—Saiful Islam—
“Loh, Mas. Yang penting syarat
rukunnnya terpenuhi, kan itu sudah sah?”
Yang dimaksud syarat dan rukunnya
itu ucapan ijab kabul, wali, dua saksi, dan sepasang pengantin. Meskipun ada
variasi pendapat, mana rukunnya dan mana syarakatnya. Bahkan ada yang
mengatakan rukunnya cuma kedua pengatin. Wali dan akad dianggap syarat. Sementara
saksi dan mahar, tidak dimasukkan rukun maupun syarat. Menurut saya, semua ini
baru kulit. Belum esensi dari pernikahan! Belum isinya!! Belum substansinya!!!
“Yang penting syarat rukunnnya
terpenuhi,” biasanya akan menjebak kita menjadi gampangan soal nikah. Memandang
pernikahan itu layaknya transaksi perdagangan biasa. Memposisikan perempuan
seperti barang. Yang bisa dinikmati sekehendaknya, sesukanya setelah dibeli.
Sempit sekali memandang pernikahan.
Yaitu hanya dari kaca mata fikih. Hitam putih. Halal haram. Memandang
pernikahan hanya bolehnya seks. Dianggapnya pernikahan itu hanya urusan seks.
Dikira, tujuan nikah itu adalah hanya seks. Tidak bisa melihat pernikahan itu
secara holistik.
Jadi tujuannya egoistik. Yang penting
happy bagi dirinya. Tidak bisa melihat akibat-akibat sebuah pernikahan. Baik
itu konsekuensi pada pribadinya, keluarganya, istri dan anaknya, sampai
masyarakat sekitarnya.
Rujukannya biasanya fikih klasik
yang di sana. Padahal dia hidup di zaman modern yang di sini. Karakteristik
masyarakat klasik yang di sana itu, tentu saja beda dengan masyarakat modern
yang di sini. Dan ingat, masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradabannya
itu dinamis. Seiring dengan gerak zaman.
Fikih itu, menurut saya, beda
dengan syariat. Kalau syariat, itu cara menjalani hidup dan kehidupan ini
menurut Qur’an yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Rasul-Nya. Dengan kata
lain, syariat itu ketentuan-ketentuan Qur’an. Sedangkan fikih, itu
kesimpulan-kesimpulan yang dibuat seseorang yang terinspirasi dari Qur’an.
Tentu saja, orang yang menyimpulkan
dari Qur’an dan Hadis, itu sesuai dengan tantangan zamannya. Konteks sosial
masyarakat pada waktu itu. Yang sholih li kull zaman wa makan, itu Qur’an.
Bukan kesimpulan dari Qur’an. Mestinya kandungan dari teks itu bersifat
dinamis. Seiring dengan masyarakat yang dinamis. Bukan statis.
Ungkapan, “Yang penting syarat
rukunnya terpenuhi…,” itu seperti kaca mata kuda. Mengira kesimpulan dari
Qur’an itu, statis. Tidak peduli seperti apa pun dinamisnya masyarakat,
pokoknya harus disesuaikan dengan kesimpulan itu. Tak peduli teks kesimpulan
itu terjadi dimana, kapan, dan bagaimana pun keadaan sosial, ekonomi, dan
politik masyarakatnya.
Substansi pernikahan itu, justru
sudah tergambar dari makna nikah itu sendiri. Seperti yang sudah saya ceritakan
kemarin. Bahwa nikah itu asalnya untuk akad. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan.
Semacam komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun dan membina
rumah tangga. Perjanjian kedua belah pihak. Qur’an sendiri bahkan
menggambarkannya sebagai perjanjian yang amat sangat kokoh.
QS. Al-Nisa’[4]: 21
كَيْفَ تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kalian akan mengambilnya
kembali, Padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kalian PERJANJIAN
YANG AMAT SANGAT KOKOH.
Kata miitsaaqon, dari kata watsuqa,
itu saja sudah mengandung berarti kokoh, kuat, gagah, dan teguh. Masih oleh Qur’an
ditambahi gholiizhon. Ini menggambarkan betapa kuat dan kokohnya
perjanjian antara laki-laki dan perempuan itu. Jadi, tidak boleh meremehkan dan
apalagi sembarangan dengan akad pernikahan itu.
Saking sangat pentingnya perjanjian
itu, sampai-sampai Qur’an menyamakannya dengan perjanjian antara Allah dan para
Nabi. Di sini Qur’an juga menggunakan kata miitsaaqon gholiizhon. Seperti
direkam dalam ayat berikut.
QS. Al-Ahzab[33]: 7
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ
النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ
وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami
mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka PERJANJIAN YANG
AMAT SANGAT KOKOH.
Perjanjian yang penting saja, itu biasanya
sudah tertulis kalau di Indonesia sekarang. Seperti perjanjian kerja, perjanjian
sewa tanah, rumah, bangunan, dan semisalnya. Apalagi perjanjian yang sangat
penting seperti akad pernikahan ini. Mestinya ya tertulis. Di lembaga resmi
negara. Wajib itu. Sekali lagi, untuk lebih menjamin kepastian hukum dengan
konteks masyarakat Indonesia sekarang. Hak-hak lebih terlindungi. Ini sudah selaras
dengan semangat Qur’an.
Ada konsekuensi dari pernikahan
itu: bolehnya seks. Ada konsekuensi bolehnya seks itu: lahirnya anak-anak. Ada konsekuensi
lahirnya anak-anak itu: bertanggung jawab pada kehidupan, terutama pendidikan
mereka. Yang terpenting adalah bersama-sama mengupayakan keselamatan, kebaikan,
dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat bagi semua anggota keluarga.
Jadi, menikah itu tujuannya bukan
hanya seks. Seks hanya bagiannya saja. Tapi yang lebih penting adalah membangun
dan membina rumah tangga yang tentram (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan
kasih sayang (rohmah).
QS. Al-Rum[30]: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari jenis
kalian sendiri. Supaya dengannya, kalian TENTRAM. Dan Dia jadikan rasa CINTA,
serta KASIH SAYANG di antara kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Itulah bedanya akad pernikahan
dengan wani piro (prostitusi). Kalau wani piro itu tujuan
utamanya memang hanya memuaskan nafsu seksual. Dia hanya membeli atau menyewa seks.
Kalau sudah selesai, puas, ya sudah. Tinggal. Tidak ada di dalam wani piro
itu, namanya cinta, kasih, dan sayang. Apalagi untuk membangun rumah tangga. Gampangnya,
wani piro itu, tidak bertanggung jawab.
Malah tak jarang di masyarakat, “Yang
penting syarat rukunnya terpenuhi…,” ini digunakan untuk ngeles dari
wani piro itu. Syarat rukunnya diakali. Tapi substansinya sama: kepuasan
seksual menjadi tujuan pertama dan utamanya serta tidak bertanggung jawab. Sehingga
kalau sudah puas dan bosan, ya ditinggal begitu saja. Perempuan menjadi korban.
Dituntut secara hukum, tidak bisa. Sebab memang tidak ada hitam di atas putih. Tidak
ada bukti. Lain cerita kalau akad pernikahan itu ditulis resmi!
Manusia itu sejatinya memang
binatang. Hanya bisa berakal. Andai saja tidak ada hukum, pastilah kehidupan
manusia itu seperti di hutan. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Siapa akan
menerkam siapa. Chaos. Kehidupan akan rusak dan berantakan. Qur’an
sebagai panduan nilai dan moral universal diturunkan. Memang supaya manusia
menemukan jati dirinya: khalifah. Teknisnya dibuat dan diimplementasikan oleh
negara. Melalui hukum-hukum yang disepakati.
Jadi sekali lagi. Nikah sirri (akad
nikah tanpa dicatat resmi), menurut saya itu bisa jadi tidak sah!
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar