—Saiful Islam—
“Benarkah Anda membolehkan seks di
luar nikah?”
“Benar sekali. Ini adalah penemuan
baru!”
Membaca Qur’an untuk kemudian
mengambil kesimpulan darinya, itu memang tidak boleh membaca hanya satu ayat
saja. Apalagi hanya sepotong kalimat. Alias belum satu ayat pun. Tentu saja beresiko
keliru. Seperti gajah. Dipegang kupingnya saja. Kemudian disimpulkan bahwa gajah
itu pipih. Tentu saja salah. Yang paling mendekati kebenaran, menurut saya,
dibaca sebanyak mungkin ayat-ayatnya yang terkait dengan tema yang sedang
dibahas.
Seperti poligami. Di masyarakat
sering kita menemukan alasan orang berpoligami. “Ini loh diperintah Allah,”
katanya. Kemudian mengutip, “Fankihuu maa thooba lakum minannisaa’ matsnaa
wa tsulaatsa wa rubaa’, Nikahilah perempuan-perempuan yang kau senangi. Dua,
tiga, atau empat.” (QS.4:3). Dari ayat ini juga ada yang membolehkan poligami
itu sampai empat istri.
Malah ada yang 9 istri. Karena redaksinya
pakai ‘wa’ yang berarti ‘dan’. Dua dan tiga dan empat. Yang dipahami
sebagai ‘tambah’. Jadi 2 tambah 3 tambah 4. Jadi 9. Semakin ‘gila’ lagi
memahaminya dengan kali. Matsna berarti 2 kali 2. Sama dengan 4. Tsulaats,
3 kali 3, sama dengan 9. Rubaa’, 4 dikali 4, sama dengan 16. Kemudian
disimpulan bahwa Allah membolehkan menikah sampai dengan 29 perempuan.
QS. Al-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kalian takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Padahal konteks ayat itu, kalau
dibaca dari ayat sebelumnya, sejatinya adalah proteksi kepada anak yatim. Bahwa
anak yatim itu sangat berharga. Tidak boleh sembarangan mengurusi mereka. Kalau
mau menikahi mereka pun tidak boleh sembarangan. Seakan-akan sindiran, “Kalau
kalian tidak bisa adil kepada perempuan yatim itu, nikahi perempuan lain saja
sana. Sak karepmu.” Apalagi terusannya, “Kemudian jika kalian takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (NIKAHILAH) SEORANG SAJA, atau budak yang kalian
miliki.”
Kalau pun poligami itu dihalalkan,
mesti dilihat dulu konteks tradisi Arab saat itu. Yaitu peperangan. Dampaknya adalah
rampasan perang. Atau tawanan perang. Mereka yang kalah, konsekuensinya menjadi
budak. Termasuk anak-anak dan perempuan yang para suaminya tewas di medan
perang. Saat itu juga biasa, seorang laki-laki menikahi perempuan sebanyak apa
pun tanpa batas. Poligami ala Qur’an itu justru membatasi. Bukan ‘ngompori’.
Juga melindungi anak-anak dan para perempuan yang suaminya tewas itu.
Dan yang pasti. Poligami ala Qur’an
itu bukan alasan syahwat. Qur’an tidak pernah merestui poligami alasan syahwat.
Catat ini. Tapi poligami itu semacam solusi terakhir terkait dengan problem-problem
alamiah rumah tangga.
Logika poligami yang ‘ngompori’,
itu persis seperti logikanya Abdul Aziz. Yang mengatakan bahwa selain dengan nikah,
Qur’an mengizinkan juga hubungan seksual dengan cara milkul yamin. Mengutip (QS.23.6),
“Kecuali terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang
mereka miliki…” Kemudian disimpulkan bahwa berhubungan seksual di luar
nikah itu boleh. Jadi abai konteks sosial Arab saat itu serta konteks masa
kini. Sehingga keliru kontekstualisasi ayat tersebut.
Begitu juga kalau kita lihat
wawancara Muhammad Syahrur dengan seorang presenter di sebuah TV Arab. Alur
logikanya sama. Yaitu membangun premis-premis yang menurut saya mengabaikan
konteks. Di YouTube ada. Ketika dikonfirmasi kepadanya apakah dirinya
membolehkan seksual di luar nikah. Syahrur menjawab, “Benar sekali (ithlaaqon).
Ini adalah penemuan (haadza iftiro’).”
Sama persis dengan logika kombatan
ISIS. Lihat di YouTube bagaimana perempuan-perempuan Yazidi diperbudak oleh
mereka. Mereka mengaku tindakan mereka yang memperbudak itu dibenarkan Qur’an.
Siapa yang tidak berhukum dengan Qur’an secara tekstual, dianggap kafir. Diperangi.
Para perempuannya ditawan. Kemudian digauli dengan paksa dan semena-mena. Dijual-belikan
antar kawannya serta di pasar layaknya barang.
Jadi pemerintah yang berbentuk
demokrasi dan berideologi Pancasila misalnya, itu dianggap sekuler. Dianggap kafir.
Produk Barat. Bukan Islam. Padahal Nabi sendiri tidak pernah mendirikan negara
Islam. Ruh demokrasi dan Pancasila, itu juga sudah selaras dengan Qur’an. Bahwa
Tuhan itu harus Esa. Mesti beradab. Bersatu. Musyawarah. Serta adil. Serta memberikan
sangsi dan hukuman kepada siapa saja yang berbuat kriminal. Melindungi hak-hak
setiap warga negara.
Qur’an itu panduan nilai dan moral
universal. Bentuk nilai dan moral universal itu bisa bermacam-macam. Kaum
Muslimin diperbolehkan berkreasi dan berinovasi. “Antum a’lam bi umur
dunyakum. Kalian lebih tahu urusan dunia kalian,” tutur Nabi. Dan Indonesia
ini misalnya, itu sudah Qur’aniy. Memang bukan secara teks-nya yang harus ngeplek
Qur’an. Tapi substansinya.
Logika ngutip sepotong dan abai
konteks itu, juga terjadi pada terorisme. Membunuh orang kafir itu halal,
katanya. Kemudian mengutip penggalan QS. Al-Baqarah[2]: 191 ini. “Dan
bunuhlah mereka (orang kafir itu) di mana saja kamu jumpai mereka…” Lantas sekarang
digunakan untuk mengebom gereja misalnya.
Atau mengutip QS. Al-Taubah[9]:
123: “Hai orang-orang yang beriman. Perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu. Dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu. Dan
ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
Padahal orang kafir di situ adalah
orang kafir yang khusus memerangi Kaum Mukminin saat itu. Bukan orang kafir (tidak
mengimani Muhammad sebagai Nabi) secara umum yang lepas dari konteksnya. Itu bisa
dibaca pada ayat 190-nya QS. 2 tersebut: “Dan perangilah di jalan Allah ORANG-ORANG
YANG MEMERANGI KAMU. (Tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Sebaliknya. Kepada orang kafir yang
baik. Kaum Mukminin wajib baik kepada mereka. Dan juga mesti adil. Setara dalam
kaca mata hukum. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama. Dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Al-Mumtahanah[60]: 8).
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Waloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar