—Saiful Islam—
“Syuhudi Ismail, menerapkannya pada
Hadis-Hadis Nabi. Sedangkan Syahrur menerapkannya pada ayat-ayat Qur’an…”
Seorang kawan men-share surat pernyataan
Dr Abdul Aziz yang akan merevisi disertasinya, berjudul Konsep Milk
al-Yamin Muhammad Syahrour sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non-Marital.
Karena kritik dan masukan dari para promotor dan penguji pada ujian terbuka, ia
akan mengubah judulnya menjadi Problematika Konsep Milk al-Yamin dalam Pemikiran
Muhammad Shahrour. Ia juga akan menghilangkan beberapa bagian yang
kontroversial.
Menurut saya, bisa jadi dia malu
atau takut terutama terkait gelar, profesi, ekonomi, karir, dan semisalnya. Sehingga
terpaksa merevisi. Padahal tentu dia sudah melewati beberapa tahap yang ketat. Bahkan
sampai tahap ujian terbuka dan dengan mempertahankan disertasinya itu, dia
mendapat predikat cumlaude. Sangat memuaskan.
Namun yang jelas, dia mengamini
(sangat membela dan mempertahankan) konsep Syahrur akan bolehnya atau halalnya
seks di luar nikah dengan syarat tertentu. Nah, ini nampaknya menarik untuk
ditanggapi. Saya ingin menanggapinya point per point. Hehe. Supaya lebih tepat
sasaran, tolong bagi kawan yang punya file disertasinya, saya dikirimi nggih. Terutama
yang sebelum direvisi.
Kalau kita belajar tafsir Qur’an
kontemporer, pastilah akrab dengan nama Syahrur. Nama lengkapnya Muhammad Ibnu
Da’ib Syahrur. Kawan-kawan kerap menyingkatnya Muhammad Syahrur. Ia lahir pada
11 Maret 1938 di Salihiyah—salah satu sudut kota di Damaskus, Syiria.
Pada 1957, Syahrur menyelesaikan
jenjang sekolah menengah. Kemudian dengan beasiswa dari pemerintah, ia
melanjutkan studi ke Moskow, Uni Soviet. Di sini, ia belajar teknik sipil.
Di tahun 1964, Syahrur berhasil
menamatkan studinya yang di Moskow itu. Kemudian ia kembali ke Syiria dan
menjadi dosen di Universitas Damaskus. Tidak berhenti di situ, Syahrur lalu
melanjutkan lagi studinya ke jenjang magister dan doktoral. Yaitu di National
University of Ireland tahun 1968. Masternya selesai pada tahun 1969 dengan
konsentrasi Mekanika Tanah. Sedangkan doktoralnya tamat tahun 1972 bidang
Teknik Pondasi.
Setelah menyelesaikan studinya di
Irlandia itu, Syahrur mengajar lagi di Universitas Damaskus. Sesuai jurusannya,
ia juga berkiprah di dunia teknik sipil. Yaitu dengan menjadi konsultan teknik
bangunan untuk ribuan bangunan di Damaskus.
Ketertarikan Syahrur pada kajian
keislaman, sejatinya sudah muncul ketika ia studi di Dublin. Teorinya tentang God’s
Limits (Tuhan mempunyai batasan hukum), itu justru diperoleh saat dia
mengajar cara membuat konstruksi jalan rapat yang juga menggunakan konsep batas
minimal dan maksimal. Lantas ia menemukan lima kasus di Al-Qur’an yang ia
anggap sebagai maksud God’s Limit.
Sudah sejak studi di Dublin, itu Syahrur
bertemu dengan kawannya. Yaitu Dr. Jakfar Dakk
al-Bab—pakar linguistik. Dari sinilah, Syahrur kemudian mengelaborasi
pengetahuan linguistiknya. Yang lantas mempengaruhi teori kontemporer hukum
Islamnya.
Buku pertamanya adalah Al-Kitab
wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Terbit tahun 1990. Saya sudah hatamkan
buku itu kira-kira awal tahun ini. Keren memang. Logis dan rasional. Yang paling
berkesan bagi saya ketika ia membahas tentang arti al-kitab yang agaknya
berbeda dengan pengkaji Islam kebanyakan. Selain itu, ada lagi bahasan istilah nalar
rahmaniy dan nalar syaythoniy.
Selain itu, Syahrur juga menulis Dirasat
al-Islamiyyah al-Mu’ashirah fi al-Daulah wal al-Mujtama’ (1994); Al-Islam
wa al-Iman (1996); Nahwu Ushul Jadidad lil Fiqh al-Islamiy: Fiqh al-Mar’ah
(2000); Taifif Manabi’ al-Irhab (2008); Al-Qishah al-Qur’aniy-Qira’ah
Mu’ashirah I: Madkhal ila al-Qishash wa al-Qishat Adam (2010); dan Al-Qishah
al-Qur’aniy-Qira’ah Mu’ashirah II: min Nuh ila Yusuf (2011).
Dengan penguasaan Bahasa Arab-nya
serta karya-karyanya itu, jangan gegabah dulu kita berkomentar bahwa Syahrur
tidak tahu apa-apa tentang Islam dan terutama Qur’an. Allah memang menurunkan
Qur’an itu untuk dikaji siapa saja yang mau. Bukan hanya bagi pihak-pihak yang
secara bungkus saja tahu Islam. Jangan menilai buku dari sampulnya.
Termasuk karya Syahrur adalah buku
yang diedit dan diterjemah oleh Andreas Christman. Yaitu The Qur’an, Morality,
and Critical Reason: The Essential Muhammad Shahrur (2009). Ia juga menulis
Al-Islam wa al-Insan: min Nataij al-Qira’ah al-Mu’ashirah (2016). Buku terakhir
ini lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 2017 menjadi Islam
and Humanity: Consequence of Contemporary Reading.
Nah, teori limit Syahrur itu dibangun berdasar
asumsi. Bahwa risalah Nabi Muhammad SAW itu adalah risalah universal dan terus
relevan (sesuai), fleksibel, dinamis, dan selalu terbarui (mutajaddid) sejalan
dengan dinamika (pergerakan) zaman. Sholih li kull zaman wa makan,
istilahnya. Sifat lurus dan pasti (istiqomah) serta lentur (hanifiyyah) adalah
kunci utama yang mesti dipakai untuk memahami risalah Nabi.
Berdasar Qur’an Surat ke-5,
Al-Maidah ayat 161, Syahrur berpendapat bahwa karakter agama Islam itu selalu
ada dialektika istiqomah dan hanifiyyah. Ini memicu jutaan
kemungkinan dalam penetapan hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
di setiap ruang dan waktu.
Berdasar pada QS. Al-An’am[6] ayat
79, menurut Syahrur agama yang hanif itu idealnya selaras dengan sifat
alam. Yaitu lentur, fleksibel, dan dinamis. Lantas disebutlah sebagai mutaghayyarat.
Alias berarti dinamika dan progresifitas. Di tahap ini, sifat istiqamah
berfungsi mengarahkan kelenturan agama supaya menemukan ‘kebenaran dasar’
kehidupan yang telah ditetapkan.
Melalui dialektika dua sifat
tersebut, menurut Syahrur hukum Islam akan selalu menemukan relevansinya kapan
pun dan dimana pun. Nah, berdasar pada QS. Al-Nisa’[4] ayat 13 – 14, serta
dialektika dua sifat tersebut, Syahrur lantas membangun teori limitnya itu.
Bagi Syahrur, yang berotoritas menetapkan batasan-batasan hukum adalah Nabi dan
Rasul. Landasannya adalah kalimat ‘tilka hududullah’ (Itulah batas-batas
Allah).
Sedangkan Nabi Muhammad sendiri,
dianggap hanya sebagai pelopor ijtihad. Juga tidak memiliki otoritas penuh. Maksudnya,
karena hukum-hukum yang dihasilkan Nabi Muhammad itu bersifat temporal (sementara
sesuai situasi dan kondisinya) dan terikat oleh tempat dan waktu (lokal saat
itu), maka manusia masih mempunyai ruang gerak untuk berijtihad lebih lanjut.
Ini mirip dengan klasifikasi yang
pernah dilakukan oleh Syuhudi Ismail untuk memahi Hadis-Hadis Nabi. Yaitu muatan
hukum itu ada yang lokal temporal. Karenanya kesimpulan hukumnya bisa berubah
karena berubahnya tempat, waktu, situasi, dan kondisinya—ketupat (keadaan,
waktu, dan tempat). Ada juga yang global universal. Biasanya ini terkait dengan
ibadah-ibadah mahdhah ritual. Sedangkan Syahrur, menerapkannya pada ayat-ayat
Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar