Minggu, 22 September 2019

PERKAWINAN ARAB PRA-QUR’AN


—Saiful Islam—

“Orang-orang Eropa menyebut perkawinan dengan model seperti ini dengan istilah perkawinan eksperimen. Alis kawin coba-coba…”

Sudah biasa. Peradaban satu bangsa mempengaruhi peradaban bangsa lain. Tak terkecuali peradaban Arab. Sedikit banyak adalah akibat pengaruh budaya dan peradaban bangsa-bangsa di sekitarnya yang lebih dulu maju. Masuk ke Arab bisa lewat kontak perdagangan, melalui kerajaan-kerajaan protektorat (Hirah dan Ghassan), serta masuknya misi Yahudi dan Kristen.

Lewat perdagangan, bangsa Arab kontak dengan bangsa-bangsa Syiria, Persia, Habsyi, Mesir (Qibthi), dan Romawi yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaan protektorat, banyak berdiri koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi pun banyak mendirikan koloni di jazirah Arab. Terutama di Yatsrib. Penduduk koloni itu terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi.

Meski agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, kebanyakan bangsa Arab masih menganut agama asli mereka. Yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Namun pusat berhala-berhala itu ada di Ka’bah. Yang terpenting adalah Hubal (dewa terbesar) di Ka’bah; Latta, dewa tertua diletakkan di Thaif; Uzza di Hijaz yang kedudukannya di bawah Hubal dan Manat di Yatsrib.

Karakteristik lain dari orang-orang Arab sebelum Qur’an turun saya rasa penting untuk diceritakan di sini antara lain. Yaitu faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat berpengaruh. Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku. Tidak memiliki aturan hukum regular, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan. Serta posisi perempuan setara dengan binatang. Para perempuan ini dianggap barang-barang dan hewan ternak yang tidak mempunyai hak.

Orang-orang Arab pra Qur’an menjadikan adat sebagai hukum. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa model. Antara lain pertama, adalah istibdha. Yaitu seorang suami meminta istrinya melakukan seks dengan laki-laki lain yang dipandang mulia. Atau memiliki kelebihan, misalnya keberanian dan kecerdasan.

Nah, selama proses seks itu, si suami menahan diri tidak seks dengan istrinya itu. Sebelum terbukti istrinya telah hamil. Tujuan perkawinan ini, adalah supaya istri melahirkan anak yang memiliki sifat seperti laki-laki yang menyetubuhinya yang tak dimiliki oleh suaminya. Misalnya seorang suami merelakan istrinya seks dengan raja sampai hamil supaya mendapatkan anak yang berasal dari bangsawan.

Kedua, poliandri. Yaitu beberapa lelaki seks dengan seorang perempuan. Setelah perempuan ini hamil dan melahirkan, perempuan ini memanggil semua laki-laki yang pernah seks dengannya. Setelah semua laki-laki itu hadir di rumahnya, perempuan ini menginfokan bahwa ia telah melahirkan anak hasil seks dengan mereka. Lantas perempuan ini menunjuk satu laki-laki di antara mereka untuk menjadi bapak anaknya. Laki-laki yang ditunjuk dilarang menolak.

Ketiga, adalah maqthu’. Yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya mati. Jika si anak bernafsu, ia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda keinginan itu. Ibu tirinya dilarang menolak. Jika anak itu masih kecil, ibu tiri harus menunggu sampai ia dewasa. Setelah dewasa, si anak bebas memilih. Jadi mengawininya atau tidak.

Keempat, yaitu badal. Adalah saling tukar istri tanpa bercerai lebih dulu. Tujuannya hanya untuk memuaskan seks. Agar tidak bosan. Dan kelima adalah kawin shighar. Yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya dengan seorang laki-laki tanpa mas kawin.

Selain keempat model perkawinan orang-orang Arab pra Qur’an di atas, mereka juga punya tiga model lagi. Yang pertama, mirip dengan kawin kontrak. Yaitu seseorang yang meminta laki-laki tertentu untuk mengawini saudara perempuannya atau budaknya dengan bayaran tertentu.

Kedua, prostitusi. Biasanya dilakukan dengan sasaran para pendatang atau tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera. Fungsi bendera itu untuk memanggil. Ya semacam promosi. Jika perempuan itu hamil, ia anak memilih antara laki-laki yang ‘menidurinya’ sebagai bapak dari anaknya yang lahir.

Ketiga, yaitu mut’ah. Ini merupakan perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senang. Ada pula yang mengartikan kawin mut’ah ini adalah menikahi perempuan sampai waktu yang ditentukan. Jika waktu tersebut sudah habis, maka otomatis terjadi perceraian.

Kabarnya, kawin mut’ah itu masih ada yang membolehkan dan melakukannya sampai sekarang. Yaitu sekte Syi’ah Imamiyah. Bahkan perkawinan model ini sampai saat ini populer di Eropa. Orang-orang barat itu menyebut perkawinan dengan model seperti ini dengan istilah perkawinan eksperimen. Alis kawin coba-coba.

Di antara semua model perkawinan ala Arab pra-Qur’an itu, ada satu lagi perkawinan yang mirip dengan pernikahan yang legal di zaman milenial kita ini. Yaitu seorang laki-laki yang mengingini perempuan tertentu. Maka laki-laki itu datang kepada keluarga (wali) si perempuan. Untuk melamar anak perempuannya, atau perempuan di bawah perwaliannya. Kemudian menentukan maharnya. Lantas menikahinya.

Jadi, semua model perkawinan Arab sebelum Qur’an turun itu, dasarnya hanya sebuah adat. Atau tradisi. Alias kebiasaan saja. Wajar, karena memang belum ada hukum yang terorganisir dengan baik. Tentu saja sebuah peradaban yang sangat sederhana, bila dibanding dengan 2019 di Indonesia ini. Di semua bidang. Semua peraturan adat Arab pra Qur’an itu, bisa jadi mereka anggap baik dan menguntungkan.

Maka kita mesti menafsirkan ulang Hadis yang berbunyi, “Sebaik-baik masa adalah masaku (abadku). Kemudian abad berikutnya (abad ke-2 H). Dan berikutnya (abad ke-3 Hijriyah)….” Karena kita paham sekali. Bahwa Hadis itu tidak selalu pasti dari Rasulullah. Bahkan kata beliau, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, bersiaplah tempatnya di neraka!”

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...