Jumat, 13 September 2019

SEMANGAT QUR’AN MEMBEBASKAN


—Saiful Islam—

“Lapo seh. Wong iki budak-budakku dewe. Yo sak karep-karepku lah kate tak apakno…”

Sekarang begini. Yang objektif. Setelah melihat gambaran Qur’an dari ayat-ayat tentang perempuan dan anak-anak kemarin. Pertanyaannya: Semangat Qur’an mengangkat nilai kemanusiaan perempuan dan anak-anak, atau merendahkan? Memuliakan perempuan dan anak-anak, atau menghinakan? Semangat Qur’an memanusiakan perempuan dan anak-anak, atau membinatangkan mereka? Semangat Qur’an melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak, atau merampasnya? Semangat Qur’an berbuat adil kepada perempuan dan anak-anak, atau zalim kepada mereka?

Silakan rasakan sendiri. Pikirkan sendiri. Silakan jawab sendiri. Di dalam hati.

Kalau perbudakan itu diartikan sebagai sesuatu yang semena-mena, zalim, eksploitasi perempuan dan anak-anak, apakah Qur’an merestuinya? Atau apakah Qur’an bahkan memotivasi supaya mengeksploitasi perempuan dan anak-anak? Dengan model perbudakan seperti ini, apakah Qur’an merestuinya? Atau bahkan menyuruh perbudakan tersebut?

Silakan pikirkan sendiri. Rasakan sendiri. Di dalam hati, jawab sendiri.

Qur’an itu hanya merespon perbudakan yang sudah ada. Perbudakan yang cenderung liar, menjadi perbudakan yang jinak. Teratur. ‘Perbudakan yang baik’. Sampai ujungnya adalah memerdekakan budak. Dari kasta masyarakat nomer dua, menjadi masyarakat yang setara. Egaliter. Sama-sama menjadi masyarakat yang merdeka. Mempunyai hak-hak yang sama. Yang harus saling dihormati.

“Loh, Mas. Kok ada perbudakan yang baik?” Kita tidak bisa pungkiri bahwa dalam sistem sosial yang masih sangat sederhana waktu itu, ada sisi baik dari perbudakan. Yaitu, terutama bagi kaum yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Baik laki-laki maupun perempuan. Kemiskinan itu mengondisikan mereka menjual diri mereka sebagai budak. Mereka lantas bekerja kepada para tuan yang darinya mendapat bayaran. Dengan bayaran itu mereka bisa menyambung hidup.

Nah, Qur’an memang tidak langsung mengharamkan perbudakan itu. Pada masa itu. Tampaknya memang mempertimbangkan ‘sisi baik’ dari perbudakan itu. Untuk kemaslahatan atau manfaat masyarakat itu sendiri. Namun yang jelas-jelas diharamkan Qur’an adalah zalim. Semena-mena, mentang-mentang dengan cara main paksa. Yang tentu saja, membuat pihak lain tidak rela.

Terkait praktik germo Ibnu Salul misalnya. Yang punya hobi memaksa para budaknya untuk terjun dalam dunia prostitusi. Qur’an pun mengritiknya. Seperti diceritakan pada ayat berikut ini.

QS. Al-Nur[24]: 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian (untuk merdeka), hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. DAN JANGANLAH KALIAN PAKSA BUDAK-BUDAK WANITA KALIAN UNTUK MELAKUKAN PELACURAN, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Maka pantas saja kalau Ibnu Salul marah besar dengan adanya ayat itu. Sekan-akan dia berkata, “Lapo seh. Wong iki budak-budakku dewe. Yo sak karep-karepku lah kate tak apakno. Aturan cap opo iku!” Nah. Qur’an itu seakan-akan berpesan pada masyarakat sederhana Arab jahiliyah saat itu, “Is OK perbudakan. Tapi yang baik ya sama budak-budak kalian. Hormati. Muliakan. Jangan semena-mena. Jangan zalim. Jangan paksa melacur. Bayarlah yang pantas. Kalau dia sudah mandiri, bebaskan!”

Jadi, pada abad ke-7 M itu, seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan. Berdasar QS.24:33 di atas. Yaitu dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Maka pemilik budak itu harus menerima perjanjian itu kalau budak tersebut dipandang sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.

Nah. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu, Qur’an menyuruh kaum Mukminin menolong para budak dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya. Ini direkam dalam ayat berikut.

QS. Al-Taubah[9]: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Adapun para budak yang terpaksa melacur, karena dipaksa oleh tuannya, tentu saja mereka tidak berdosa. Lihat, halus sekali perlindungan Allah kepada para wong cilik itu, “Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Karena mereka adalah korban. Justru yang dosa adalah tuan yang main paksa. Yang semena-mena. Yang mentang-mentang tersebut.

“Loh, Mas. Tapi kan di ayat itu tidak ada perintah untuk membebaskan budak?” Iya memang. Tapi jangan lupa. Tidak ada perintah juga untuk memperbudak orang! Bahkan, indikasi bahwa semangat Qur’an itu membebaskan perbudakan, itu ada. Diceritakan pada ayat di bawah ini.

QS. Al-Balad[90]: 10-16
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan (kebaikan dan keburukan).
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ
11. Tetapi dia (manusia itu) tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ
12. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
فَكُّ رَقَبَةٍ
13. (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ
14. Atau memberi makan pada hari kelaparan.
يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ
15. (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
16. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir.

Jelas sekali. Jalan kebaikan itu adalah memang jalan mendaki yang sukar. Harus ada upaya. Harus ada tenaga ekstra. Harus dibarengi dengan keikhlasan, kesabaran, dan kepasrahan kepada Allah. Sudah menjadi hukum alam. Bahwa apa pun kalau dibiarkan, maka selalu menuju kerusakan. Kualitasnya berangsur-angsur menuju down. Supaya up, tidak bisa tidak, harus ada energi. Harus ada upaya dan usaha. Yang mesti dimasukkan ke dalam sistem.

Maka begitulah yang diceritakan di ayat itu. Bahwa jalan kebaikan itu adalah jalan mendaki dan sukar. Apa jalan mendaki dan berat itu? Tegas Allah menyebut. Salah satunya adalah MEMBEBASKAN BUDAK. Membebaskan budak ini, bahkan disejajarkan dengan jalan mendaki yang berat lainnya: memberi makan ketika ekonomi sulit kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Tentu saja. Membebaskan budak itu memang amat sangat berat. Apalagi bagi model-model orang seperti Ibnu Salul. Kenapa kok berat? Manusia itu selalu mencari kenyamanan dan menghindari penderitaan. Maunya yang enak-enak terus. Yang untung-untung terus. Kalau bisa tidak perlu bekerja. Malas dan kikir, inilah manusia. Nah, mengeksploitasi orang melalui perbudakan, itulah yang paling mudah dilakukan dan paling mendukung sifat dasar manusia itu. Maka, membebaskan budak, ini meruntuhkan zona nyaman para tuan itu.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...