—Saiful Islam—
“Yang kita contoh dari ulama klasik
itu, adalah epistimologinya. Bukan hasil jadinya yang konteks sekarang kita
paksa sesuai konteks mereka…”
Menurut saya kesalahannya ada dua. Pertama
mengontektualisasikan ayat perbudakan itu di Indonesia abad 21 M sekarang. Salah
kontekstualisasi. Yaitu spirit diizinkannya seks dengan lawan jenis di luar
akad perkawinan. Yaitu akad komitmen berhubungan seksual begitu saja. Kesalahan
kedua, hanya mengutip satu ayat itu saja. Kemudian mengambil kesimpulan.
Tidak mengutip ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang perbudakan. Tidak
komprehensif.
Itu yang saya tulis. Nah. Kali ini
saya akan coba menunjukkan kesalahan yang ketiga. Abdul Aziz. Di dalam naskah
Disertasinya itu. Setelah bercerita tentang sejarah perbudakan. Tampaknya ia
ingin menyampaikan bahwa Islam pun melegalkan perbudakan.
Tapi, ini kesalahannya menurut
saya. Yang dia kutip adalah pendapat orang. Itu pun yang tidak tinggal di
Indonesia. Yaitu Abu Bakar al-Jaza’iri—lahir di Aljazair (1921-2018 M). Padahal
dengan Disertasinya itu, ia bertujuan untuk menghidupkan kembali kebolehan seks
dengan budak (milkul yamin) di Indonesia abad 21. Jadi, tidak sinkron antara
kesimpulannya dengan maksud pendapat Aljazairi. Begini kesimpulan Abdul Aziz
itu di halaman 76:
“Sebagian ulama tampaknya tetap
ingin mempertahankan perbudakan. Peperangan dan jihad yang terus ada merupakan
alasan utama mereka. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya perbudakan mempunyai
tujuan yang mulia, yakni untuk memenuhi hak para budak semisal anak-anak dan
perempuan. Hal ini berbeda dengan budaya lain yang tidak memperlakukan
anak-anak dan wanita dengan baik, bahkan mereka tidak diberi kesempatan untuk
hidup. Sekedar sebagai contoh adalah Islam tidak menghancurkan peradaban dan
penduduk ketika berhasil menduduki Andalusia di Spanyol. Bahkan, Andalusia
dapat menjelma sebagai negara Islam yang mengalami perkembangan pesat hingga
menghasilkan banyak ilmuwan Muslim ternama. Sebaliknya, penduduk dan
peradabannya dihancurleburkan ketika pasukan kafir kembali menguasai.”
Kemudian Abdul Aziz mencantumkan
pendapat Aljazairiy itu. Sebagai berikut:
“Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri
menjelaskan, jika ada orang yang bertanya: Mengapa Islam tidak mewajibkan
pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam
hal ini? Jawabannya: SESUNGGUHNYA ISLAM DATANG PADA SAAT PERBUDAKAN TELAH
TERSEBAR DI MANA-MANA, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang
adil, yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk
mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus.
Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti
anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu
mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk bekerja
dan dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka
(lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi
mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti
yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup
mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada
hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari
perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan
laksana neraka jahim. Abū Bakr Jabir al-Jazairi, Minhāj al-Muslim, 445.”
Jadi selain ingin menyampaikan
bahwa Islam atau ulama tampaknya ingin mempertahankan perbudakan, Abdul Aziz
tampaknya ingin mendapatkan pembelaan usaha yang akan dilakukannya. Yaitu melegalkan
hubungan seks di luar akad nikah di Indonesia abad 21 M sekarang. Tampaknya ia
mau menyampaikan, “Itu loh. Ulama saja masih ingin mempertahankan perbudakan.”
Padahal coba perhatikan kalimat
dari Aljaziri yang saya tebali di atas: SESUNGGUHNYA ISLAM DATANG PADA SAAT
PERBUDAKAN TELAH TERSEBAR DI MANA-MANA… barulah perbudakan itu masih ditolelir.
