—Saiful Islam—
“Kapal itu dibuat bukan untuk
bersandar di dermaga. Tapi untuk berlayar mengarungi samudera. Bercengkrama
dengan badai, gelombang ombak, petir, dan teriknya matahari…”
Selingan dulu. Seorang kawan minta
konfirmasi kepada saya soal teaser film yang sedang viral. The Santri. Terjadi
pro kontra dalam mengomentarai tayangan tersebut. “Karena ada adegan membawa
tumpeng ke dalam gereja, berduaan antara pemain lawan jenis, lomba yang
mengirimkan santri bekerja ke Amerika...,” begitu kurang lebih tulisnya.
Sebenarnya sudah langsung saya
tanggapi singkat. “Yang jelas, jangan mereduksi Islam hanya soal halal-haram.
Hitam putih. Sudut pandang Islam atau angle-nya itu bisa luas.” Meski
begitu, saya paham. Bahwa masyarakat itu maunya yang praktis. Ini halal. Itu
haram. Titik. Saya pun mengalaminya. Namun, alangkah garingnya Islam, kalau
kaca matanya hanya fikih. Padahal Qur’an
berbicara fikih itu hanya kira-kira satu per enamnya saja.
Kehidupan manusia ini kompleks dan
dinamis. Zaman dan peradaban terus berubah. Memang Qur’an menyuruh kita
melakukan sesuatu. Serta melarang melakukan yang lain. Itu untuk kepentingan manusia.
Bukan kepentingan Tuhan. Supaya manusia, Kaum Mukminin khususnya, itu maju. Dalam
semua bidang. Ekonomi, sosial, politik, militer, Sains dan teknologi, dan
sebagainya. Menjadi umat teladan (khoyro ummah).
Maka penting bagi kita untuk sadar.
Mana yang mesti dilakukan. Mana yang tak perlu dilakukan. Demi masa. Waktu,
jatah hidup ini terbatas. Dalam bersosial misalnya. Allah memerintahkan agar
bersosial. Saling mengenal (QS.49:13). Kita malah mengurung diri. Terlalu takut
dan khawatir dampat negatif dari pergaulan itu. Padahal, banyak sekali manfaat
positif dari pergaulan antar manusia. Apa pun agamanya.
Tak sedikit memang. Kalangan tertentu,
itu sedikit-sedikit haram. Sedikit-sedikit haram. Ini, haram. Itu, haram. Memurtadkan
orang yang menghalalkan yang diharamkan. Jangan lupa. Mengharamkan yang halal,
itu juga bisa murtad menurut tradisi Islam ortodoks itu sendiri. Meski memang,
kalau sudah bisa mengharamkan, itu tampak keren. Tampak alim. Tampak berwibawa.
Tampak hati-hati.
Padahal, sangat bisa jadi,
pengharaman itu, amat dekat sekali dengan kemunduran. Keterbelakangan. Takut dan
khawatir dengan tantangan zaman. Allah ciptakan kita di dunia ini untuk apa
sih? Sembunyi dari tantangan zaman dan peradaban yang terus berderap ke depan?
Hai Gaes. Bahtera itu dibuat bukan untuk bersandar di pantai. Atau dermaga. Tapi
untuk mengarungi lautan. Samudra. Bercengkrama dengan badai, gelombang ombak, petir,
dan teriknya matahari.
Soal masuk gereja itu. Kalau kalian
ubek-ubek Qur’an, even from cover to cover, tidak ada satu ayat
pun yang menyuruh atau melarang orang masuk, shalat, atau apa pun ke dalam
gereja. Atau tempat suci agama lain. Seperti pura, wihara, kelenteng, sinagog,
dan seterusnya. Tidak ada. Begitu juga Hadis. Tidak ada larangan.
Qur’an tidak ada. Hadis, tidak ada.
Maka kita kembali pada filsafat fikihnya saja. Tulis dengan tinta emas rumus
ini: Budaya, tradisi, dan semisalnya, itu hukum asalnya boleh. Sampai ada dalil
yang melarangnya. Sebaliknya. Ritual, akidah, itu hukum asalnya dilarang. Tidak
boleh. Haram. Sampai ada dalil yang menyuruhnya. Jadi kalau yang selain ritual
dan ibadah, itu asalnya boleh-boleh saja.
