit), Khaybar, dan hadir juga di ekspedisi ke Hudaybiyah. Bahkan ketika Nabi
ke Al-Muraysi, beliau meninggalkan Zayd di Madinah sebagai gubernur.
Tercatat Zayd memimpin tujuh
ekspedisi militer. Yaitu Al-Qarada pada November 624; Al-Jumum pada September
627; Al-‘Is pada Oktober 627; Al-Taraf yang merupakan serang di wilayah Nakhl—jalan
menuju Irak; Wadi al-Qura pada November 627. Zayd sempat kalah. Tapi pada 628
dia membawa pasukan lebih besar dan berhasil mengalahkan suku Fazara; Hisma
atau Khushayn pada Oktober 628 yang berhadapan dengan suku Judham; dan terakhir
adalah pertempuran Mu’tah itu yang terjadi pada tahun 629 M.
Bahkan menurut ‘Aisyah, Nabi tidak
pernah mengirim Zayd bin Haritsah ini ke medan perang, kecuali menjadikannya
sebagai komandan perangnya.
Di sini saya ingin katakan bahwa
tidak benar kalau Nabi memperbudak Zayd ala jahiliyah yang merendahkan,
menyepelekan, menghinakan, semena-mena dan sewenang-wenang. Apa yang sudah saya
ceritakan itu membuktikan bahwa sebaliknya. Nabi sangat memuliakannya. Nabi
menghapus sistem kasta. Tidak ada manusia lebih tinggi dari manusia lain.
Kecuali karena takwanya. Bukan karena warna kulitnya. Suku bangsanya. Negaranya.
Kekayaannya. Dan seterusnya.
Bahkan ketika kelurga Zayd
mendengar bahwa anaknya tinggal bersama Nabi dan kemudian ingin membawanya
pulang. Nabi memberikan kebebasan kepada Zayd. Mau pulang bersama ayah
kandungnya itu. Atau mau tinggal bersama Nabi. Tentu saja Zayd merasakan betul
bagaimanya bahagianya tinggal dengan Nabi. Begitu Nabi memuliakannya. Menghormatinya.
Mengangkat derajatnya. Bahkan mengandalkannya.
Terbukti, Zayd tidak mau pulang. Dia
ingin tinggal dengan Nabi saja. Agaknya, hidup dengan Nabi, Zayd merasa
hidupnya lebih bermakna. Kalau saja hidup dengan Nabi adalah sebuah tirani,
pastilah Zayd kembali ke orang tuanya. Ya orang tuanya. Bayangkan. Atau malah
sudah kabur duluan.
Dan ingat. Zayd itu jadi budak,
bukan karena dia diperbudak oleh Nabi dan keluarganya. Bukan. Zayd ini jadi
budak karena diculik. Zayd ini berasal dari kabilah Kalb yang menghuni sisi
utara jazirah Arab. Kira-kira sekitar Syam. Awalnya, Zayd ditangkap oleh
sekolompok penjahat yang lantas menjualnya sebagai seorang budak. Lalu Hukaim
bin Hisyam, keponakan Khadijah, membelinya. Barulah Khadijah memberikan Zayd
kepada Nabi. Dan Nabi pun lantas memerdekakannya.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar