Jumat, 27 September 2019

SUBSTANSI PERNIKAHAN


—Saiful Islam—

“Loh, Mas. Yang penting syarat rukunnnya terpenuhi, kan itu sudah sah?”

Yang dimaksud syarat dan rukunnya itu ucapan ijab kabul, wali, dua saksi, dan sepasang pengantin. Meskipun ada variasi pendapat, mana rukunnya dan mana syarakatnya. Bahkan ada yang mengatakan rukunnya cuma kedua pengatin. Wali dan akad dianggap syarat. Sementara saksi dan mahar, tidak dimasukkan rukun maupun syarat. Menurut saya, semua ini baru kulit. Belum esensi dari pernikahan! Belum isinya!! Belum substansinya!!!

“Yang penting syarat rukunnnya terpenuhi,” biasanya akan menjebak kita menjadi gampangan soal nikah. Memandang pernikahan itu layaknya transaksi perdagangan biasa. Memposisikan perempuan seperti barang. Yang bisa dinikmati sekehendaknya, sesukanya setelah dibeli.

Sempit sekali memandang pernikahan. Yaitu hanya dari kaca mata fikih. Hitam putih. Halal haram. Memandang pernikahan hanya bolehnya seks. Dianggapnya pernikahan itu hanya urusan seks. Dikira, tujuan nikah itu adalah hanya seks. Tidak bisa melihat pernikahan itu secara holistik.

Jadi tujuannya egoistik. Yang penting happy bagi dirinya. Tidak bisa melihat akibat-akibat sebuah pernikahan. Baik itu konsekuensi pada pribadinya, keluarganya, istri dan anaknya, sampai masyarakat sekitarnya.

Rujukannya biasanya fikih klasik yang di sana. Padahal dia hidup di zaman modern yang di sini. Karakteristik masyarakat klasik yang di sana itu, tentu saja beda dengan masyarakat modern yang di sini. Dan ingat, masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradabannya itu dinamis. Seiring dengan gerak zaman.

Fikih itu, menurut saya, beda dengan syariat. Kalau syariat, itu cara menjalani hidup dan kehidupan ini menurut Qur’an yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Rasul-Nya. Dengan kata lain, syariat itu ketentuan-ketentuan Qur’an. Sedangkan fikih, itu kesimpulan-kesimpulan yang dibuat seseorang yang terinspirasi dari Qur’an.

Tentu saja, orang yang menyimpulkan dari Qur’an dan Hadis, itu sesuai dengan tantangan zamannya. Konteks sosial masyarakat pada waktu itu. Yang sholih li kull zaman wa makan, itu Qur’an. Bukan kesimpulan dari Qur’an. Mestinya kandungan dari teks itu bersifat dinamis. Seiring dengan masyarakat yang dinamis. Bukan statis.

Ungkapan, “Yang penting syarat rukunnya terpenuhi…,” itu seperti kaca mata kuda. Mengira kesimpulan dari Qur’an itu, statis. Tidak peduli seperti apa pun dinamisnya masyarakat, pokoknya harus disesuaikan dengan kesimpulan itu. Tak peduli teks kesimpulan itu terjadi dimana, kapan, dan bagaimana pun keadaan sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya.

Substansi pernikahan itu, justru sudah tergambar dari makna nikah itu sendiri. Seperti yang sudah saya ceritakan kemarin. Bahwa nikah itu asalnya untuk akad. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. Semacam komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun dan membina rumah tangga. Perjanjian kedua belah pihak. Qur’an sendiri bahkan menggambarkannya sebagai perjanjian yang amat sangat kokoh.

QS. Al-Nisa’[4]: 21
كَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kalian PERJANJIAN YANG AMAT SANGAT KOKOH.

Kata miitsaaqon, dari kata watsuqa, itu saja sudah mengandung berarti kokoh, kuat, gagah, dan teguh. Masih oleh Qur’an ditambahi gholiizhon. Ini menggambarkan betapa kuat dan kokohnya perjanjian antara laki-laki dan perempuan itu. Jadi, tidak boleh meremehkan dan apalagi sembarangan dengan akad pernikahan itu.

Saking sangat pentingnya perjanjian itu, sampai-sampai Qur’an menyamakannya dengan perjanjian antara Allah dan para Nabi. Di sini Qur’an juga menggunakan kata miitsaaqon gholiizhon. Seperti direkam dalam ayat berikut.

QS. Al-Ahzab[33]: 7
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka PERJANJIAN YANG AMAT SANGAT KOKOH.

Perjanjian yang penting saja, itu biasanya sudah tertulis kalau di Indonesia sekarang. Seperti perjanjian kerja, perjanjian sewa tanah, rumah, bangunan, dan semisalnya. Apalagi perjanjian yang sangat penting seperti akad pernikahan ini. Mestinya ya tertulis. Di lembaga resmi negara. Wajib itu. Sekali lagi, untuk lebih menjamin kepastian hukum dengan konteks masyarakat Indonesia sekarang. Hak-hak lebih terlindungi. Ini sudah selaras dengan semangat Qur’an.

Ada konsekuensi dari pernikahan itu: bolehnya seks. Ada konsekuensi bolehnya seks itu: lahirnya anak-anak. Ada konsekuensi lahirnya anak-anak itu: bertanggung jawab pada kehidupan, terutama pendidikan mereka. Yang terpenting adalah bersama-sama mengupayakan keselamatan, kebaikan, dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat bagi semua anggota keluarga.

Jadi, menikah itu tujuannya bukan hanya seks. Seks hanya bagiannya saja. Tapi yang lebih penting adalah membangun dan membina rumah tangga yang tentram (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rohmah).

QS. Al-Rum[30]: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri. Supaya dengannya, kalian TENTRAM. Dan Dia jadikan rasa CINTA, serta KASIH SAYANG di antara kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Itulah bedanya akad pernikahan dengan wani piro (prostitusi). Kalau wani piro itu tujuan utamanya memang hanya memuaskan nafsu seksual. Dia hanya membeli atau menyewa seks. Kalau sudah selesai, puas, ya sudah. Tinggal. Tidak ada di dalam wani piro itu, namanya cinta, kasih, dan sayang. Apalagi untuk membangun rumah tangga. Gampangnya, wani piro itu, tidak bertanggung jawab.

Malah tak jarang di masyarakat, “Yang penting syarat rukunnya terpenuhi…,” ini digunakan untuk ngeles dari wani piro itu. Syarat rukunnya diakali. Tapi substansinya sama: kepuasan seksual menjadi tujuan pertama dan utamanya serta tidak bertanggung jawab. Sehingga kalau sudah puas dan bosan, ya ditinggal begitu saja. Perempuan menjadi korban. Dituntut secara hukum, tidak bisa. Sebab memang tidak ada hitam di atas putih. Tidak ada bukti. Lain cerita kalau akad pernikahan itu ditulis resmi!

Manusia itu sejatinya memang binatang. Hanya bisa berakal. Andai saja tidak ada hukum, pastilah kehidupan manusia itu seperti di hutan. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Siapa akan menerkam siapa. Chaos. Kehidupan akan rusak dan berantakan. Qur’an sebagai panduan nilai dan moral universal diturunkan. Memang supaya manusia menemukan jati dirinya: khalifah. Teknisnya dibuat dan diimplementasikan oleh negara. Melalui hukum-hukum yang disepakati.

Jadi sekali lagi. Nikah sirri (akad nikah tanpa dicatat resmi), menurut saya itu bisa jadi tidak sah!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...