Kamis, 19 September 2019

BUKAN HANYA HALAL-HARAM


—Saiful Islam—

“Kapal itu dibuat bukan untuk bersandar di dermaga. Tapi untuk berlayar mengarungi samudera. Bercengkrama dengan badai, gelombang ombak, petir, dan teriknya matahari…”

Selingan dulu. Seorang kawan minta konfirmasi kepada saya soal teaser film yang sedang viral. The Santri. Terjadi pro kontra dalam mengomentarai tayangan tersebut. “Karena ada adegan membawa tumpeng ke dalam gereja, berduaan antara pemain lawan jenis, lomba yang mengirimkan santri bekerja ke Amerika...,” begitu kurang lebih tulisnya.

Sebenarnya sudah langsung saya tanggapi singkat. “Yang jelas, jangan mereduksi Islam hanya soal halal-haram. Hitam putih. Sudut pandang Islam atau angle-nya itu bisa luas.” Meski begitu, saya paham. Bahwa masyarakat itu maunya yang praktis. Ini halal. Itu haram. Titik. Saya pun mengalaminya. Namun, alangkah garingnya Islam, kalau kaca matanya hanya fikih.  Padahal Qur’an berbicara fikih itu hanya kira-kira satu per enamnya saja.

Kehidupan manusia ini kompleks dan dinamis. Zaman dan peradaban terus berubah. Memang Qur’an menyuruh kita melakukan sesuatu. Serta melarang melakukan yang lain. Itu untuk kepentingan manusia. Bukan kepentingan Tuhan. Supaya manusia, Kaum Mukminin khususnya, itu maju. Dalam semua bidang. Ekonomi, sosial, politik, militer, Sains dan teknologi, dan sebagainya. Menjadi umat teladan (khoyro ummah).

Maka penting bagi kita untuk sadar. Mana yang mesti dilakukan. Mana yang tak perlu dilakukan. Demi masa. Waktu, jatah hidup ini terbatas. Dalam bersosial misalnya. Allah memerintahkan agar bersosial. Saling mengenal (QS.49:13). Kita malah mengurung diri. Terlalu takut dan khawatir dampat negatif dari pergaulan itu. Padahal, banyak sekali manfaat positif dari pergaulan antar manusia. Apa pun agamanya.

Tak sedikit memang. Kalangan tertentu, itu sedikit-sedikit haram. Sedikit-sedikit haram. Ini, haram. Itu, haram. Memurtadkan orang yang menghalalkan yang diharamkan. Jangan lupa. Mengharamkan yang halal, itu juga bisa murtad menurut tradisi Islam ortodoks itu sendiri. Meski memang, kalau sudah bisa mengharamkan, itu tampak keren. Tampak alim. Tampak berwibawa. Tampak hati-hati.

Padahal, sangat bisa jadi, pengharaman itu, amat dekat sekali dengan kemunduran. Keterbelakangan. Takut dan khawatir dengan tantangan zaman. Allah ciptakan kita di dunia ini untuk apa sih? Sembunyi dari tantangan zaman dan peradaban yang terus berderap ke depan? Hai Gaes. Bahtera itu dibuat bukan untuk bersandar di pantai. Atau dermaga. Tapi untuk mengarungi lautan. Samudra. Bercengkrama dengan badai, gelombang ombak, petir, dan teriknya matahari.

Soal masuk gereja itu. Kalau kalian ubek-ubek Qur’an, even from cover to cover, tidak ada satu ayat pun yang menyuruh atau melarang orang masuk, shalat, atau apa pun ke dalam gereja. Atau tempat suci agama lain. Seperti pura, wihara, kelenteng, sinagog, dan seterusnya. Tidak ada. Begitu juga Hadis. Tidak ada larangan.

Qur’an tidak ada. Hadis, tidak ada. Maka kita kembali pada filsafat fikihnya saja. Tulis dengan tinta emas rumus ini: Budaya, tradisi, dan semisalnya, itu hukum asalnya boleh. Sampai ada dalil yang melarangnya. Sebaliknya. Ritual, akidah, itu hukum asalnya dilarang. Tidak boleh. Haram. Sampai ada dalil yang menyuruhnya. Jadi kalau yang selain ritual dan ibadah, itu asalnya boleh-boleh saja.

