—Saiful Islam—
“Lapo seh. Wong iki budak-budakku
dewe. Yo sak karep-karepku lah kate tak apakno…”
Sekarang begini. Yang objektif. Setelah
melihat gambaran Qur’an dari ayat-ayat tentang perempuan dan anak-anak kemarin.
Pertanyaannya: Semangat Qur’an mengangkat nilai kemanusiaan perempuan dan
anak-anak, atau merendahkan? Memuliakan perempuan dan anak-anak, atau
menghinakan? Semangat Qur’an memanusiakan perempuan dan anak-anak, atau
membinatangkan mereka? Semangat Qur’an melindungi hak-hak perempuan dan
anak-anak, atau merampasnya? Semangat Qur’an berbuat adil kepada perempuan dan
anak-anak, atau zalim kepada mereka?
Silakan rasakan sendiri. Pikirkan
sendiri. Silakan jawab sendiri. Di dalam hati.
Kalau perbudakan itu diartikan
sebagai sesuatu yang semena-mena, zalim, eksploitasi perempuan dan anak-anak,
apakah Qur’an merestuinya? Atau apakah Qur’an bahkan memotivasi supaya
mengeksploitasi perempuan dan anak-anak? Dengan model perbudakan seperti ini,
apakah Qur’an merestuinya? Atau bahkan menyuruh perbudakan tersebut?
Silakan pikirkan sendiri. Rasakan sendiri.
Di dalam hati, jawab sendiri.
Qur’an itu hanya merespon
perbudakan yang sudah ada. Perbudakan yang cenderung liar, menjadi perbudakan
yang jinak. Teratur. ‘Perbudakan yang baik’. Sampai ujungnya adalah
memerdekakan budak. Dari kasta masyarakat nomer dua, menjadi masyarakat yang
setara. Egaliter. Sama-sama menjadi masyarakat yang merdeka. Mempunyai hak-hak
yang sama. Yang harus saling dihormati.
“Loh, Mas. Kok ada perbudakan yang
baik?” Kita tidak bisa pungkiri bahwa dalam sistem sosial yang masih sangat
sederhana waktu itu, ada sisi baik dari perbudakan. Yaitu, terutama bagi kaum
yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Baik laki-laki maupun
perempuan. Kemiskinan itu mengondisikan mereka menjual diri mereka sebagai
budak. Mereka lantas bekerja kepada para tuan yang darinya mendapat bayaran. Dengan
bayaran itu mereka bisa menyambung hidup.
Nah, Qur’an memang tidak langsung
mengharamkan perbudakan itu. Pada masa itu. Tampaknya memang mempertimbangkan ‘sisi
baik’ dari perbudakan itu. Untuk kemaslahatan atau manfaat masyarakat itu
sendiri. Namun yang jelas-jelas diharamkan Qur’an adalah zalim. Semena-mena,
mentang-mentang dengan cara main paksa. Yang tentu saja, membuat pihak lain
tidak rela.
Terkait praktik germo Ibnu Salul misalnya.
Yang punya hobi memaksa para budaknya untuk terjun dalam dunia prostitusi. Qur’an
pun mengritiknya. Seperti diceritakan pada ayat berikut ini.
QS. Al-Nur[24]: 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ
لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ
إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ
بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang tidak mampu
kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan
perjanjian (untuk merdeka), hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka,
jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. DAN JANGANLAH
KALIAN PAKSA BUDAK-BUDAK WANITA KALIAN UNTUK MELAKUKAN PELACURAN, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
Maka pantas saja kalau Ibnu Salul
marah besar dengan adanya ayat itu. Sekan-akan dia berkata, “Lapo seh. Wong iki
budak-budakku dewe. Yo sak karep-karepku lah kate tak apakno. Aturan cap opo
iku!” Nah. Qur’an itu seakan-akan berpesan pada masyarakat sederhana Arab
jahiliyah saat itu, “Is OK perbudakan. Tapi yang baik ya sama budak-budak
kalian. Hormati. Muliakan. Jangan semena-mena. Jangan zalim. Jangan paksa
melacur. Bayarlah yang pantas. Kalau dia sudah mandiri, bebaskan!”
Jadi, pada abad ke-7 M itu, seorang
hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan. Berdasar QS.24:33 di atas.
Yaitu dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang
ditentukan. Maka pemilik budak itu harus menerima perjanjian itu kalau budak
tersebut dipandang sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
Nah. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian
itu, Qur’an menyuruh kaum Mukminin menolong para budak dengan harta yang
diambilkan dari zakat atau harta lainnya. Ini direkam dalam ayat berikut.
QS. Al-Taubah[9]: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Adapun para budak yang terpaksa
melacur, karena dipaksa oleh tuannya, tentu saja mereka tidak berdosa. Lihat, halus
sekali perlindungan Allah kepada para wong cilik itu, “Dan barangsiapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Karena mereka adalah
korban. Justru yang dosa adalah tuan yang main paksa. Yang semena-mena. Yang mentang-mentang
tersebut.
“Loh, Mas. Tapi kan di ayat itu
tidak ada perintah untuk membebaskan budak?” Iya memang. Tapi jangan lupa. Tidak
ada perintah juga untuk memperbudak orang! Bahkan, indikasi bahwa semangat Qur’an
itu membebaskan perbudakan, itu ada. Diceritakan pada ayat di bawah ini.
QS. Al-Balad[90]: 10-16
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
(manusia) dua jalan (kebaikan dan keburukan).
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ
11. Tetapi dia (manusia itu) tiada
menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا
الْعَقَبَةُ
12. Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu?
فَكُّ رَقَبَةٍ
13. (Yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan.
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ
ذِي مَسْغَبَةٍ
14. Atau memberi makan pada hari
kelaparan.
يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ
15. (Kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat.
أَوْ مِسْكِينًا ذَا
مَتْرَبَةٍ
16. Atau kepada orang miskin yang
sangat fakir.
Jelas sekali. Jalan kebaikan itu
adalah memang jalan mendaki yang sukar. Harus ada upaya. Harus ada tenaga
ekstra. Harus dibarengi dengan keikhlasan, kesabaran, dan kepasrahan kepada
Allah. Sudah menjadi hukum alam. Bahwa apa pun kalau dibiarkan, maka selalu
menuju kerusakan. Kualitasnya berangsur-angsur menuju down. Supaya up,
tidak bisa tidak, harus ada energi. Harus ada upaya dan usaha. Yang mesti
dimasukkan ke dalam sistem.
Maka begitulah yang diceritakan di
ayat itu. Bahwa jalan kebaikan itu adalah jalan mendaki dan sukar. Apa jalan
mendaki dan berat itu? Tegas Allah menyebut. Salah satunya adalah MEMBEBASKAN
BUDAK. Membebaskan budak ini, bahkan disejajarkan dengan jalan mendaki yang
berat lainnya: memberi makan ketika ekonomi sulit kepada anak-anak yatim dan
orang-orang miskin.
Tentu saja. Membebaskan budak itu
memang amat sangat berat. Apalagi bagi model-model orang seperti Ibnu Salul. Kenapa
kok berat? Manusia itu selalu mencari kenyamanan dan menghindari penderitaan. Maunya
yang enak-enak terus. Yang untung-untung terus. Kalau bisa tidak perlu bekerja.
Malas dan kikir, inilah manusia. Nah, mengeksploitasi orang melalui perbudakan,
itulah yang paling mudah dilakukan dan paling mendukung sifat dasar manusia
itu. Maka, membebaskan budak, ini meruntuhkan zona nyaman para tuan itu.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar