Selasa, 24 September 2019

QUR’AN TAK RELEVAN LAGI?


—Saiful Islam—

“Shoolih li kulli zamaan wa makaan-nya Qur’an itu, bukan hanya yang tsaabit. Tapi juga yang mutaghayyar…”

Kehidupan sosial manusia. Kebudayaan dan peradaban manusia, itu dinamis. Sementara teks Qur’an itu statis. Sudah selesai 14 abad yang lalu. Nah. Ketika diskusi dengan kawan-kawan, kadang saya mencoba mereka dengan pertanyaan begini.

“Anda yakin tidak Qur’an itu shoolih li kull zamaan wa makaan. Bahwa Qur’an itu selalu sesuai dengan setiap tempat dan waktu. Kapan pun dan dimana pun, sampai nanti kiamat, peradaban dan kebudayaan manusia berkembang pesat seperti apa pun, Qur’an akan selalu cocok dan sesuai?”

Tentu saja kawan ini akan menjawab, “Yakin!”. Rasanya jawaban itu mewakili kita semua. Bahwa Qur’an itu pastilah selalu sesuai dengan tempat, waktu, kebudayaan, dan peradaban manusia ke depan model apa pun dan bagaimana pun. Tapi kawan ini nampaknya tidak yakin bisa menjawab saat saya tanya begini.

“Di Qur’an itu ada ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan. Sementara kita di Indonesia 2019 sekarang ini, sudah tidak ada perbudakan. Dengan begitu, apakah Qur’an sudah tidak relevan lagi sekarang di Indonesia?”

Pastinya dia bingung. Dijawab relevan tapi kok berbicara perbudakan yang sekadang di Indonesia sudah ‘tidak ada’. Mau dijawab tidak relevan, berarti bertentangan dengan pernyataan sebelumnya. Nah. Kali ini akan saya coba bantu jawab.

Menurut saya, Qur’an itu memang telah, sedang, dan akan selalu relevan dengan zaman. Mustahil Qur’an tidak relevan dengan zaman. Tidak masuk akal jika dikatakan Qur’an sudah tidak relevan. Sebab Qur’an memang kitab suci yang terakhir diwahyukan. Ke depan, tidak akan ada Nabi lagi selain Nabi Muhammad (QS.33:40). Karena itu, tidak akan pernah ada kitab suci lagi selain Qur’an. Qur’an is the last revelation.

Terus soal ada beberapa ayat Qur’an yang berbicara tentang perbudakan, bagaimana?

Qur’an itu, terutama ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, ada yang namanya legal spesifik. Ada juga yang namanya main idea. Legal spesifik ini adalah soal teknis penerapan hukum sesuai tempat dan kondisi tertentu. Sedangkan main idea ini adalah maksud Allah membuat hukum. Legal spesifik ini mutaghayyar. Alias bisa berubah teknisnya sesuai dengan perkembangan atau perbedaan situasi dan kondisi. Sedangkan main idea ini tsaabit. Tetap. Ini soal mutaghayyar dan tsaabit yang pertama.

Contoh misalnya hukum potong tangan. Qur’an menjelaskan bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan itu harus dipotong tangannya (QS.5:38). Potong tangan itu teknisnya. Legal spesifik. Ini mutaghayyar. Luwes. Lentur. Sesuai dengan hukum yang diterapkan di tempat dan waktu tertentu. Karena itu, tidak harus potong tangan. Di tempat dan waktu tertentu, hukum potong tangan ini bisa berubah. Misalnya sekarang di Indonesia abad 21 M. Boleh saja berbeda dengan hukum potong tangan abad ke-7 M  di Arab itu.

Yang tidak boleh berubah adalah main ideanya. Bahwa orang yang berbuat kriminal itu mesti dihukum. Tidak boleh tidak dihukum. Apa tujuan dari hukuman potong tangan itu? Perumus hukum mesti sensitif dan bijak untuk mencari jawabannya. Misalnya supaya pelaku kriminial menjadi jera. Tidak sembarangan lagi mengambil hak-hak orang lain yang bukan haknya. Jadi yang penting tujuan hukum itu tercapai. Sedangkan teknis spesifiknya disesuaikan dengan hukum negara masing-masing.

Istilah populer main idea ini adalah maqashid al-syari’ah. Tujuan-tujuan dari adanya peraturan atau hukum. Apa tujuan syariat itu. Yang paling pokok yaitu meliputi lima hal. Pertama, supaya agama terpelihara atau terlindungi. Kedua, melindungi jiwa atau nyawa. Ketiga, melindungi akal. Keempat, kehormatan serta keturunan. Dan kelima, melindungi harta benda. Dengan adanya hukum itu, hak-hak orang menjadi terlindungi. Tidak sembarangan seseorang mengambil hak orang lain yang bukan menjadi miliknya.

Kedua soal tsaabit dan mutaghayyar adalah teks dan kandungan teks. Teks Qur’an itu sudah selesai 30 juz. Sudah sempurna. Tidak ada pengurangan. Tidak ada penambahan. Semuanya sudah turun kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 M itu. Nah, teks Qur’an itu tsaabit. Sudah tetap. Tidak akan pernah berubah. Namun kandungannyalah (al-muhtawaa) yang mutaghayyar. Yang terus berubah. Akan selalu cocok dan sesuai dengan tempat di mana pun dan zaman kapan pun ke depan sampai kiamat.

Ini soal tsaabit dan mutaghayyar yang ketiga. Teks Qur’an menurut saya, itu kandungannya ada yang global universal. Ini yang tsaabit. Ada juga yang lokal temporal. Ini yang mutaghayyar. Ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat, dan haji, misalnya, ini adalah ayat-ayat yang global universal. Maksudnya sampai kapan pun Muslim harus tetap shalat, puasa, zakat, dan haji. Memang dengan syarat-syarat tertentu. Adapun yang lokal temporal adalah seperti ayat-ayat hukum. Jadi, shoolih li kulli zamaan wa makaan-nya Qur’an itu, bukan hanya yang tsaabit. Tapi juga yang mutaghayyar.

Tidak cukup memahami Qur’an itu dengan membaca teksnya saja. Tapi harus juga membaca konteksnya. Baik konteks makro-nya, yaitu gambaran umum peradaban Arab sekitar abad ke-7 M. Maupun konteks mikro-nya, yaitu sabab nuzul. Juga konteks tempat dan waktu saat seorang pembaca membaca Qur’an, seperti kita di Indonesia abad 21 M sekarang. Istilahnya double movement. Gerak ganda. Kontekstualisasi.

Penerapannya kepada ayat-ayat perbudakan contohnya. Menurut saya salah. Kalau ada orang, seperti Syahrur atau Abdul Aziz, ini misalnya. Yang dengan alasan mengontekstualisasi ayat Qur’an mencoba untuk menghidupkan lagi perbudakan. Dengan menghalalkan seks dengan budak. Budak diganti siapa pun yang mau dibayar. Suka sama suka. Atau mau sama mau berkomitmen berhubungan seksual. Wani piro. Layaknya prostitusi. Tentu saja tidak begitu.

Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan, menurut saya, bukan menghidupkan lagi perbudakan itu. Atau seks dengan siapa pun yang diperbudak. Terutama konteks Indonesia abad 21 ini. Kalau begini salah fatal. Sebab bertentangan dengan semangat Qur’an yang memerdekakan budak. Bukan memperbudak orang yang sudah merdeka. Seperti yang kita bahas sebelumnya.

Semua orang di Indonesia ini dilahirkan sudah dengan kondisi merdeka. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan adalah janganlah kita memperbudak orang, semena-mena kepada orang, zalim kepada orang, menyepelekan dan menghinakan orang, mengambil hak-hak orang dengan paksa, dan lain semisalnya. Tapi hormatilah. Hargailah. Adillah. Jadi ayat-ayat perbudakan itu masih relevan!

Abdul Aziz itu jelas menurut saya salah dalam mengontekstualisasi ayat perbudakan itu. Tampak sekali pernyataannya bisa dicek di YouTube begini: “Dalam Al-Qur’an, itu terdapat dua bentuk hubungan seksual yang diizinkan. Yang pertama itu hubungan seksual dalam kerangka perkawinan. Yang kedua, hubungan seksual dalam kerangka milkul yamin…” Dasarnya adalah QS. Al-Mukminun[23] ayat 6. Begini bunyi ayat itu: “Kecuali terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.”

Menurut saya kesalahannya ada dua. Pertama mengontektualisasikan ayat perbudakan itu di Indonesia abad 21 M sekarang. Salah kontekstualisasi. Yaitu spirit diizinkannya seks dengan lawan jenis di luar akad perkawinan. Yaitu akad komitmen berhubungan seksual begitu saja. Kesalahan kedua, hanya mengutip satu ayat itu saja. Kemudian mengambil kesimpulan. Tidak mengutip ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang perbudakan. Tidak komprehensif.

Belum lagi kalau kontekstualisasi Abdul Aziz itu dibedah dengan pisau maqashid al-syari’ah. Agaknya akan semakin jelas kesalahan itu. Insya Allah di depan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...