—Saiful Islam—
“ Agaknya, si budak laki-laki ini
dimanfaatkan oleh tuannya sebagai pejantan tangguh. Hehe…”
Raja Ur-Nammu itu hidup pada
sekitar abad ke-21 SM. Adapun raja Hammurabi, itu hidup sekitar abad ke-18 SM. Sedangkan
Musa hidup sekitar abad ke-16 atau 15 SM. Ur-Nammu adalah pemimpin bangsa
Sumeria. Hammurabi itu pemimpin bangsa Babilonia. Sedangkan Musa merupakan
pemimpin bangsa Israel.
Sekali lagi, untuk mengatur
perbudakan, raja Ur-Nammu mempunyai undang-undang Ur-Nammu. Undang-undang raja
Hammurabi adalah piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Sedangkan Musa
menggunakan hukum Taurat. Secara garis besar, dengan ketiga aturan tersebut,
seseorang mulai tidak boleh semena-mena lagi memperlakukan budaknya. Sebaliknya,
para budak mulai mempunyai hak.
Sekadar catatan. Sebenarnya selain
undang-undang tersebut, Sejarah telah mengenal undang-undang hukum kuno yang
lain. Yaitu hukum Kuneiform (2350-1400 SM); Hukum Eshnuna atau UU Nesilim (1930
SM); Kodeks Lipit-Ishtar dari Isin (1870 SM); Hukum Het (1650-1100 SM); Piagam
Nesilim (1650-1500 SM); Hukum Asyur (1075 SM); Konstitusi Drakonian (abad ke-7
SM); UU Gortyn (abad ke-5 SM); Dua Belas Tabel Hukum Romawi (abad ke-5 SM);
Maklumat-maklumat Asoka dari Hukum Buddha (269-236 SM); Hukum Manu (200 SM);
Corpus Juris Civilis/ Kode Justinian (529 untuk 534 SM); Hukum Islam/ Syariah
(570 M); UU Tang (624-637 M); Halakha; Hukum Tradisional Tiongkok; UU Gento;
dan Hukum Brehon.
Misalnya tentang kebebasan budak. Ya,
budak mulai bisa bebas. Merdeka. Tuan tidak boleh menjadikannya budak seumur
hidup. Orang yang telah menjual istrinya, atau anaknya (baik laki-laki atau
perempuan), atau dirinya sendiri, maka sebagai budak itu, harus bekerja kepada
pembelinya selama 3 tahun. Di tahun ke-4, secara otomatis menurut aturan Hammurabi,
budak tersebut bebas. Setelah bekerja sebagai budak selama tiga tahun, maka di
tahun ke-4 statusnya otomatis merdeka.
Sedikit beda dengan hukum Musa. Namun
intinya, mulai ada perlakuan untuk memanusiakan budak. Bahwa seseorang yang
menjual dirinya sebagai budak, ia harus bekerja selama 6 tahun. Otomatis merdeka
di tahun ke-7. Memerdekakannya pun tidak boleh dimerdekakan begitu saja. Tapi
wajib diberi pesangon. “Wajib memberi pesangon dari domba kalian, tempat
pengirikanmu dan tempat pemerasanmu, sesuai berkat Tuhan—Allah kalian yang
diberikan kepadamu. Wajiblah kau hibahkan kepadanya,” begitu kurang lebih
bunyi hukum Musa.
Seorang budak laki-laki, itu pun
bisa kawin atau menikah. Baik dengan perempuan budak maupun perempuan merdeka.
Baik ketika masih merdeka, maupun saat menjual dirinya sebagai budak. Bahkan tuannya
itu bisa jadi memberi budak tersebut seorang istri. Nah, menurut hukum
Ur-Nammu, seorang budak laki-laki yang memiliki istri perempuan yang juga
budak, itu saat merdeka tidak boleh pergi atau dipaksa pergi sendirian. Tapi
kalau pergi, harus pergi bersama istrinya itu.
Sedangkan budak laki-laki yang
menikahi perempuan merdeka, maka seorang anak laki-laki yang lahir dari
perempuan tersebut, harus melayani tuan si budak tadi. Hanya satu anak
laki-laki saja. Adapun anak-anaknya yang lain, itu bukan milik tuan ayahnya
yang budak tadi. Mereka anak-anak merdeka. Tidak boleh dipaksa menjadi budak
seperti ayahnya. Begitu juga hukum Taurat. Yaitu seorang budak yang datang ke
tuannya sudah punya istri, maka saat bebas nanti harus bebas bersama istrinya
juga.
Lalu bagaimana dengan budak
laki-laki yang awalnya datang jomblo. Kemudian diberi istri (seorang perempuan
merdeka) oleh tuannya? Ketika budak ini bebas nantinya di tahun ke-7, dia harus
pergi seorang diri. Sedangkan istri yang diberikan tuannya tadi, serta
anak-anaknya (baik laki-laki maupun perempuan), itu tetap milik tuannya. Kalau
bebas dan mau pergi dari rumah tuannya, maka budak tersebut harus pergi
sendiri. Agaknya si budak ini dimanfaatkan oleh tuannya sebagai pejantan
tangguh. Hehe.
Sejak abad ke-21 SM terkait aturan
perbudakan itu, semua hukum tegas melarang memperkosa budak perempuan. Baik hukum
sekuler maupun hukum Musa. Siapa pun yang memperkosa budak perempuan dengan
semena-mena, pasti akan mendapat sangsi. “Jika seseorang melakukan
pelanggaran terhadap hak orang lain dan memperkosa budak gadis orang, dia harus
menimbang dan memberikan 5 syikal perak.” Begitu bunyi UU Ur-Nammu.
Hukum Musa dalam Kitab Imamat, pasal
19 ayat 20-21, juga mengatur tentang pemerkosaan terhadap budak perempuan. Yang
jelas, sangsinya tidak boleh berupa hukuman mati. Tapi hanya seekor domba
jantan. Begini bunyinya: “Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan
seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa
laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi surat
tanda merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum; tetapi janganlah keduanya
dihukum mati, karena perempuan itu belum dimerdekakan (ayat 20). Laki-laki itu
harus membawa tebusan salahnya kepada TUHAN ke pintu Kemah Pertemuan, yakni
seekor domba jantan sebagai korban penebus salah (ayat 21).”
Jangankan memperkosa. Menyakiti
secara fisik saja, itu bisa kena sangsi. Misalnya, “Apabila seseorang
membutakan mata seorang budak laki-laki atau perempuan, atau mematahkan
giginya, dia harus membayar 10 syikal perak. Dia harus mengunjungi rumahnya
untuk membayarnya.” Jadi menurut Hukum Het, sangsi membutakan budak atau
mematahkan giginya adalah denda 10 syikal perak.
Adapun dalam Taurat. Disebutkan
dalam Kitab Keluaran. Pasal 21 ayat 26 sampai 27 sebagai berikut: “Apabila
seseorang memukul mata budaknya laki-laki atau mata budaknya perempuan dan
merusakkannya, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka
pengganti kerusakan matanya itu (21:26). Dan
jika ia menumbuk sampai tanggal gigi budaknya laki-laki atau gigi budaknya
perempuan, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti
kehilangan giginya itu (21:27).” Jadi
menurut hukum Musa, sangsi merusak mata atau gigi budak itu adalah
memerdekakannya.
Sekarang kita sudah mendapat
gambarannya. Bahwa hukum-hukum tentang perbudakan yang saya ceritakan di atas,
cenderung membela hak-hak seorang budak. Tidak boleh orang semena-mena pada
budaknya. Bahkan spiritnya adalah memerdekakan budak. Kalau bisa, tidak perlu
ada perbudakan. Orang terpaksa menjual dirinya, atau istrinya, atau anaknya
sebagai budak, itu lebih karena sistem ekonomi saat itu. Sistem kerja
perbudakan agaknya lebih karena warisan sistem peradaban nenek moyang yang
sangat serderhana.
Bahkan menurut hukum Musa, budak
yang kabur dari tuannya saja, itu tidak boleh diserahkan kembali kepada
tuannya. Seakan-akan dimaklumi. Kitab Ulangan 23 ayat 15 sampai 16 menyebutkan
begini: “Janganlah kauserahkan kepada tuannya seorang budak yang melarikan
diri dari tuannya kepadamu (23:15). Bersama-sama
engkau ia boleh tinggal, di tengah-tengahmu, di tempat yang dipilihnya di salah
satu tempatmu, yang dirasanya baik; janganlah engkau menindas dia (23:16).”
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar