—Saiful Islam—
“Maka, nikah sirri, menurut saya,
bisa tidak sah…”
Sebelum mengritisi semakin detail
lagi argumen-argumen Abdul Aziz juga Muhammad Syahrur, itu rasanya penting bagi
kita untuk mengetahui terlebih dulu masalah yang terkait dengan milkul yamin
ini. Yaitu pernikahan. Atau perkawinan. Langsung perspektif ayat-ayat Qur’an.
Sebagai alat bantunya, kita pakai kamus. Seperti biasanya, paling tidak saya
akan pakai Lisan al-‘Arab dan al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.
Al-Raghib al-Ashfahaniy ringkas
menguraikan kata nikah. Dari nakaha. Nikah itu asalnya untuk akad. Yakni
persetujuan, kontrak, atau ikatan. KBBI mengartikan kontrak sebagai berikut. Kontrak/kon·trak/ n 1 perjanjian
(secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya; 2 persetujuan
yang bersangsi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan kegiatan.
Kemudian kata nikah itu, lanjut
Ashfahaniy, dipinjam (sebagai kiasan) untuk bersetubuh. Alias seks. Sebab semua
kata yang berarti seks itu kiasan. Karena anggapan buruk orang-orang terhadap
kata itu ketika menyebutnya. Sebagaimana anggapan negatif mereka ketika
melakukan seks tersebut. Jadi, nikah itu seks. Dan kata seks itu biasanya
memang dianggap tabu. Adapun orang-orang yang menganggap seks itu positif,
tidak mungkin akan mengkiaskan kata seks itu dengan nikah. Apalagi orang
tersebut tidak bermaksud berbuat fahisyah (zina).
Kemudian dikutip contoh ayat di
bawah ini.
QS. Al-Nur[24]: 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan NIKAHKANLAH orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki, dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا
عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk MENIKAHAI wanita merdeka
lagi beriman, ia boleh menikahi wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain. Karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka. Dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki
lain sebagai piaraannya. Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah,
kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka bisa disimpulkan bahwa nikah asalnya
adalah untuk akad, persetujuan, kontrak, atau ikatan. Untuk konteks Indonesia
yang modern sekarang, saya lebih mantap akad pernikahan itu harus tertulis. Melalui
lembaga resmi semisal KUA. Inspirasinya dari KBBI di atas. Sebab hak-hak
perempuan dan anak-anaknya lebih terjamin hukum. Maka, nikah sirri, menurut
saya, bisa tidak sah. Sebab sudah ada aturan negara yang lebih menjamin
kepastian hukum.
Begitu juga menurut kamus Hans
Wehr: A Dictionary of Modern Written Arabic. Yang mengartikan kata nakaha
itu dengan to marry, get married, to become related by marriage, marriage,
marriage contract, matrimony, wedlock. Yakni menikah, ikatan nikah, kontrak
nikah, perkawinan, dan ikatan perkawinan. Jadi sekali lagi, dalam konteks
modern sekarang, ikatan perkawinan itu wajib tertulis.
Sementara dalam Lisan al-‘Arab, diceritakan
begini. “Fulan menikahi perempuan,” maksudnya mengawininya. Juga berarti seks
dengannya. Menggaulinya. Begitu juga menurut al-A’sya bahwa nakaha itu
bermakna tazawwaja. Yakni kawin.
QS.24:3, “Laki-laki yang berzina
tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.” Menurut Al-Azhariy takwilnya adalah pezina itu harus menikah
dengan pezina juga.
Suatu kaum pernah berpendapat. Bahwa
makna nikah di ayat itu adalah al-wath’u. Yakni seks. Sehingga artinya,
pezina tidak boleh seks kecuali dengan pezina pula. Namun ini dianggap tafsir
yang jauh. Sebab di dalam Qur’an tidak pernah dijumpai makna nikah itu kecuali
kawin. Misalnya QS.33.49, “Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman...,” dan 24.32 di atas. Nah, akad
kawin itu disebut nikah.
Kebanyakan tafsir pada QS.24.3, ayat
itu turun pada sebuah komunitas Muslim yang miskin di Madinah. Di situ ada
perempuan pezina yang meminta bayaran (semacam prostitusi atau pelacuran).
Orang-orang Muslim itu ingin mengawininya. Serta mencukupi kebutuhan rumah
tangganya. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk mengharamkannya. Al-Azhariy
juga mengatakan bahwa menurut orang Arab, nikah itu asal maknanya adalah seks.
Kawin disebut nikah, itu karena kawin adalah sebab dibolehkannya seks.
Sedangkan Al-Jauhariy berpendapat
begini. Nikah itu seks. Dan kadang berarti akad. “Aku menikahi perempuan itu,”
maksudnya adalah “Aku mengawininya.” Ibnu Sidah mengatakan bahwa al-nikah
itu adalah kelamin perempuan.
Jika dikatakan, “rojulun nukahatun
wa nukahun,” itu berarti banyak nikahnya. Nikah itu sama dengan kawin.
Hadis Mu’awiyah, “lastu bi nukahin thulaqotin,” artinya aku bukanlah orang yang
banyak nikahnya atau cerainya.
Begitu juga kalimat, “Dia
menikahkannya.” Yaitu dia mengawinkan seseorang dengan perempuan. Di masa
jahiliyah dulu, jika seorang laki-laki bermaksud mengkhitbah seorang perempuan,
laki-laki itu akan berkata, “khitbun”. Jika pihak atau keluarga si
perempuan menerimanya, maka akan dijawab, “nikhun”. Yang maksudnya, “Kami
telah menikahkan kamu dengannya”. Nikah yang dimaksud di sini adalah sebanding
dengan khitbah.
Menurut Abu ‘Ubayd dan Ibnu al-A’rabiy
perempuan itu adalah Ummu Kharijah. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan
mengatakan, “khitbun”. Kemudian dijawab oleh Ummu Kharijah, “nikhun”.
Orang-orang kemudian berkata, “Lebih cepat dari nikahnya Ummu Kharijah. Agaknya
kisah pernikahan Ummu Kharijah itu fenomenal di kalangan orang-orang Arab.
Sehingga kalau mau menikah, cukup meniru caranya Ummu Kharijah.
Menurut Al-Jauhariy, bahwa al-nakhu
dan al-nikhu itu dua kata. Kata tersebut dipakai oleh orang-orang Arab
untuk kawin.
Dijumpai juga kalimat-kalimat seperti
ini: Hujan menikahi bumi. Ngantuk menikahi mata. Yaitu ketika sudah sangat
mengantuk. Dan jika disebut perempuan yang nakih (tanpa ha’).
Maka artinya perempuan itu sudah bersuami.
Nikah versi KBBI adalah kata benda
yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedangkan kawin adalah kata kerja berarti pertama
membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; dan menikah. Arti
kedua adalah melakukan hubungan kelamin; dan bersetubuh. Jadi kata
nikah itu menggambarkan akad persetujuannya. Kawin lebih pada menggambarkan
aktivitas seksualnya.
Maka bisa disimpulkan bahwa nikah
itu adalah akad kawin yang salah satu tujuannya untuk menghalalkan seks. Jadi,
seks bebas itu asalnya haram. Nah, supaya halal harus melakukan persetujuan
tertulis melalui lembaga resmi negara.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar