Kamis, 05 September 2019

KETIKA PEREMPUAN DIPERBUDAK


—Saiful Islam—

“Jadinya ya seperti kucing. Seks dengan siapa saja. Melahirkan anak berapa saja dan kapan saja. Dengan pasangan siapa saja…”

Sejarah perbudakan perempuan pada masyarakat purba dapat disaksikan di tembok yang menggambarkan tentang penaklukan oleh bangsa Asyur. Ini adalah nama kerajaan yang berasal dari nama ibu kotanya, Assur atau Akkadia. Nama Asyur juga bisa untuk menunjuk pada wilayah dimana kerajaan ini berpusat. Kerajaan atau kekaisaran Asyur ini berpusat di hulu sungai Tigris, Mesopotamia, Irak. Kerajaan Asyur ini eksis sekitar abad ke-20 SM sampai dengan tahun 627 SM.

Bangsa Asyur purba itu terkenal sebagai orang-orang yang sadis. Wilayah yang ditaklukkan oleh bangsa Asyur itu, para perempuannya dijadikan budak. Para perempuan ini tidak akan punya harapan. Masa depan mereka bisa dipastikan adalah budak. Mereka akan dipaksa untuk menjadi pelacur. Tak terkecuali orang-orang Israel Utara yang mencoba melakukan pemberontakan. Nasib para wanitanya pasti dijadikan pelacur.

Rata-rata pekerjaan-pekerjaan yang dianggap kasar di peradaban purba, itu dilakukan oleh para budak. Pertanian misalnya. Para pekerjanya adalah para budak. Bahkan, hampir semua kota purba itu dibangun oleh para budak. Piramid di Mesir misalnya. Itu juga adalah bangunan bersejarah karya para budak. Bangunan sebagai hasil dari perbudakan. Sebuah pekerjaan yang diberikan secara tidak manusiawi.

Di Timur Tengah purba rata-rata, perbudakan memang merupakan hal yang dianggap biasa. Lumrah. Dan wajar. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tingkat moralitas di Timur Tengah itu yang memang masih rendah. Bisa jadi penyebabnya adalah keyakinan teologis yang juga purba. Khas animisme-dinamisme. Yaitu yang menggangap manusia diciptakan oleh para dewa dengan tujuan memang untuk diperbudak. Melayani para tuannya.

Budak yang manusia itu, dianggap sebagai properti kepemilikan. Layaknya barang. Atau bahkan hewan. Pada umumnya memang para budak itu diperlakukan seperti binatang. Dengan kata lain, nilai kemanusiaan mereka disamakan dengan nilai kebinatangan. Intinya sekali lagi, nasib hidup atau mati seorang budak, itu seratus persen tergantung tuannya. Bahkan di Mesir, budak bisa dijadikan seperti hewan kurban. Dikorbankan alias dibunuh. Lantas dikuburkan bersama raja yang meninggal. Keyakinan mereka, supaya arwah budak itu melayani arwah sang raja.

Zaman Yunani kuno (sekitar abad ke-8 SM sampai abad ke-5 M) saja, menganggap perempuan itu hanya sebagai alat penerus generasi. Bukan hanya itu. Perempuan juga dianggap hanya sebagai alat pemuas nafsu seksual para lelaki. Martabat para perempuan itu rendah sekali. Atau bahkan tidak punya martabat sama sekali. Mereka dianggap sebagai makhluk nomer dua dibanding laki-laki.

Psedo-Demosthenes, pada abad ke-4 sebelum Masehi menyatakan begini: “Kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan. Selir untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Dan pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita.” Jika seseorang mempunyai anak perempuan, di masa ini, maka anak tersebut akan dibunuh. Atau dijual ke rumah bordil untuk menjadi penghibur saat sudah dewasa. Rata-rata perempuan seperti barang yang diperjual belikan.

Tahun 750 SM. Para perempuan Sabine diperkosa. Tujuannya adalah untuk membentuk bangsa Romawi yang kekurangan wanita-wanita subur. Ini menjadi awal mula perkembangan Romawi.

Seperti di Yunani, anak perempuan yang lahir, itu oleh Romawi dianggap sebagai beban. Anak-anak perempuan dianggap tidak bisa berkontribusi yang besar dalam pemasukan keluarga. Seorang budak wanita, bahkan, itu bisa dimiliki dan diperbudak oleh anak laki-lakinya sendiri. Tentu lebih parah dari kucing. Kalau kucing, itu bisa meniduri induknya sendiri. Kalau orang, itu bukan hanya meniduri induknya sendiri. Tapi juga bisa menjualnya. Memang lebih parah dari kucing.

Pada masa Romawi kuno (abad ke-8 SM – abad ke-5 M) itu, merupakan budaya jika seseorang memiliki budak. Baik yang kaya ataupun miskin, semua orang Roma bisa mempunyai budak. Yang ekonominya rendah saja, itu bisa mempunyai 1 sampai 2 budak. Biasanya para budak itu dipekerjakan di rumah atau ladang. Tentu saja dengan perlakuan yang berpri-kebinatangan. Semakin kaya seseorang, pasti akan semakin banyak budaknya.

Di awal abad Masehi. Paling tidak 90 persen orang yang tinggal di kawasan Romawi atau Itali, merupakan keturunan budak. Romawi kuno memang mempunyai budak yang banyak. Paling tidak sekitar 2 juta budak tersebar di seluruh pelosok negeri. Para budak itu diambil dari orang-orang kecil. Atau wilayah mana saja yang mereka berhasil ditaklukkan. Layaknya seks bebas. Dan tentu tidak mengenal alat kontrasepsi. Jadinya ya seperti kucing. Seks dengan siapa saja. Melahirkan anak berapa saja dan kapan saja. Dengan pasangan siapa saja.

Kalau ingin punya budak pun, itu tidak mesti dengan beli di pasar budak. Tapi bisa juga mendapatkan budak itu dengan penculikan. Siapa pun yang layak untuk dijadikan budak, tinggal tangkap. Dan langsung diakui sebagai budaknya. Jadi kalau ada perempuan jalan-jalan, tinggal diculik. Apalagi masih muda dan cantik. Bahenol menol-menol. Hehe. Pokoknya kayak kuncing lah. Budak juga bisa diperoleh dari hasil peperangan. Dan cara terakhir ini lebih banyak menghasilkan budak.

Jadi kita sekarang menjadi paham. Bahwa rata-rata di peradaban kuno, itu wanita tidak ada harganya. Disepelekan dan dihinakan. Paling mendasar, tentu saja itu disebabkan oleh akal masyarakatnya yang masih sederhana. Tidak ada tradisi tulis menulis, ajar-mengajar, serta kentalnya mitos-mitos. Juga fisik perempuan yang lebih kecil dan lemah, membuat para lelaki gampang memaksa. Semena-mena. Memperkosa. Bahkan sejak baru lahir, oleh ‘para binatang’ yang SUPER GUOBLOK itu, perempuan sudah diyakini sebagai makhluk yang memalukan keluarga. Karenanya harus dibunuh.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...