Selasa, 03 September 2019

SEKILAS HERMENEUTIKA SYAHRUR


—Saiful Islam—

“Syuhudi Ismail, menerapkannya pada Hadis-Hadis Nabi. Sedangkan Syahrur menerapkannya pada ayat-ayat Qur’an…”

Seorang kawan men-share surat pernyataan Dr Abdul Aziz yang akan merevisi disertasinya, berjudul Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrour sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non-Marital. Karena kritik dan masukan dari para promotor dan penguji pada ujian terbuka, ia akan mengubah judulnya menjadi Problematika Konsep Milk al-Yamin dalam Pemikiran Muhammad Shahrour. Ia juga akan menghilangkan beberapa bagian yang kontroversial.

Menurut saya, bisa jadi dia malu atau takut terutama terkait gelar, profesi, ekonomi, karir, dan semisalnya. Sehingga terpaksa merevisi. Padahal tentu dia sudah melewati beberapa tahap yang ketat. Bahkan sampai tahap ujian terbuka dan dengan mempertahankan disertasinya itu, dia mendapat predikat cumlaude. Sangat memuaskan.

Namun yang jelas, dia mengamini (sangat membela dan mempertahankan) konsep Syahrur akan bolehnya atau halalnya seks di luar nikah dengan syarat tertentu. Nah, ini nampaknya menarik untuk ditanggapi. Saya ingin menanggapinya point per point. Hehe. Supaya lebih tepat sasaran, tolong bagi kawan yang punya file disertasinya, saya dikirimi nggih. Terutama yang sebelum direvisi.

Kalau kita belajar tafsir Qur’an kontemporer, pastilah akrab dengan nama Syahrur. Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur. Kawan-kawan kerap menyingkatnya Muhammad Syahrur. Ia lahir pada 11 Maret 1938 di Salihiyah—salah satu sudut kota di Damaskus, Syiria.

Pada 1957, Syahrur menyelesaikan jenjang sekolah menengah. Kemudian dengan beasiswa dari pemerintah, ia melanjutkan studi ke Moskow, Uni Soviet. Di sini, ia belajar teknik sipil.

Di tahun 1964, Syahrur berhasil menamatkan studinya yang di Moskow itu. Kemudian ia kembali ke Syiria dan menjadi dosen di Universitas Damaskus. Tidak berhenti di situ, Syahrur lalu melanjutkan lagi studinya ke jenjang magister dan doktoral. Yaitu di National University of Ireland tahun 1968. Masternya selesai pada tahun 1969 dengan konsentrasi Mekanika Tanah. Sedangkan doktoralnya tamat tahun 1972 bidang Teknik Pondasi.

Setelah menyelesaikan studinya di Irlandia itu, Syahrur mengajar lagi di Universitas Damaskus. Sesuai jurusannya, ia juga berkiprah di dunia teknik sipil. Yaitu dengan menjadi konsultan teknik bangunan untuk ribuan bangunan di Damaskus.

Ketertarikan Syahrur pada kajian keislaman, sejatinya sudah muncul ketika ia studi di Dublin. Teorinya tentang God’s Limits (Tuhan mempunyai batasan hukum), itu justru diperoleh saat dia mengajar cara membuat konstruksi jalan rapat yang juga menggunakan konsep batas minimal dan maksimal. Lantas ia menemukan lima kasus di Al-Qur’an yang ia anggap sebagai maksud God’s Limit.

Sudah sejak studi di Dublin, itu Syahrur bertemu dengan kawannya. Yaitu Dr. Jakfar Dakk  al-Bab—pakar linguistik. Dari sinilah, Syahrur kemudian mengelaborasi pengetahuan linguistiknya. Yang lantas mempengaruhi teori kontemporer hukum Islamnya.

Buku pertamanya adalah Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Terbit tahun 1990. Saya sudah hatamkan buku itu kira-kira awal tahun ini. Keren memang. Logis dan rasional. Yang paling berkesan bagi saya ketika ia membahas tentang arti al-kitab yang agaknya berbeda dengan pengkaji Islam kebanyakan. Selain itu, ada lagi bahasan istilah nalar rahmaniy dan nalar syaythoniy.

Selain itu, Syahrur juga menulis Dirasat al-Islamiyyah al-Mu’ashirah fi al-Daulah wal al-Mujtama’ (1994); Al-Islam wa al-Iman (1996); Nahwu Ushul Jadidad lil Fiqh al-Islamiy: Fiqh al-Mar’ah (2000); Taifif Manabi’ al-Irhab (2008); Al-Qishah al-Qur’aniy-Qira’ah Mu’ashirah I: Madkhal ila al-Qishash wa al-Qishat Adam (2010); dan Al-Qishah al-Qur’aniy-Qira’ah Mu’ashirah II: min Nuh ila Yusuf (2011).

Dengan penguasaan Bahasa Arab-nya serta karya-karyanya itu, jangan gegabah dulu kita berkomentar bahwa Syahrur tidak tahu apa-apa tentang Islam dan terutama Qur’an. Allah memang menurunkan Qur’an itu untuk dikaji siapa saja yang mau. Bukan hanya bagi pihak-pihak yang secara bungkus saja tahu Islam. Jangan menilai buku dari sampulnya.

Termasuk karya Syahrur adalah buku yang diedit dan diterjemah oleh Andreas Christman. Yaitu The Qur’an, Morality, and Critical Reason: The Essential Muhammad Shahrur (2009). Ia juga menulis Al-Islam wa al-Insan: min Nataij al-Qira’ah al-Mu’ashirah (2016). Buku terakhir ini lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 2017 menjadi Islam and Humanity: Consequence of Contemporary Reading.

 Nah, teori limit Syahrur itu dibangun berdasar asumsi. Bahwa risalah Nabi Muhammad SAW itu adalah risalah universal dan terus relevan (sesuai), fleksibel, dinamis, dan selalu terbarui (mutajaddid) sejalan dengan dinamika (pergerakan) zaman. Sholih li kull zaman wa makan, istilahnya. Sifat lurus dan pasti (istiqomah) serta lentur (hanifiyyah) adalah kunci utama yang mesti dipakai untuk memahami risalah Nabi.

Berdasar Qur’an Surat ke-5, Al-Maidah ayat 161, Syahrur berpendapat bahwa karakter agama Islam itu selalu ada dialektika istiqomah dan hanifiyyah. Ini memicu jutaan kemungkinan dalam penetapan hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia di setiap ruang dan waktu.

Berdasar pada QS. Al-An’am[6] ayat 79, menurut Syahrur agama yang hanif itu idealnya selaras dengan sifat alam. Yaitu lentur, fleksibel, dan dinamis. Lantas disebutlah sebagai mutaghayyarat. Alias berarti dinamika dan progresifitas. Di tahap ini, sifat istiqamah berfungsi mengarahkan kelenturan agama supaya menemukan ‘kebenaran dasar’ kehidupan yang telah ditetapkan.

Melalui dialektika dua sifat tersebut, menurut Syahrur hukum Islam akan selalu menemukan relevansinya kapan pun dan dimana pun. Nah, berdasar pada QS. Al-Nisa’[4] ayat 13 – 14, serta dialektika dua sifat tersebut, Syahrur lantas membangun teori limitnya itu. Bagi Syahrur, yang berotoritas menetapkan batasan-batasan hukum adalah Nabi dan Rasul. Landasannya adalah kalimat ‘tilka hududullah’ (Itulah batas-batas Allah).

Sedangkan Nabi Muhammad sendiri, dianggap hanya sebagai pelopor ijtihad. Juga tidak memiliki otoritas penuh. Maksudnya, karena hukum-hukum yang dihasilkan Nabi Muhammad itu bersifat temporal (sementara sesuai situasi dan kondisinya) dan terikat oleh tempat dan waktu (lokal saat itu), maka manusia masih mempunyai ruang gerak untuk berijtihad lebih lanjut.

Ini mirip dengan klasifikasi yang pernah dilakukan oleh Syuhudi Ismail untuk memahi Hadis-Hadis Nabi. Yaitu muatan hukum itu ada yang lokal temporal. Karenanya kesimpulan hukumnya bisa berubah karena berubahnya tempat, waktu, situasi, dan kondisinya—ketupat (keadaan, waktu, dan tempat). Ada juga yang global universal. Biasanya ini terkait dengan ibadah-ibadah mahdhah ritual. Sedangkan Syahrur, menerapkannya pada ayat-ayat Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...