Minggu, 08 September 2019

HAK BUDAK DIBELA HUKUM


—Saiful Islam—

“ Agaknya, si budak laki-laki ini dimanfaatkan oleh tuannya sebagai pejantan tangguh. Hehe…”

Raja Ur-Nammu itu hidup pada sekitar abad ke-21 SM. Adapun raja Hammurabi, itu hidup sekitar abad ke-18 SM. Sedangkan Musa hidup sekitar abad ke-16 atau 15 SM. Ur-Nammu adalah pemimpin bangsa Sumeria. Hammurabi itu pemimpin bangsa Babilonia. Sedangkan Musa merupakan pemimpin bangsa Israel.

Sekali lagi, untuk mengatur perbudakan, raja Ur-Nammu mempunyai undang-undang Ur-Nammu. Undang-undang raja Hammurabi adalah piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Sedangkan Musa menggunakan hukum Taurat. Secara garis besar, dengan ketiga aturan tersebut, seseorang mulai tidak boleh semena-mena lagi memperlakukan budaknya. Sebaliknya, para budak mulai mempunyai hak.

Sekadar catatan. Sebenarnya selain undang-undang tersebut, Sejarah telah mengenal undang-undang hukum kuno yang lain. Yaitu hukum Kuneiform (2350-1400 SM); Hukum Eshnuna atau UU Nesilim (1930 SM); Kodeks Lipit-Ishtar dari Isin (1870 SM); Hukum Het (1650-1100 SM); Piagam Nesilim (1650-1500 SM); Hukum Asyur (1075 SM); Konstitusi Drakonian (abad ke-7 SM); UU Gortyn (abad ke-5 SM); Dua Belas Tabel Hukum Romawi (abad ke-5 SM); Maklumat-maklumat Asoka dari Hukum Buddha (269-236 SM); Hukum Manu (200 SM); Corpus Juris Civilis/ Kode Justinian (529 untuk 534 SM); Hukum Islam/ Syariah (570 M); UU Tang (624-637 M); Halakha; Hukum Tradisional Tiongkok; UU Gento; dan Hukum Brehon.

Misalnya tentang kebebasan budak. Ya, budak mulai bisa bebas. Merdeka. Tuan tidak boleh menjadikannya budak seumur hidup. Orang yang telah menjual istrinya, atau anaknya (baik laki-laki atau perempuan), atau dirinya sendiri, maka sebagai budak itu, harus bekerja kepada pembelinya selama 3 tahun. Di tahun ke-4, secara otomatis menurut aturan Hammurabi, budak tersebut bebas. Setelah bekerja sebagai budak selama tiga tahun, maka di tahun ke-4 statusnya otomatis merdeka.

Sedikit beda dengan hukum Musa. Namun intinya, mulai ada perlakuan untuk memanusiakan budak. Bahwa seseorang yang menjual dirinya sebagai budak, ia harus bekerja selama 6 tahun. Otomatis merdeka di tahun ke-7. Memerdekakannya pun tidak boleh dimerdekakan begitu saja. Tapi wajib diberi pesangon. “Wajib memberi pesangon dari domba kalian, tempat pengirikanmu dan tempat pemerasanmu, sesuai berkat Tuhan—Allah kalian yang diberikan kepadamu. Wajiblah kau hibahkan kepadanya,” begitu kurang lebih bunyi hukum Musa.

Seorang budak laki-laki, itu pun bisa kawin atau menikah. Baik dengan perempuan budak maupun perempuan merdeka. Baik ketika masih merdeka, maupun saat menjual dirinya sebagai budak. Bahkan tuannya itu bisa jadi memberi budak tersebut seorang istri. Nah, menurut hukum Ur-Nammu, seorang budak laki-laki yang memiliki istri perempuan yang juga budak, itu saat merdeka tidak boleh pergi atau dipaksa pergi sendirian. Tapi kalau pergi, harus pergi bersama istrinya itu.

Sedangkan budak laki-laki yang menikahi perempuan merdeka, maka seorang anak laki-laki yang lahir dari perempuan tersebut, harus melayani tuan si budak tadi. Hanya satu anak laki-laki saja. Adapun anak-anaknya yang lain, itu bukan milik tuan ayahnya yang budak tadi. Mereka anak-anak merdeka. Tidak boleh dipaksa menjadi budak seperti ayahnya. Begitu juga hukum Taurat. Yaitu seorang budak yang datang ke tuannya sudah punya istri, maka saat bebas nanti harus bebas bersama istrinya juga.

Lalu bagaimana dengan budak laki-laki yang awalnya datang jomblo. Kemudian diberi istri (seorang perempuan merdeka) oleh tuannya? Ketika budak ini bebas nantinya di tahun ke-7, dia harus pergi seorang diri. Sedangkan istri yang diberikan tuannya tadi, serta anak-anaknya (baik laki-laki maupun perempuan), itu tetap milik tuannya. Kalau bebas dan mau pergi dari rumah tuannya, maka budak tersebut harus pergi sendiri. Agaknya si budak ini dimanfaatkan oleh tuannya sebagai pejantan tangguh. Hehe.

Sejak abad ke-21 SM terkait aturan perbudakan itu, semua hukum tegas melarang memperkosa budak perempuan. Baik hukum sekuler maupun hukum Musa. Siapa pun yang memperkosa budak perempuan dengan semena-mena, pasti akan mendapat sangsi. “Jika seseorang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain dan memperkosa budak gadis orang, dia harus menimbang dan memberikan 5 syikal perak.” Begitu bunyi UU Ur-Nammu.

Hukum Musa dalam Kitab Imamat, pasal 19 ayat 20-21, juga mengatur tentang pemerkosaan terhadap budak perempuan. Yang jelas, sangsinya tidak boleh berupa hukuman mati. Tapi hanya seekor domba jantan. Begini bunyinya: “Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi surat tanda merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum; tetapi janganlah keduanya dihukum mati, karena perempuan itu belum dimerdekakan (ayat 20). Laki-laki itu harus membawa tebusan salahnya kepada TUHAN ke pintu Kemah Pertemuan, yakni seekor domba jantan sebagai korban penebus salah (ayat 21).”

Jangankan memperkosa. Menyakiti secara fisik saja, itu bisa kena sangsi. Misalnya, “Apabila seseorang membutakan mata seorang budak laki-laki atau perempuan, atau mematahkan giginya, dia harus membayar 10 syikal perak. Dia harus mengunjungi rumahnya untuk membayarnya.” Jadi menurut Hukum Het, sangsi membutakan budak atau mematahkan giginya adalah denda 10 syikal perak.

Adapun dalam Taurat. Disebutkan dalam Kitab Keluaran. Pasal 21 ayat 26 sampai 27 sebagai berikut: “Apabila seseorang memukul mata budaknya laki-laki atau mata budaknya perempuan dan merusakkannya, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kerusakan matanya itu (21:26). Dan jika ia menumbuk sampai tanggal gigi budaknya laki-laki atau gigi budaknya perempuan, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kehilangan giginya itu (21:27).” Jadi menurut hukum Musa, sangsi merusak mata atau gigi budak itu adalah memerdekakannya.

Sekarang kita sudah mendapat gambarannya. Bahwa hukum-hukum tentang perbudakan yang saya ceritakan di atas, cenderung membela hak-hak seorang budak. Tidak boleh orang semena-mena pada budaknya. Bahkan spiritnya adalah memerdekakan budak. Kalau bisa, tidak perlu ada perbudakan. Orang terpaksa menjual dirinya, atau istrinya, atau anaknya sebagai budak, itu lebih karena sistem ekonomi saat itu. Sistem kerja perbudakan agaknya lebih karena warisan sistem peradaban nenek moyang yang sangat serderhana.

Bahkan menurut hukum Musa, budak yang kabur dari tuannya saja, itu tidak boleh diserahkan kembali kepada tuannya. Seakan-akan dimaklumi. Kitab Ulangan 23 ayat 15 sampai 16 menyebutkan begini: “Janganlah kauserahkan kepada tuannya seorang budak yang melarikan diri dari tuannya kepadamu (23:15). Bersama-sama engkau ia boleh tinggal, di tengah-tengahmu, di tempat yang dipilihnya di salah satu tempatmu, yang dirasanya baik; janganlah engkau menindas dia (23:16).”

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...