—Saiful Islam—
“Shoolih li kulli zamaan wa makaan-nya
Qur’an itu, bukan hanya yang tsaabit. Tapi juga yang mutaghayyar…”
Kehidupan sosial manusia.
Kebudayaan dan peradaban manusia, itu dinamis. Sementara teks Qur’an itu
statis. Sudah selesai 14 abad yang lalu. Nah. Ketika diskusi dengan kawan-kawan,
kadang saya mencoba mereka dengan pertanyaan begini.
“Anda yakin tidak Qur’an itu shoolih
li kull zamaan wa makaan. Bahwa Qur’an itu selalu sesuai dengan setiap
tempat dan waktu. Kapan pun dan dimana pun, sampai nanti kiamat, peradaban dan
kebudayaan manusia berkembang pesat seperti apa pun, Qur’an akan selalu cocok
dan sesuai?”
Tentu saja kawan ini akan menjawab,
“Yakin!”. Rasanya jawaban itu mewakili kita semua. Bahwa Qur’an itu pastilah
selalu sesuai dengan tempat, waktu, kebudayaan, dan peradaban manusia ke depan
model apa pun dan bagaimana pun. Tapi kawan ini nampaknya tidak yakin bisa
menjawab saat saya tanya begini.
“Di Qur’an itu ada ayat-ayat yang
berbicara tentang perbudakan. Sementara kita di Indonesia 2019 sekarang ini,
sudah tidak ada perbudakan. Dengan begitu, apakah Qur’an sudah tidak relevan
lagi sekarang di Indonesia?”
Pastinya dia bingung. Dijawab relevan
tapi kok berbicara perbudakan yang sekadang di Indonesia sudah ‘tidak ada’. Mau
dijawab tidak relevan, berarti bertentangan dengan pernyataan sebelumnya. Nah. Kali
ini akan saya coba bantu jawab.
Menurut saya, Qur’an itu memang
telah, sedang, dan akan selalu relevan dengan zaman. Mustahil Qur’an tidak
relevan dengan zaman. Tidak masuk akal jika dikatakan Qur’an sudah tidak
relevan. Sebab Qur’an memang kitab suci yang terakhir diwahyukan. Ke depan, tidak
akan ada Nabi lagi selain Nabi Muhammad (QS.33:40). Karena itu, tidak akan
pernah ada kitab suci lagi selain Qur’an. Qur’an is the last revelation.
Terus soal ada beberapa ayat Qur’an
yang berbicara tentang perbudakan, bagaimana?
Qur’an itu, terutama ayat-ayat yang
berbicara tentang hukum, ada yang namanya legal spesifik. Ada juga yang namanya
main idea. Legal spesifik ini adalah soal teknis penerapan hukum sesuai tempat
dan kondisi tertentu. Sedangkan main idea ini adalah maksud Allah membuat
hukum. Legal spesifik ini mutaghayyar. Alias bisa berubah teknisnya
sesuai dengan perkembangan atau perbedaan situasi dan kondisi. Sedangkan main
idea ini tsaabit. Tetap. Ini soal mutaghayyar dan tsaabit
yang pertama.
Contoh misalnya hukum potong
tangan. Qur’an menjelaskan bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan itu
harus dipotong tangannya (QS.5:38). Potong tangan itu teknisnya. Legal spesifik.
Ini mutaghayyar. Luwes. Lentur. Sesuai dengan hukum yang diterapkan di
tempat dan waktu tertentu. Karena itu, tidak harus potong tangan. Di tempat dan
waktu tertentu, hukum potong tangan ini bisa berubah. Misalnya sekarang di
Indonesia abad 21 M. Boleh saja berbeda dengan hukum potong tangan abad ke-7
M di Arab itu.
Yang tidak boleh berubah adalah
main ideanya. Bahwa orang yang berbuat kriminal itu mesti dihukum. Tidak boleh
tidak dihukum. Apa tujuan dari hukuman potong tangan itu? Perumus hukum mesti sensitif
dan bijak untuk mencari jawabannya. Misalnya supaya pelaku kriminial menjadi
jera. Tidak sembarangan lagi mengambil hak-hak orang lain yang bukan haknya. Jadi
yang penting tujuan hukum itu tercapai. Sedangkan teknis spesifiknya disesuaikan
dengan hukum negara masing-masing.
Istilah populer main idea ini
adalah maqashid al-syari’ah. Tujuan-tujuan dari adanya peraturan atau
hukum. Apa tujuan syariat itu. Yang paling pokok yaitu meliputi lima hal. Pertama,
supaya agama terpelihara atau terlindungi. Kedua, melindungi jiwa atau
nyawa. Ketiga, melindungi akal. Keempat, kehormatan serta
keturunan. Dan kelima, melindungi harta benda. Dengan adanya hukum itu,
hak-hak orang menjadi terlindungi. Tidak sembarangan seseorang mengambil hak
orang lain yang bukan menjadi miliknya.
Kedua soal tsaabit
dan mutaghayyar adalah teks dan kandungan teks. Teks Qur’an itu sudah
selesai 30 juz. Sudah sempurna. Tidak ada pengurangan. Tidak ada penambahan.
Semuanya sudah turun kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 M itu. Nah, teks Qur’an
itu tsaabit. Sudah tetap. Tidak akan pernah berubah. Namun kandungannyalah
(al-muhtawaa) yang mutaghayyar. Yang terus berubah. Akan selalu cocok
dan sesuai dengan tempat di mana pun dan zaman kapan pun ke depan sampai
kiamat.
Ini soal tsaabit dan mutaghayyar
yang ketiga. Teks Qur’an menurut saya, itu kandungannya ada yang global
universal. Ini yang tsaabit. Ada juga yang lokal temporal. Ini yang mutaghayyar.
Ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat, dan haji, misalnya, ini adalah
ayat-ayat yang global universal. Maksudnya sampai kapan pun Muslim harus tetap
shalat, puasa, zakat, dan haji. Memang dengan syarat-syarat tertentu. Adapun yang
lokal temporal adalah seperti ayat-ayat hukum. Jadi, shoolih li kulli zamaan
wa makaan-nya Qur’an itu, bukan hanya yang tsaabit. Tapi juga yang mutaghayyar.
Tidak cukup memahami Qur’an itu
dengan membaca teksnya saja. Tapi harus juga membaca konteksnya. Baik konteks
makro-nya, yaitu gambaran umum peradaban Arab sekitar abad ke-7 M. Maupun
konteks mikro-nya, yaitu sabab nuzul. Juga konteks tempat dan waktu saat
seorang pembaca membaca Qur’an, seperti kita di Indonesia abad 21 M sekarang. Istilahnya
double movement. Gerak ganda. Kontekstualisasi.
Penerapannya kepada ayat-ayat
perbudakan contohnya. Menurut saya salah. Kalau ada orang, seperti Syahrur atau
Abdul Aziz, ini misalnya. Yang dengan alasan mengontekstualisasi ayat Qur’an
mencoba untuk menghidupkan lagi perbudakan. Dengan menghalalkan seks dengan
budak. Budak diganti siapa pun yang mau dibayar. Suka sama suka. Atau mau sama
mau berkomitmen berhubungan seksual. Wani piro. Layaknya prostitusi. Tentu
saja tidak begitu.
Kontekstualisasi ayat-ayat
perbudakan, menurut saya, bukan menghidupkan lagi perbudakan itu. Atau seks
dengan siapa pun yang diperbudak. Terutama konteks Indonesia abad 21 ini. Kalau
begini salah fatal. Sebab bertentangan dengan semangat Qur’an yang memerdekakan
budak. Bukan memperbudak orang yang sudah merdeka. Seperti yang kita bahas
sebelumnya.
Semua orang di Indonesia ini
dilahirkan sudah dengan kondisi merdeka. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan
adalah janganlah kita memperbudak orang, semena-mena kepada orang, zalim kepada
orang, menyepelekan dan menghinakan orang, mengambil hak-hak orang dengan
paksa, dan lain semisalnya. Tapi hormatilah. Hargailah. Adillah. Jadi ayat-ayat
perbudakan itu masih relevan!
Abdul Aziz itu jelas menurut saya
salah dalam mengontekstualisasi ayat perbudakan itu. Tampak sekali
pernyataannya bisa dicek di YouTube begini: “Dalam Al-Qur’an, itu terdapat
dua bentuk hubungan seksual yang diizinkan. Yang pertama itu hubungan seksual
dalam kerangka perkawinan. Yang kedua, hubungan seksual dalam kerangka milkul
yamin…” Dasarnya adalah QS. Al-Mukminun[23] ayat 6. Begini bunyi ayat itu: “Kecuali
terhadap isteri-isteri mereka (berhubungan seksual) atau budak yang mereka
miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.”
Menurut saya kesalahannya ada dua. Pertama
mengontektualisasikan ayat perbudakan itu di Indonesia abad 21 M sekarang. Salah
kontekstualisasi. Yaitu spirit diizinkannya seks dengan lawan jenis di luar
akad perkawinan. Yaitu akad komitmen berhubungan seksual begitu saja. Kesalahan
kedua, hanya mengutip satu ayat itu saja. Kemudian mengambil kesimpulan.
Tidak mengutip ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang perbudakan. Tidak
komprehensif.
Belum lagi kalau kontekstualisasi
Abdul Aziz itu dibedah dengan pisau maqashid al-syari’ah. Agaknya akan semakin
jelas kesalahan itu. Insya Allah di depan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar