Sabtu, 28 September 2019

LOGIKA MILKUL YAMIN


—Saiful Islam—

“Benarkah Anda membolehkan seks di luar nikah?”

“Benar sekali. Ini adalah penemuan baru!”

Membaca Qur’an untuk kemudian mengambil kesimpulan darinya, itu memang tidak boleh membaca hanya satu ayat saja. Apalagi hanya sepotong kalimat. Alias belum satu ayat pun. Tentu saja beresiko keliru. Seperti gajah. Dipegang kupingnya saja. Kemudian disimpulkan bahwa gajah itu pipih. Tentu saja salah. Yang paling mendekati kebenaran, menurut saya, dibaca sebanyak mungkin ayat-ayatnya yang terkait dengan tema yang sedang dibahas.

Seperti poligami. Di masyarakat sering kita menemukan alasan orang berpoligami. “Ini loh diperintah Allah,” katanya. Kemudian mengutip, “Fankihuu maa thooba lakum minannisaa’ matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’, Nikahilah perempuan-perempuan yang kau senangi. Dua, tiga, atau empat.” (QS.4:3). Dari ayat ini juga ada yang membolehkan poligami itu sampai empat istri.

Malah ada yang 9 istri. Karena redaksinya pakai ‘wa’ yang berarti ‘dan’. Dua dan tiga dan empat. Yang dipahami sebagai ‘tambah’. Jadi 2 tambah 3 tambah 4. Jadi 9. Semakin ‘gila’ lagi memahaminya dengan kali. Matsna berarti 2 kali 2. Sama dengan 4. Tsulaats, 3 kali 3, sama dengan 9. Rubaa’, 4 dikali 4, sama dengan 16. Kemudian disimpulan bahwa Allah membolehkan menikah sampai dengan 29 perempuan.

QS. Al-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Padahal konteks ayat itu, kalau dibaca dari ayat sebelumnya, sejatinya adalah proteksi kepada anak yatim. Bahwa anak yatim itu sangat berharga. Tidak boleh sembarangan mengurusi mereka. Kalau mau menikahi mereka pun tidak boleh sembarangan. Seakan-akan sindiran, “Kalau kalian tidak bisa adil kepada perempuan yatim itu, nikahi perempuan lain saja sana. Sak karepmu.” Apalagi terusannya, “Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (NIKAHILAH) SEORANG SAJA, atau budak yang kalian miliki.”

Kalau pun poligami itu dihalalkan, mesti dilihat dulu konteks tradisi Arab saat itu. Yaitu peperangan. Dampaknya adalah rampasan perang. Atau tawanan perang. Mereka yang kalah, konsekuensinya menjadi budak. Termasuk anak-anak dan perempuan yang para suaminya tewas di medan perang. Saat itu juga biasa, seorang laki-laki menikahi perempuan sebanyak apa pun tanpa batas. Poligami ala Qur’an itu justru membatasi. Bukan ‘ngompori’. Juga melindungi anak-anak dan para perempuan yang suaminya tewas itu.

Dan yang pasti. Poligami ala Qur’an itu bukan alasan syahwat. Qur’an tidak pernah merestui poligami alasan syahwat. Catat ini. Tapi poligami itu semacam solusi terakhir terkait dengan problem-problem alamiah rumah tangga.

Logika poligami yang ‘ngompori’, itu persis seperti logikanya Abdul Aziz. Yang mengatakan bahwa selain dengan nikah, Qur’an mengizinkan juga hubungan seksual dengan cara milkul yamin. Mengutip (QS.23.6), “Kecuali terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang mereka miliki…” Kemudian disimpulkan bahwa berhubungan seksual di luar nikah itu boleh. Jadi abai konteks sosial Arab saat itu serta konteks masa kini. Sehingga keliru kontekstualisasi ayat tersebut.

Begitu juga kalau kita lihat wawancara Muhammad Syahrur dengan seorang presenter di sebuah TV Arab. Alur logikanya sama. Yaitu membangun premis-premis yang menurut saya mengabaikan konteks. Di YouTube ada. Ketika dikonfirmasi kepadanya apakah dirinya membolehkan seksual di luar nikah. Syahrur menjawab, “Benar sekali (ithlaaqon). Ini adalah penemuan (haadza iftiro’).”

Sama persis dengan logika kombatan ISIS. Lihat di YouTube bagaimana perempuan-perempuan Yazidi diperbudak oleh mereka. Mereka mengaku tindakan mereka yang memperbudak itu dibenarkan Qur’an. Siapa yang tidak berhukum dengan Qur’an secara tekstual, dianggap kafir. Diperangi. Para perempuannya ditawan. Kemudian digauli dengan paksa dan semena-mena. Dijual-belikan antar kawannya serta di pasar layaknya barang.

Jadi pemerintah yang berbentuk demokrasi dan berideologi Pancasila misalnya, itu dianggap sekuler. Dianggap kafir. Produk Barat. Bukan Islam. Padahal Nabi sendiri tidak pernah mendirikan negara Islam. Ruh demokrasi dan Pancasila, itu juga sudah selaras dengan Qur’an. Bahwa Tuhan itu harus Esa. Mesti beradab. Bersatu. Musyawarah. Serta adil. Serta memberikan sangsi dan hukuman kepada siapa saja yang berbuat kriminal. Melindungi hak-hak setiap warga negara.

Qur’an itu panduan nilai dan moral universal. Bentuk nilai dan moral universal itu bisa bermacam-macam. Kaum Muslimin diperbolehkan berkreasi dan berinovasi. “Antum a’lam bi umur dunyakum. Kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” tutur Nabi. Dan Indonesia ini misalnya, itu sudah Qur’aniy. Memang bukan secara teks-nya yang harus ngeplek Qur’an. Tapi substansinya.

Logika ngutip sepotong dan abai konteks itu, juga terjadi pada terorisme. Membunuh orang kafir itu halal, katanya. Kemudian mengutip penggalan QS. Al-Baqarah[2]: 191 ini. “Dan bunuhlah mereka (orang kafir itu) di mana saja kamu jumpai mereka…” Lantas sekarang digunakan untuk mengebom gereja misalnya.

Atau mengutip QS. Al-Taubah[9]: 123: “Hai orang-orang yang beriman. Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu. Dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu. Dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Padahal orang kafir di situ adalah orang kafir yang khusus memerangi Kaum Mukminin saat itu. Bukan orang kafir (tidak mengimani Muhammad sebagai Nabi) secara umum yang lepas dari konteksnya. Itu bisa dibaca pada ayat 190-nya QS. 2 tersebut: “Dan perangilah di jalan Allah ORANG-ORANG YANG MEMERANGI KAMU. (Tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Sebaliknya. Kepada orang kafir yang baik. Kaum Mukminin wajib baik kepada mereka. Dan juga mesti adil. Setara dalam kaca mata hukum. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama. Dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah[60]: 8).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Waloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...