Jadi Aljazairi itu menceritakan konteks perbudakan menjelang Qur’an turun. Terutama
abad ke-7, ke-8, ke-9 dan seterusnya. Atau kira-kira abad pertengahan (abad 5-15
M).
Jadi yang dimaksud Islam oleh
Aljazairi itu adalah Qur’an. SESUNGGUHNYA QUR’AN TURUN PADA SAAT PERBUDAKAN
TELAH TERSEBAR DI MANA-MANA. Maka memang benar kalau Qur’an tidak langsung
mengharamkan total. Karena memang, seperti yang saya ceritakan sebelumnya,
perbudakan pada saat itu ada sisi baiknya.
Sementara Abdul Aziz, berusaha untuk
menghidupkan perbudakan, itu di sini. Di Indonesia. Di abad 21. Di mana bayi
lahir sudah merdeka. Perbudakan juga sudah tidak ada. Perbudakan sudah tidak
tersebar di mana-mana. Para perempuan Indonesia, apalagi laki-lakinya, sudah
mampu mengurusi diri mereka sendiri. Mereka juga sudah mampu bekerja sendiri. Sudah
tahu cara bagaimana mencari pekerjaan yang bermartabat dan terhormat.
Hukum di Indonesia abad 21 M ini
pun yang sah adalah akad pernikahan. Yang melindungi sebuah keluarga. Rumah tangga.
Yang melindungi hak-hak suami istri serta keturunannya. Yang jelas-jelas lebih
baik daripada perbudakan. Yang akadnya hanya wani piro. Prostitusi. Yang
tidak melindungi laki-laki dan perempuannya yang bertransaksi. Yang tidak
membangun keluarga rumah tangga. Yang tidak melindungi keturunan.
Mari kita garis bawahi pernyataan
Abdul Aziz ini, “Peperangan dan jihad yang terus ada merupakan alasan utama
mereka. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya perbudakan mempunyai tujuan yang
mulia, yakni untuk memenuhi hak para budak semisal anak-anak dan perempuan.”
Loh. Di Indonesia sudah tidak ada lagi peperangan! Soal memenuhi hak, tentu
saja akad pernikahan jauh lebih baik dalam memenuhi hak-hak antar suami istri. Serta
hak-hak keturunan atau anak-anak mereka. Baik yang laki-laki, maupun yang
perempuan.
Secara umum saya ingin
menyampaikan. Bahwa produk-produk hukum ulama klasik, itu belum tentu lebih
baik. Dibanding produk-produk hukum ulama kontemporer di zaman kita hidup ini. Sebab
tentu saja. Seting dan masalah yang dihadapi oleh ulama-ulama klasik, itu sudah
berbeda dengan apa yang dihadapi di zaman sekarang. Konteksnya sudah berbeda
antara abad 8,9, dan 10 M, misalnya. Dengan abad 21 sekarang. Jadi, sangat bisa
jadi hukum di Indonesia sekarang ini lebih baik dari hukum klasik itu.
Meski tentu saja, hasil-hasil
ijtihad ulama klasik itu, sangat penting untuk menjadi rujukan kita. Yang kita
contoh adalah epistimologinya. Caranya. Bagaimana beliau-beliau itu mengambil
kesimpulan dari Qur’an dan Hadis. Bisa juga hasilnya yang kita pahami
argumentasinya. Yang menurut pertimbangan akal sehat masih sesuai dan relevan
untuk konteks kita.
Jadi bukan hanya hasilnya yang
kemudian kita paksakan konteks sekarang harus menyesuaikan konteks dulu itu.
Kalau dipaksakan, nanti kesimpulannya bisa fatal seperti Abdul Aziz ini. Yaitu
konteks sosial masyarakat abad 21 M sekarang, ditarik dan disesuaikan dengan
konteks sosial masyarakat abad pertengahan dulu.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar