—Saiful Islam—
“Jadinya ya seperti kucing. Seks dengan
siapa saja. Melahirkan anak berapa saja dan kapan saja. Dengan pasangan siapa
saja…”
Sejarah perbudakan perempuan pada
masyarakat purba dapat disaksikan di tembok yang menggambarkan tentang
penaklukan oleh bangsa Asyur. Ini adalah nama kerajaan yang berasal dari nama
ibu kotanya, Assur atau Akkadia. Nama Asyur juga bisa untuk menunjuk pada
wilayah dimana kerajaan ini berpusat. Kerajaan atau kekaisaran Asyur ini
berpusat di hulu sungai Tigris, Mesopotamia, Irak. Kerajaan Asyur ini eksis sekitar
abad ke-20 SM sampai dengan tahun 627 SM.
Bangsa Asyur purba itu terkenal
sebagai orang-orang yang sadis. Wilayah yang ditaklukkan oleh bangsa Asyur itu,
para perempuannya dijadikan budak. Para perempuan ini tidak akan punya harapan.
Masa depan mereka bisa dipastikan adalah budak. Mereka akan dipaksa untuk
menjadi pelacur. Tak terkecuali orang-orang Israel Utara yang mencoba melakukan
pemberontakan. Nasib para wanitanya pasti dijadikan pelacur.
Rata-rata pekerjaan-pekerjaan yang
dianggap kasar di peradaban purba, itu dilakukan oleh para budak. Pertanian misalnya.
Para pekerjanya adalah para budak. Bahkan, hampir semua kota purba itu dibangun
oleh para budak. Piramid di Mesir misalnya. Itu juga adalah bangunan bersejarah
karya para budak. Bangunan sebagai hasil dari perbudakan. Sebuah pekerjaan yang
diberikan secara tidak manusiawi.
Di Timur Tengah purba rata-rata,
perbudakan memang merupakan hal yang dianggap biasa. Lumrah. Dan wajar. Ini menunjukkan
kepada kita bahwa tingkat moralitas di Timur Tengah itu yang memang masih
rendah. Bisa jadi penyebabnya adalah keyakinan teologis yang juga purba. Khas animisme-dinamisme.
Yaitu yang menggangap manusia diciptakan oleh para dewa dengan tujuan memang
untuk diperbudak. Melayani para tuannya.
Budak yang manusia itu, dianggap
sebagai properti kepemilikan. Layaknya barang. Atau bahkan hewan. Pada umumnya
memang para budak itu diperlakukan seperti binatang. Dengan kata lain, nilai
kemanusiaan mereka disamakan dengan nilai kebinatangan. Intinya sekali lagi,
nasib hidup atau mati seorang budak, itu seratus persen tergantung tuannya. Bahkan
di Mesir, budak bisa dijadikan seperti hewan kurban. Dikorbankan alias dibunuh.
Lantas dikuburkan bersama raja yang meninggal. Keyakinan mereka, supaya arwah
budak itu melayani arwah sang raja.
Zaman Yunani kuno (sekitar abad ke-8
SM sampai abad ke-5 M) saja, menganggap perempuan itu hanya sebagai alat
penerus generasi. Bukan hanya itu. Perempuan juga dianggap hanya sebagai alat
pemuas nafsu seksual para lelaki. Martabat para perempuan itu rendah sekali. Atau
bahkan tidak punya martabat sama sekali. Mereka dianggap sebagai makhluk nomer
dua dibanding laki-laki.
Psedo-Demosthenes, pada abad ke-4
sebelum Masehi menyatakan begini: “Kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan.
Selir untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Dan pasangan kita untuk
memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita.” Jika
seseorang mempunyai anak perempuan, di masa ini, maka anak tersebut akan
dibunuh. Atau dijual ke rumah bordil untuk menjadi penghibur saat sudah dewasa.
Rata-rata perempuan seperti barang yang diperjual belikan.
Tahun 750 SM. Para perempuan Sabine
diperkosa. Tujuannya adalah untuk membentuk bangsa Romawi yang kekurangan wanita-wanita
subur. Ini menjadi awal mula perkembangan Romawi.
Seperti di Yunani, anak perempuan
yang lahir, itu oleh Romawi dianggap sebagai beban. Anak-anak perempuan
dianggap tidak bisa berkontribusi yang besar dalam pemasukan keluarga. Seorang
budak wanita, bahkan, itu bisa dimiliki dan diperbudak oleh anak laki-lakinya
sendiri. Tentu lebih parah dari kucing. Kalau kucing, itu bisa meniduri
induknya sendiri. Kalau orang, itu bukan hanya meniduri induknya sendiri. Tapi juga
bisa menjualnya. Memang lebih parah dari kucing.
Pada masa Romawi kuno (abad ke-8 SM
– abad ke-5 M) itu, merupakan budaya jika seseorang memiliki budak. Baik yang
kaya ataupun miskin, semua orang Roma bisa mempunyai budak. Yang ekonominya
rendah saja, itu bisa mempunyai 1 sampai 2 budak. Biasanya para budak itu
dipekerjakan di rumah atau ladang. Tentu saja dengan perlakuan yang
berpri-kebinatangan. Semakin kaya seseorang, pasti akan semakin banyak
budaknya.
Di awal abad Masehi. Paling tidak
90 persen orang yang tinggal di kawasan Romawi atau Itali, merupakan keturunan
budak. Romawi kuno memang mempunyai budak yang banyak. Paling tidak sekitar 2
juta budak tersebar di seluruh pelosok negeri. Para budak itu diambil dari
orang-orang kecil. Atau wilayah mana saja yang mereka berhasil ditaklukkan.
Layaknya seks bebas. Dan tentu tidak mengenal alat kontrasepsi. Jadinya ya
seperti kucing. Seks dengan siapa saja. Melahirkan anak berapa saja dan kapan
saja. Dengan pasangan siapa saja.
Kalau ingin punya budak pun, itu
tidak mesti dengan beli di pasar budak. Tapi bisa juga mendapatkan budak itu
dengan penculikan. Siapa pun yang layak untuk dijadikan budak, tinggal tangkap.
Dan langsung diakui sebagai budaknya. Jadi kalau ada perempuan jalan-jalan,
tinggal diculik. Apalagi masih muda dan cantik. Bahenol menol-menol. Hehe. Pokoknya
kayak kuncing lah. Budak juga bisa diperoleh dari hasil peperangan. Dan cara
terakhir ini lebih banyak menghasilkan budak.
Jadi kita sekarang menjadi paham. Bahwa
rata-rata di peradaban kuno, itu wanita tidak ada harganya. Disepelekan dan
dihinakan. Paling mendasar, tentu saja itu disebabkan oleh akal masyarakatnya
yang masih sederhana. Tidak ada tradisi tulis menulis, ajar-mengajar, serta kentalnya
mitos-mitos. Juga fisik perempuan yang lebih kecil dan lemah, membuat para
lelaki gampang memaksa. Semena-mena. Memperkosa. Bahkan sejak baru lahir, oleh ‘para
binatang’ yang SUPER GUOBLOK itu, perempuan sudah diyakini sebagai makhluk yang
memalukan keluarga. Karenanya harus dibunuh.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar