Rabu, 25 September 2019

HUKUM INDONESIA BISA LEBIH BAIK


—Saiful Islam—

“Yang kita contoh dari ulama klasik itu, adalah epistimologinya. Bukan hasil jadinya yang konteks sekarang kita paksa sesuai konteks mereka…”

Menurut saya kesalahannya ada dua. Pertama mengontektualisasikan ayat perbudakan itu di Indonesia abad 21 M sekarang. Salah kontekstualisasi. Yaitu spirit diizinkannya seks dengan lawan jenis di luar akad perkawinan. Yaitu akad komitmen berhubungan seksual begitu saja. Kesalahan kedua, hanya mengutip satu ayat itu saja. Kemudian mengambil kesimpulan. Tidak mengutip ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang perbudakan. Tidak komprehensif.

Itu yang saya tulis. Nah. Kali ini saya akan coba menunjukkan kesalahan yang ketiga. Abdul Aziz. Di dalam naskah Disertasinya itu. Setelah bercerita tentang sejarah perbudakan. Tampaknya ia ingin menyampaikan bahwa Islam pun melegalkan perbudakan.

Tapi, ini kesalahannya menurut saya. Yang dia kutip adalah pendapat orang. Itu pun yang tidak tinggal di Indonesia. Yaitu Abu Bakar al-Jaza’iri—lahir di Aljazair (1921-2018 M). Padahal dengan Disertasinya itu, ia bertujuan untuk menghidupkan kembali kebolehan seks dengan budak (milkul yamin) di Indonesia abad 21. Jadi, tidak sinkron antara kesimpulannya dengan maksud pendapat Aljazairi. Begini kesimpulan Abdul Aziz itu di halaman 76:

“Sebagian ulama tampaknya tetap ingin mempertahankan perbudakan. Peperangan dan jihad yang terus ada merupakan alasan utama mereka. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya perbudakan mempunyai tujuan yang mulia, yakni untuk memenuhi hak para budak semisal anak-anak dan perempuan. Hal ini berbeda dengan budaya lain yang tidak memperlakukan anak-anak dan wanita dengan baik, bahkan mereka tidak diberi kesempatan untuk hidup. Sekedar sebagai contoh adalah Islam tidak menghancurkan peradaban dan penduduk ketika berhasil menduduki Andalusia di Spanyol. Bahkan, Andalusia dapat menjelma sebagai negara Islam yang mengalami perkembangan pesat hingga menghasilkan banyak ilmuwan Muslim ternama. Sebaliknya, penduduk dan peradabannya dihancurleburkan ketika pasukan kafir kembali menguasai.”

Kemudian Abdul Aziz mencantumkan pendapat Aljazairiy itu. Sebagai berikut:

“Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan, jika ada orang yang bertanya: Mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam hal ini? Jawabannya: SESUNGGUHNYA ISLAM DATANG PADA SAAT PERBUDAKAN TELAH TERSEBAR DI MANA-MANA, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang adil, yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka (lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan laksana neraka jahim. Abū Bakr Jabir al-Jazairi, Minhāj al-Muslim, 445.”

Jadi selain ingin menyampaikan bahwa Islam atau ulama tampaknya ingin mempertahankan perbudakan, Abdul Aziz tampaknya ingin mendapatkan pembelaan usaha yang akan dilakukannya. Yaitu melegalkan hubungan seks di luar akad nikah di Indonesia abad 21 M sekarang. Tampaknya ia mau menyampaikan, “Itu loh. Ulama saja masih ingin mempertahankan perbudakan.”

Padahal coba perhatikan kalimat dari Aljaziri yang saya tebali di atas: SESUNGGUHNYA ISLAM DATANG PADA SAAT PERBUDAKAN TELAH TERSEBAR DI MANA-MANA… barulah perbudakan itu masih ditolelir. Jadi Aljazairi itu menceritakan konteks perbudakan menjelang Qur’an turun. Terutama abad ke-7, ke-8, ke-9 dan seterusnya. Atau kira-kira abad pertengahan (abad 5-15 M).

Jadi yang dimaksud Islam oleh Aljazairi itu adalah Qur’an. SESUNGGUHNYA QUR’AN TURUN PADA SAAT PERBUDAKAN TELAH TERSEBAR DI MANA-MANA. Maka memang benar kalau Qur’an tidak langsung mengharamkan total. Karena memang, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, perbudakan pada saat itu ada sisi baiknya.

Sementara Abdul Aziz, berusaha untuk menghidupkan perbudakan, itu di sini. Di Indonesia. Di abad 21. Di mana bayi lahir sudah merdeka. Perbudakan juga sudah tidak ada. Perbudakan sudah tidak tersebar di mana-mana. Para perempuan Indonesia, apalagi laki-lakinya, sudah mampu mengurusi diri mereka sendiri. Mereka juga sudah mampu bekerja sendiri. Sudah tahu cara bagaimana mencari pekerjaan yang bermartabat dan terhormat.

Hukum di Indonesia abad 21 M ini pun yang sah adalah akad pernikahan. Yang melindungi sebuah keluarga. Rumah tangga. Yang melindungi hak-hak suami istri serta keturunannya. Yang jelas-jelas lebih baik daripada perbudakan. Yang akadnya hanya wani piro. Prostitusi. Yang tidak melindungi laki-laki dan perempuannya yang bertransaksi. Yang tidak membangun keluarga rumah tangga. Yang tidak melindungi keturunan.

Mari kita garis bawahi pernyataan Abdul Aziz ini, “Peperangan dan jihad yang terus ada merupakan alasan utama mereka. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya perbudakan mempunyai tujuan yang mulia, yakni untuk memenuhi hak para budak semisal anak-anak dan perempuan.” Loh. Di Indonesia sudah tidak ada lagi peperangan! Soal memenuhi hak, tentu saja akad pernikahan jauh lebih baik dalam memenuhi hak-hak antar suami istri. Serta hak-hak keturunan atau anak-anak mereka. Baik yang laki-laki, maupun yang perempuan.

Secara umum saya ingin menyampaikan. Bahwa produk-produk hukum ulama klasik, itu belum tentu lebih baik. Dibanding produk-produk hukum ulama kontemporer di zaman kita hidup ini. Sebab tentu saja. Seting dan masalah yang dihadapi oleh ulama-ulama klasik, itu sudah berbeda dengan apa yang dihadapi di zaman sekarang. Konteksnya sudah berbeda antara abad 8,9, dan 10 M, misalnya. Dengan abad 21 sekarang. Jadi, sangat bisa jadi hukum di Indonesia sekarang ini lebih baik dari hukum klasik itu.

Meski tentu saja, hasil-hasil ijtihad ulama klasik itu, sangat penting untuk menjadi rujukan kita. Yang kita contoh adalah epistimologinya. Caranya. Bagaimana beliau-beliau itu mengambil kesimpulan dari Qur’an dan Hadis. Bisa juga hasilnya yang kita pahami argumentasinya. Yang menurut pertimbangan akal sehat masih sesuai dan relevan untuk konteks kita.

Jadi bukan hanya hasilnya yang kemudian kita paksakan konteks sekarang harus menyesuaikan konteks dulu itu. Kalau dipaksakan, nanti kesimpulannya bisa fatal seperti Abdul Aziz ini. Yaitu konteks sosial masyarakat abad 21 M sekarang, ditarik dan disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat abad pertengahan dulu.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...