Langkah kedua, kita analisis. Apakah masuk ke dalam gereja itu ritual atau akidah? Tentu saja bukan. Masuk ke dalam gereja itu termasuk asyya’. Cuma tradisi atau budaya saja. Maka hukum asalnya adalah boleh. Mubah. Halal.

Jangankan cuma masuk mengantar tumpeng di gereja itu. Mau belajar, mau debat dan diskusi, mau kumpul-kumpul rapat, mau browsing, mau bancakan, mau makan bersama, mau apa pun pokoknya bukan urusan ritual dan akidah, ya boleh-boleh saja. Bahkan seadainya kalian mau shalat dhuhur misalnya di dalam gereja, ya is fine. Is OK. Dalam konteks bersosial, semuanya boleh. Sampai ada dalil yang mengharamkan!

Yang tak boleh dilakukan di dalam gereja misalnya kalian ikut-ikutan ritual mereka. Membenarkan keyakinan mereka. Soal patung, salib, semua itu cuma bikinan manusia saja. Hanya kayu. Cuma semen. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan setan, jin, roh, dan semisalnya. Yang mengait-ngaitkan salib, patung, lukisan, dan semisalnya itu cuma imajinasi kita sendiri. Padahal sekali lagi, semua itu cuma kayu, semen, pasir, besi, kertas.

Kemudian soal berduaan dua aktor yang berlawanan jenis. Ini opini saya. Berduaan dengan beda jenis, laki-laki dan perempuan, itu tergantung apa dulu yang dilakukannya. Lihat konteksnya dulu. Kalau pacaran misalnya. Sebaiknya, jangan. Apalagi di tempat yang gelap-gelap. Cenderung ke nafsu. Kalau nafsu sudah sampai ubun-ubun, akal sehat menjadi off. Mengarah ke perzinaan.

Tapi kalau diskusi, atau urusan-urusan kemanusiaan yang semisalnya, tidak ada yang salah. Bagi saya, hidup bersosial itu tidak ada kaitannya dengan laki-laki dan perempuan lagi. Dalam bersosial, keduanya adalah khalifah. Manusia yang fungsinya sebagai laki-laki dan perempuan, itu hanya saat ‘tempur di kasur’ saja. Hehe. Ketika bermasyarakat, bekerja dan semisalnya, fungsi manusia adalah sebagai khalifah.

Adapun soal lomba yang mengirim santri ke Amerika untuk bekerja. Catat ini dulu. Sains, teknologi, peradaban, tradisi, budaya, itu asalnya netral. Sebab di masyarakat kita masih ada yang beranggapan begini: haram belajar filsafat. Karena filsafat itu dari orang kafir. Haram belajar Matematika, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris, Astronomi, Biologi, karena itu ilmu-ilmu kafir. Ini ilmu agama. Itu ilmu umum. Ya wajar kalau Kaum Mukminin selalu ketinggalan dengan Barat. Sama-sama Asia, masih jauh kita dibanding Jepang dan apalagi Tiongkok. Meski kedua negara tetangga kita itu terkenal ateis. Tak bertuhan. Kenapa? Sebab mereka menguasai Sains dan teknologi! Semua ilmu itu milik Allah Gaes.

Tidak ada yang salah kalau ada santri yang bekerja di Amerika. Bahkan bagus sekali. Karena ada usaha untuk belajar kepada perabadan yang lebih maju. Terutama soal Sains dan teknologinya. Meskipun memang. Secara tradisi dan budayanya, cara bersosial orang-orang Barat, itu tidak selalu lebih baik dari kita. Namun umumnya, mereka maju justru ketika meninggalkan agamanya yang dogmatis mistis wal klenik, dan menggantinya dengan Sains dan teknologi.

Ya ambil yang baik. Tinggalkan yang buruk. Meski keluar dari dubur ayam, kalau itu telur, ya ambil. Intinya selalu gunakan akal sehat. Gunakan hati nurani. Gunakan insting. Di sini sudah ada paket wahyunya. Allah bisa kapan saja, dimana saja, sewaktu-waktu memberikan petunjuk-Nya. Ke ‘dalam dada’. Yang sangat cepat. Itulah ilham!

Maaf ya. Kali ini banyak ceramahnya. Hehe.

Begitu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...