Langkah kedua, kita analisis. Apakah
masuk ke dalam gereja itu ritual atau akidah? Tentu saja bukan. Masuk ke dalam gereja
itu termasuk asyya’. Cuma tradisi atau budaya saja. Maka hukum asalnya
adalah boleh. Mubah. Halal.
Jangankan cuma masuk mengantar
tumpeng di gereja itu. Mau belajar, mau debat dan diskusi, mau kumpul-kumpul
rapat, mau browsing, mau bancakan, mau makan bersama, mau apa pun pokoknya
bukan urusan ritual dan akidah, ya boleh-boleh saja. Bahkan seadainya kalian
mau shalat dhuhur misalnya di dalam gereja, ya is fine. Is OK. Dalam
konteks bersosial, semuanya boleh. Sampai ada dalil yang mengharamkan!
Yang tak boleh dilakukan di dalam
gereja misalnya kalian ikut-ikutan ritual mereka. Membenarkan keyakinan mereka.
Soal patung, salib, semua itu cuma bikinan manusia saja. Hanya kayu. Cuma semen.
Tidak ada kaitannya sama sekali dengan setan, jin, roh, dan semisalnya. Yang mengait-ngaitkan
salib, patung, lukisan, dan semisalnya itu cuma imajinasi kita sendiri. Padahal
sekali lagi, semua itu cuma kayu, semen, pasir, besi, kertas.
Kemudian soal berduaan dua aktor
yang berlawanan jenis. Ini opini saya. Berduaan dengan beda jenis, laki-laki
dan perempuan, itu tergantung apa dulu yang dilakukannya. Lihat konteksnya
dulu. Kalau pacaran misalnya. Sebaiknya, jangan. Apalagi di tempat yang
gelap-gelap. Cenderung ke nafsu. Kalau nafsu sudah sampai ubun-ubun, akal sehat
menjadi off. Mengarah ke perzinaan.
Tapi kalau diskusi, atau
urusan-urusan kemanusiaan yang semisalnya, tidak ada yang salah. Bagi saya,
hidup bersosial itu tidak ada kaitannya dengan laki-laki dan perempuan lagi.
Dalam bersosial, keduanya adalah khalifah. Manusia yang fungsinya sebagai
laki-laki dan perempuan, itu hanya saat ‘tempur di kasur’ saja. Hehe. Ketika bermasyarakat,
bekerja dan semisalnya, fungsi manusia adalah sebagai khalifah.
Adapun soal lomba yang mengirim
santri ke Amerika untuk bekerja. Catat ini dulu. Sains, teknologi, peradaban,
tradisi, budaya, itu asalnya netral. Sebab di masyarakat kita masih ada yang
beranggapan begini: haram belajar filsafat. Karena filsafat itu dari orang
kafir. Haram belajar Matematika, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris, Astronomi,
Biologi, karena itu ilmu-ilmu kafir. Ini ilmu agama. Itu ilmu umum. Ya wajar
kalau Kaum Mukminin selalu ketinggalan dengan Barat. Sama-sama Asia, masih jauh
kita dibanding Jepang dan apalagi Tiongkok. Meski kedua negara tetangga kita
itu terkenal ateis. Tak bertuhan. Kenapa? Sebab mereka menguasai Sains dan
teknologi! Semua ilmu itu milik Allah Gaes.
Tidak ada yang salah kalau ada
santri yang bekerja di Amerika. Bahkan bagus sekali. Karena ada usaha untuk
belajar kepada perabadan yang lebih maju. Terutama soal Sains dan teknologinya.
Meskipun memang. Secara tradisi dan budayanya, cara bersosial orang-orang
Barat, itu tidak selalu lebih baik dari kita. Namun umumnya, mereka maju justru
ketika meninggalkan agamanya yang dogmatis mistis wal klenik, dan menggantinya
dengan Sains dan teknologi.
Ya ambil yang baik. Tinggalkan yang
buruk. Meski keluar dari dubur ayam, kalau itu telur, ya ambil. Intinya selalu gunakan
akal sehat. Gunakan hati nurani. Gunakan insting. Di sini sudah ada paket wahyunya.
Allah bisa kapan saja, dimana saja, sewaktu-waktu memberikan petunjuk-Nya. Ke ‘dalam
dada’. Yang sangat cepat. Itulah ilham!
Maaf ya. Kali ini banyak ceramahnya.
Hehe.
Begitu. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar