—Saiful Islam—
“Orang-orang Eropa menyebut
perkawinan dengan model seperti ini dengan istilah perkawinan eksperimen. Alis kawin
coba-coba…”
Sudah biasa. Peradaban satu bangsa
mempengaruhi peradaban bangsa lain. Tak terkecuali peradaban Arab. Sedikit
banyak adalah akibat pengaruh budaya dan peradaban bangsa-bangsa di sekitarnya
yang lebih dulu maju. Masuk ke Arab bisa lewat kontak perdagangan, melalui
kerajaan-kerajaan protektorat (Hirah dan Ghassan), serta masuknya misi Yahudi
dan Kristen.
Lewat perdagangan, bangsa Arab
kontak dengan bangsa-bangsa Syiria, Persia, Habsyi, Mesir (Qibthi), dan Romawi
yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaan
protektorat, banyak berdiri koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan
dan Hirah. Penganut agama Yahudi pun banyak mendirikan koloni di jazirah Arab.
Terutama di Yatsrib. Penduduk koloni itu terdiri dari orang-orang Yahudi dan
orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi.
Meski agama Yahudi dan Kristen
sudah masuk ke jazirah Arab, kebanyakan bangsa Arab masih menganut agama asli
mereka. Yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala.
Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Namun pusat berhala-berhala itu ada
di Ka’bah. Yang terpenting adalah Hubal (dewa terbesar) di Ka’bah; Latta, dewa tertua
diletakkan di Thaif; Uzza di Hijaz yang kedudukannya di bawah Hubal dan Manat
di Yatsrib.
Karakteristik lain dari orang-orang
Arab sebelum Qur’an turun saya rasa penting untuk diceritakan di sini antara
lain. Yaitu faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat berpengaruh. Mempunyai
struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku. Tidak memiliki aturan hukum regular,
kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan. Serta posisi
perempuan setara dengan binatang. Para perempuan ini dianggap barang-barang dan
hewan ternak yang tidak mempunyai hak.
Orang-orang Arab pra Qur’an
menjadikan adat sebagai hukum. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa
model. Antara lain pertama, adalah istibdha. Yaitu seorang suami meminta
istrinya melakukan seks dengan laki-laki lain yang dipandang mulia. Atau memiliki
kelebihan, misalnya keberanian dan kecerdasan.
Nah, selama proses seks itu, si
suami menahan diri tidak seks dengan istrinya itu. Sebelum terbukti istrinya
telah hamil. Tujuan perkawinan ini, adalah supaya istri melahirkan anak yang
memiliki sifat seperti laki-laki yang menyetubuhinya yang tak dimiliki oleh
suaminya. Misalnya seorang suami merelakan istrinya seks dengan raja sampai
hamil supaya mendapatkan anak yang berasal dari bangsawan.
Kedua, poliandri. Yaitu
beberapa lelaki seks dengan seorang perempuan. Setelah perempuan ini hamil dan
melahirkan, perempuan ini memanggil semua laki-laki yang pernah seks dengannya.
Setelah semua laki-laki itu hadir di rumahnya, perempuan ini menginfokan bahwa
ia telah melahirkan anak hasil seks dengan mereka. Lantas perempuan ini
menunjuk satu laki-laki di antara mereka untuk menjadi bapak anaknya. Laki-laki
yang ditunjuk dilarang menolak.
Ketiga, adalah maqthu’.
Yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya mati. Jika si
anak bernafsu, ia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda keinginan
itu. Ibu tirinya dilarang menolak. Jika anak itu masih kecil, ibu tiri harus
menunggu sampai ia dewasa. Setelah dewasa, si anak bebas memilih. Jadi mengawininya
atau tidak.
Keempat, yaitu badal.
Adalah saling tukar istri tanpa bercerai lebih dulu. Tujuannya hanya untuk
memuaskan seks. Agar tidak bosan. Dan kelima adalah kawin shighar.
Yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya dengan seorang
laki-laki tanpa mas kawin.
Selain keempat model perkawinan
orang-orang Arab pra Qur’an di atas, mereka juga punya tiga model lagi. Yang pertama,
mirip dengan kawin kontrak. Yaitu seseorang yang meminta laki-laki tertentu
untuk mengawini saudara perempuannya atau budaknya dengan bayaran tertentu.
Kedua, prostitusi. Biasanya
dilakukan dengan sasaran para pendatang atau tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan
bendera. Fungsi bendera itu untuk memanggil. Ya semacam promosi. Jika perempuan
itu hamil, ia anak memilih antara laki-laki yang ‘menidurinya’ sebagai bapak
dari anaknya yang lahir.
Ketiga, yaitu mut’ah.
Ini merupakan perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senang. Ada pula yang
mengartikan kawin mut’ah ini adalah menikahi perempuan sampai waktu yang
ditentukan. Jika waktu tersebut sudah habis, maka otomatis terjadi perceraian.
Kabarnya, kawin mut’ah itu
masih ada yang membolehkan dan melakukannya sampai sekarang. Yaitu sekte Syi’ah
Imamiyah. Bahkan perkawinan model ini sampai saat ini populer di Eropa. Orang-orang
barat itu menyebut perkawinan dengan model seperti ini dengan istilah
perkawinan eksperimen. Alis kawin coba-coba.
Di antara semua model perkawinan
ala Arab pra-Qur’an itu, ada satu lagi perkawinan yang mirip dengan pernikahan
yang legal di zaman milenial kita ini. Yaitu seorang laki-laki yang mengingini
perempuan tertentu. Maka laki-laki itu datang kepada keluarga (wali) si
perempuan. Untuk melamar anak perempuannya, atau perempuan di bawah
perwaliannya. Kemudian menentukan maharnya. Lantas menikahinya.
Jadi, semua model perkawinan Arab
sebelum Qur’an turun itu, dasarnya hanya sebuah adat. Atau tradisi. Alias kebiasaan
saja. Wajar, karena memang belum ada hukum yang terorganisir dengan baik. Tentu
saja sebuah peradaban yang sangat sederhana, bila dibanding dengan 2019 di
Indonesia ini. Di semua bidang. Semua peraturan adat Arab pra Qur’an itu, bisa
jadi mereka anggap baik dan menguntungkan.
Maka kita mesti menafsirkan ulang
Hadis yang berbunyi, “Sebaik-baik masa adalah masaku (abadku). Kemudian abad
berikutnya (abad ke-2 H). Dan berikutnya (abad ke-3 Hijriyah)….” Karena kita
paham sekali. Bahwa Hadis itu tidak selalu pasti dari Rasulullah. Bahkan kata
beliau, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, bersiaplah tempatnya di
neraka!”
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar