Jumat, 30 November 2018

UMAR SANG JAGOAN ISLAM


PERINGATAN MAULID 14 – 1440 H
           
Kedua utusan yang ditolak oleh raja Negus itu kembali ke Mekah. Tahu itu, pihak Quraisy cemas dan jengkel. Mereka pun meningkatkan tekanan dan penyiksaan kepada kaum mukmin. Sebagian besar di bawah arahan Abu Jahl dan keponakannya, Umar—orang yang paling keras dan sangat patuh menjalankan instruksinya.
Saat itu, Umar berusia 26 tahun—pemuda keras kepala, tidak mudah gentar, dan sangat tegas. Meski begitu, tak seperti pamannya, Umar orang saleh. Kesalehan itulah menjadi motivasi utamanya menentang agama baru itu. Khaththab, ayah Umar, telah membawanya menghormati Ka’bah dan menghormati segala yang berhubungan dengan berhala—sebuah hal suci yang tak boleh dipertanyakan apalagi diubah.
Kaum Quraisy dulunya bersatu. Tapi kini Mekah menjadi sebuah kota dengan dua agama dan dua komunitas. Ia melihat dengan jelas bahwa penyebab keonaran ini hanya satu. Lenyapkan penyebab keonaran itu, maka segalanya akan kembali seperti semula. Nah, kembalinya dua utusan yang gagal dari Abyssinia itu menjadi momentum kemarahan Umar untuk segera beraksi.
Setelah mengambil pedangnya, Umar keluar dari rumahnya. Ia bertemu dengan Nu’aym ibn Abd Allah, salah seorang dari kaumnya. Nu’aym telah memeluk Islam. Tapi ia merahasiakannya karena takut kepada Umar dan kaumnya yang lain. Ekspresi kemurkaan di wajah Umar, mendorongnya untuk bertanya. “Aku akan menemui Muhammad. Membalas dendam terhadap orang yang telah memecah belah Quraisy menjadi dua golongan. Aku akan membunuhnya,” jawab Umar.
Nu’aym berusaha untuk menghentikannya dengan mengatakan bahwa dia sendiri pasti akan terbunuh. Tapi, ketika melihat Umar tidak gentar, ia memikirkan cara lain yang paling tidak bisa menundanya. “Hai Umar. Mengapa engkau tidak pergi lebih dahulu kepada keluargamu dan membereskan mereka?” Kata Nu’aym.
“Ada apa dengan keluargaku?” tanya Umar balik.
“Saudara iparmu, Sa’id dan saudara perempuanmu, Fathimah adalah pengikut agama Muhammad. Jika engkau membiarkan mereka demikian, maka martabatmu bisa jatuh,” jelas Nu’aym. Tanpa sepatah kata pun Umar kembali dan langsung menuju rumah saudara perempuannya itu.
Di sana, ada seorang teman yang miskin dari Zuhrah, bernama Khabbab, yang sering datang untuk membacakan Alquran kepada Sa’id dan Fathimah. Ia bersama mereka sedang membacakan surat Thaha yang baru saja diturunkan. Ketika mendengar suara Umar mendekat dan dengan marah memanggil saudara perempuannya itu, Khabbab bersembunyi di pojok rumah. Sedangkan Fathimah menyembunyikan lembaran itu di balik bajunya.
Umar telah mendengar pembacaan mereka. Umar bertanya, “Apa yang kudengar tadi?” Mereka berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar apa pun. “Aku mendengarnya,” kata Umar. “Dan aku mendengar kalian berdua telah menjadi pengikut Muhammad.” Umar lantas mendekati Sa’id dan menyerangnya. Ketika Fathimah melindungi suaminya, Umar menamparnya sampai terluka.
“Memang benar,” kata mereka. “Kami adalah muslim. Kami beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Lakukanlah apa yang engkau inginkan!” Luka Fathimah berdarah. Begitu Umar melihat darah itu, ia menyesal. Ia berubah dan berkata kepadanya, “Serahkan lembaran-lembaran yang kalian baca itu kepadaku. Agar aku dapat membaca apa yang telah diajarkan Muhammad.”
Seperti halnya mereka, Umar bisa membaca. Tapi, ketika ia meminta kertas itu, Fathimah berkata, “Kami khawatir menyerahkan lembaran itu kepadamu.”
“Jangan takut,” kata Umar. Ia melepaskan pedangnya dan berjanji, demi Tuhan, lembaran itu akan dikembalikan setelah dia baca. Fathimah melihat Umar telah melunak. Ia pun sangat mengharapkan Umar memeluk agama Islam.
“Wahai saudaraku. Engkau tidak suci. Karena engkau penyembah berhala. Lembaran ini hanya boleh disentuh orang yang suci,” jelas Fathimah.
Umar segera pergi dan membasuh dirinya. Kemudian Fathimah menyerahkan kepadanya lembaran yang dibuka dengan kata-kata Thaha. Umar mulai membacanya. Setelah selesai membaca lembaran itu, ia berkata, “Betapa indah dan agungnya kata-kata ini!” Ketika Khabbab mendengar ucapannya, ia keluar dari tempat persembunyiannya.
“Umar. Aku berharap Allah telah memilihmu sesuai doa Nabi yang kudengar kemarin dipanjatkan, “Ya Allah. Jayakan Islam dengan salah satu dari dua orang, Abu al Hakim bin Hikam atau Umar bin Khaththab.”
“Hai Khabbab,” jawab Umar, “Dimana sekarang Muhammad berada? Aku ingin bertamu dengan dia dan aku akan masuk Islam.” Khabbab berkata bahwa Nabi berada di rumah Arqam, di dekat gerbang Shafa bersama beberapa sahabatnya. Umar menghunuskan kembali pedangnya dan pergi ke Shafa. Ia mengetuk rumah Arqam dan mengatakan siapa dirinya. Mereka telah diberi peringatan oleh Nu’aym, sehingga kedatangannya sangat tak diharapkan.
Tapi mereka surprised mendengar nada suara Umar yang melembut. Salah seorang sahabat menuju pintu. Mengintip melalui sebuah celah dan kembali lagi dengan ketakutan, “Wahai Rasulullah. Benar. Umar datang dengan menghunus pedangnya.”
“Biarkan ia masuk,” kata Hamzah. “Jika datang dengan maksud baik, kita akan membalasnya baik-baik. Jika ia bermaksud buruk, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri!” Nabi setuju bahwa beliau harus menemuinya. Beliau menyambut Umar dengan memegang sabuknya dan mendorongnya ke tengah ruangan.
“Apa maksud kedatanganmu ke sini, hai putra Khaththab? Tampaknya engkau belum sadar juga. Rupanya engkau menanti tamparan Allah!” kata Nabi.
“Wahai Rasulullah,” kata Umar, “aku datang kepadamu untuk menyatakan keimananku kepada Allah, dan kepada rasul-Nya serta segala yang datang dari-Nya!”
“Allahu akbar (Allah Maha Besara),” seru Nabi mendengar ucapan tersebut. Semua yang hadir di rumah itu tahu bahwa Umar telah masuk Islam. Mereka pun semua gembira.
Umar tidak menyembunyikan keislamannya. Ia bermaksud mengumumkan kepada setiap orang. Terutama kepada mereka yang paling memusuhi Nabi. Beberapa tahun kemudian, ia berkata, “Ketika aku telah memeluk Islam malam itu, aku berpikir, siapa penduduk Mekah yang paling kejam memusuhi rasulullah? Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku telah menjadi muslim! Jawabanku adalah Abu Jahl. Maka keesokan paginya aku pergi dan mengetuk pintunya.
“Abu Jahl keluar dan berkata, ‘Selamat datang putra saudaraku! Apa maksud kedatanganmu ke sini?’ Aku menjawab, ‘Aku datang untuk memberitahukan bahwa aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad. Aku juga bersaksi atas kebenaran yang ia ajarkan.’ ‘Tuhan melaknatmu!’ katanya, ‘dan semoga laknatnya juga pada berita yang engkau bawa!’, kemudian ia membanting pintunya di hadapanku.”

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





Rabu, 28 November 2018

PEMIMPIN NON MUSLIM YANG BAIK


PERINGATAN MAULID 13 – 1440 H

Mengetahui penyiksaan yang dialami pengikutnya, Nabi bersabda, “Jika kalian pergi ke negeri Abyssinia, di sana kalian akan dapati seorang raja yang adil dan bijaksana. Suatu negeri yang kalian bebas dan leluasa dalam beragama. Sampai suatu saat Allah memberikan jalan yang dapat menghindarkan penderitaan yang kalian tanggung sekarang ini.” Beberapa sahabat beliau pun berangkat ke Abyssina.
Para pengungsi itu sekitar delapan puluh orang, selain anak kecil. Mereka disambut baik di Abyssinia. Diberi kebebasan penuh untuk beribadah. Mereka tidak berangkat bersamaan. Tetapi secara rahasia dan per kelompok kecil.
Para pemimpin Quraisy tidak membiarkan pengungsi itu tenang di Abyssinia. Mereka lalu menyiapkan sejumlah hadiah berharga bagi orang-orang Abyssinia. Kerajinan kulit yang mereka hadiahkan cukup untuk menyuap semua jenderal Negus. Ada pula hadiah lain yang berlimpah. Kemudian dengan hati-hati mereka memilih dua orang utusan. Salah satunya adalah Amr ibn al Ash, dari Bani Abd al Syam.
Kaum Qurasiy mendekati setiap jenderal secara terpisah, memberinya hadiah, sambil berkata, “Beberapa pria dan wanita bodoh dari kaum kami telah melarikan diri ke kerajaan ini. Mereka telah meninggalkan agama mereka. Bukan untuk memeluk agama Anda, tapi agama yang mereka ciptakan, yang tak Anda maupun kami kenal. Para pemuka kaum mereka telah mengutus kami kepada raja Anda agar beliau berkenan memulangkan mereka. Maka, ketika kami menuturkan tentang mereka kepada beliau, nasihatilah beliau untuk menyerahkan mereka kepada kami tanpa menanyakan apa pun terhadap mereka. Karena kaum mereka melihat yang terbaik bagi mereka.”
Semua jenderal setuju. Dua utusan Quraisy itu pun memberikan hadiah kepada Negus, dan menambahkan, “Para pemuka kaum mereka, yang juga ayah, paman, dan kerabat mereka, memohon kepadamu agar mereka dikembalikan.”
Para jenderal itu hadir di pertemuan tersebut. Mereka serentak mendesak Negus agar permintaan kedua utusan itu dipenuhi. Namun Negus tidak berkenan dan berkata, “Tidak! Demi Tuhan. Mereka tidak boleh dikhianati. Mereka tidak akan aku serahkan, sebelum aku memanggil mereka dan menanyakan perihal mereka seperti yang dikemukakan utusan ini.”
“Jika memang benar seperti yang dikatakan,” lanjut Negus, “maka mereka akan kuserahkan untuk dibawa kembali kepada kaum mereka masing-masing. Tapi jika tidak, aku akan menjadi pelindung yang baik selama mereka meminta perlindunganku.”
Negus kemudian memanggil para sahabat Nabi itu. Pada saat yang sama, ia mengumpulkan para pendetanya. Para pendeta ini membawa kitab-kitab suci mereka yang diletakkan di sekitar kursi raja. Amr dan rekannya berusaha mencegah pertemuan Negus dan para pengungsi tersebut.
Orang Abyssinia adalah penganut Kristen. Banyak yang saleh. Mereka telah dibaptis, menyembah Tuhan yang satu, dan melaksanakan dengan khusyuk sakramen di Eucharist. Para pendeta itu kagum ketika mereka tahu bahwa para pengungsi itu lebih mirip mereka dibanding utusan Quraisy yang telah lebih dulu menghadap.
Tidak semua Nabi haruskan berhijrah. Keluarga Utsman sempat akan membatalkan kepergiannya, namun Nabi mengizinkannya pergi dan membawa serta Ruqayyah. Kehadiran mereka menjadi sumber kekuatan bagi masyarakat di pengasingan itu. Pasangan lainnya adalah Ja’far dan istrinya, Asma. Keduanya sangat dilindungi oleh Abu Thalib. Dan Ja’far menjadi juru bicara yang fasih. Kepribadiannya juga paling unggul.
Suatu hari Nabi pernah berkata kepada Ja’far, “Engkau mirip denganku dalam penambilan dan karakter.” Nabi memilih Ja’far untuk memimpin para pengungsi itu. Daya tarik serta kecerdasannya diperkuat oleh Mush’ab dari Abd al Dar—pemuda yang dipercaya Nabi untuk sebuah misi penting karena bakat alamiah yang dimilikinya.
Orang terkenal berikutnya adalah pemuda Bani Makhzum, Syammas—ibunya adalah saudara Utbah. Namanya yang berarti, ‘petugas gereja Kristen’, disandangkan kepadanya karena Mekah pernah dikunjungi tokoh Kristen yang terhormat dengan jabatan itu—lelaki sangat tampan yang menimbulkan kekaguman. Lantas Utabah berkata, “Akan kutunjukkan kepadamu seorang Syammas yang lebih tampan darinya. Lalu ia pergi membawakan keponakannya itu ke hadapan mereka.
Saat itu, Zubayr, putra Shafiyyah, juga hadir. Begitu juga para sepupu Nabi yang lain: Thulayb putra Arwa, dua putra Umaymah, Abd Allah ibn Jahsy dan Ubaydillah serta isterinya, Umm Habibah; serta dua putra Barrah, Abu Salamah dan Abu Sabrah—keduanya beserta isteri masing-masing. Umm Habibah adalah wanita tercantik di antara para pengungsi pertama ini.
Setelah mereka berkumpul semua, Negus berkata kepada mereka, “Agama apa yang membuat kalian berpisah dari kaum kalian, sedangkan kalian tidak memeluk agamaku, juga tidak memeluk agama suku-suku di sekitar kami?”
Ja’far menjawab, “Wahai Raja! Dulu, kami adalah orang-orang jahiliah, menyembah berhala-berhala, memakan daging yang najis, melakukan maksiat, dan pihak yang kuat menerkam yang lemah. Begitulah kami sampai Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami, seorang yang garis keturunannya kami ketahui, juga kejujuran, integritas, dan penghargaannya terhadap kebenaran.
“Ia mengajak kami kepada Allah, bersaksi akan keesaan-Nya, menyembah-Nya, dan meninggalkan batu-batu serta berhala-berhala yang kami dan orang tua kami sembah. Ia memerintahkan kami untuk berkata benar, memenuhi janji, menghormati ikatan kekerabatan, dan hak-hak tetangga kami. Ia melarang kami melakukan kejahatan dan pertumpahan darah. Karenanya, kami hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, menjauhi apa yang diharamkannya dan melakukan apa yang dibolehkan-Nya.
“Karena alasan ini kamu kami menentang dan menyiksa kami agar murtad dari agama kami dan tidak lagi menyembah Allah serta kembali menyembah berhala. Karena itu juga kami datang ke negeri Tuan, memilih Anda dari yang lain. Dan kami puas dengan perlindungan Anda. Harapan kami, wahai raja, di sini, bersamamu, kami tidak diperlakukan sewenang-wenang.”
Penerjemah kerajaan menerjemahkan semua perkataan Ja’far. Negus kemudian bertanya apakah ada wahyu ilahi yang dibawa nabi mereka. Saat Ja’far mengiyakan, Negus berkata, “Bacakanlah kepadaku!” Segera Ja’far membaca sebagian Surah Maryam, yang baru diturunkan—tidak lama sebelum keberangkatan mereka seperti berikut.
QS. Maryam[19]: 16-21
Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami (Jibril) kepadanya. Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam menjawab, "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" Jibril berkata, "Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.”
Negus menangis. Begitu juga para pendetanya, saat mendengarnya. Mereka menangis kembali saat ayat itu diterjemahkan. “Ini benar-benar berasal dari sumber yang sama seperti yang dibawa oleh Yesus,” kata Negus. Kemudian ia berkata kepada para utusan Quraisy, “Engkau boleh pergi! Karena demi Tuhan, aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu. Mereka tidak boleh dikhianati.”
Tapi ketika kedua utusan itu keluar dari istana, Amr berkata kepada temannya, “Besok akan aku ceritakan kepada Negus suatu hal yang dapat menghancurkan kemakmuran mereka ini sampai ke akar-akarnya. Aku akan mengatakan kepadanya bahwa mereka menyebut Yesus putra Maryam adalah seorang hamba.” Maka, keesokan paginya ia menghadap Negus dan berkata, “Wahai Raja! Mereka telah mengucapkan kebohongan besar tentang Yesus putra Maryam. Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakana tentang Yesus.
Karena itu, para pengungsi itu dipanggil kembali untuk menghadap Negus dan menceritakan kepadanya pendapat mereka tentang Yesus. Mereka serta-merta cemas karena persoalan seperti ini tidak pernah mereka alami. Mereka saling berkonsultasi satu sama lain tentang jawabannya, meskipun mereka semua tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mengatakan apa yang telah Allah firmankan.
Ketika para pengungsi tersebut masuk istana, dan pertanyaan itu ditujukan kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang Yesus putra Maryam?” Ja’far menjawabnya dengan baik bahwa Yesus adalah hamba sekaligus rasul-Nya. Setelah mendengar jawaban tersebut, Negus mengizinkan mereka pergi sesuka hati sekaligus menjamin keamanan mereka di negeri itu. Ia pun tidak menerima hadiah dari Amr dan temannya. Lantas keduanya kembali ke Mekah dengan rasa malu.

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





Senin, 26 November 2018

PERTANYAAN RABI YAHUDI

PERINGATAN MAULID 12 – 1440 H

Kaum Quraisy memutuskan untuk mengutus dua orang ke Yatsrib untuk berkonsultasi dengan para rabi Yahudi. “Tanyakan kepada mereka tentang Muhammad. Gambarkan siapa dia, dan ceritakan apa yang dikatakannya. Karena mereka adalah para Ahli Kitab pertama dan mengetahui perihal nabi yang tak kita ketahui,” kata mereka kepada dua utusan tersebut.
“Tanyakan kepadanya tentang tiga hal! Setelah itu, kami akan memberikan informasi kepada kalian. Jika ia menceritakan kepada kalian tentang tiga hal itu, maka ia memang seorang nabi yang diutus Tuhan. Tapi jika tidak, maka ia pendusta. Tanyakan kepadanya kisah sekelompok pemuda yang meninggalkan kaum mereka pada zaman dahulu, dan bagaimana kejadian yang menimpa mereka. Sebab kisah mereka adalah sebuah kisah yang mengagumkan,” jawab para rabi Yahudi.
“Tanyakan juga berita-berita mengenai petualang yang sampai pada ujung bumi di timur dan di barat. Lalu tanyakanlah tentang ruh. Apa itu ruh? Jika ia menceritakan kepada kalian ketiga hal tersebut, maka ikutilah ia. Sebab, ia seorang nabi,” lanjutnya.
Ketika kedua utusan itu kembali ke Mekah dengan membawa kabar tersebut, para pemimpin Quraisy mendatangi Nabi. Lantas menanyakan ketiga pertanyaan itu. Nabi mengatakan, “Besok akan kujelaskan kepada kalian,” beliau tidak mengucapkan “insya Allah”. Ketika mereka datang menuntut jawaban, beliau tak dapat menjawabnya.
Begitulah hari demi hari berlalu. Hingga lima belas malam, beliau masih belum mendapatkan wahyu. Jibril juga tidak pernah datang sejak mereka mengajukan pertanyaan kepada Nabi itu. Masyarakat Mekah mengejek dan menantangnya. Beliau pun gusar dan sangat sedih dengan apa yang mereka ucapkan, sebab beliau belum menerima bantuan yang diharapkan.
Kemudian, Jibril membawakan sebuah wahyu yang mengingatkan Nabi yang sedih karena apa yang dikatakan kaumnya. Jibril memberi beliau jawaban ketiga pertanyaan tersebut. Penantian panjang beliau dikisahkan dalam kalimat, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali mengucapkan insya Allah’ (QS.18:23-24).”
Kisah sekelompok pemuda yang meninggalkan kaum mereka itu sering disebut sebagai kisah orang-orang Ephesus yang tidur. Karena pada pertengahan abad ketiga Masehi, ada beberapa pemuda yang beriman dan menyembah Tuhan Yang Esa, pada saat kaum mereka menjadi penyembah berhala. Jika tidak mengikuti kaumnya itu, mereka akan dihukum. Nah, untuk menghindari hukuman tersebut, mereka bersembunyi di dalam sebuah gua. Alquran lebih rinci lagi (QS.18: 9-25).
Ada pun pertanyaan kedua, petualang besar itu bernama Dzulqarnayn, pemilik dua tanduk. Wahyu menyebutkan bahwa perjalanannya ke barat dan ke timur jauh, dan kemudian—menjawab lebih dari yang ditanyakan—menceritakan perjalanan ketiga yang misterius ke suatu tempat yang terletak di antara dua gunung. Masyarakat meminta Dzulqarnayn agar membuat sebuah penghalang yang dapat melindungi mereka dari Ya’juj dan Ma’juj yang akan merusak negeri mereka.
Menjawab pertanyaan ketiga, wahyu menyatakan bahwa persoalan ruh itu di luar jangkauan pikiran manusia. “Dan, mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’ (QS.17: 85).”
Para pemuka Quraisy tidak mau terikat dengan nasihat para rabi itu. Para rabi itu sendiri tidak mau mengakui Nabi. Meskipun jawaban beliau melampaui yang mereka harapkan. Namun, jawaban tersebut membuat pihak-pihak lain masuk Islam. Mereka merasa semakin terancam. Sehingga mereka lebih keras lagi melancarkan penganiayaan dan perlakuan buruk terhadap para pemeluk Islam.
Setiap kabilah sepakat menghukum orang-orang muslim dari pihak mereka sendiri. Mereka akan memenjarakan dan menyiksa kaum muslim dengan pukulan, membiarkan mereka dalam kelaparan dan kehausan. Kemudian diseret ke tanah gersang di Mekah saat terik panas matahari berada pada puncaknya. Supaya mereka keluar dari Islam.
Umayyah, pemimpin Jumah, memiliki seorang budak Afrika bernama Bilal, yang telah menjadi mukmin. Pada siang hari, Umayyah menyeretnya ke tempat terbuka. Ia memakunya ke tanah sambil menindihkan sebongkah batu besar di atas dadanya. Ia bersumpah bahwa budaknya itu akan tetap diperlakukan seperti itu sampai mati, atau sampai murtad dari Nabi dan kembali menyembah al Lat dan al Uzzah.
Selama menahan penyiksaan tersebut, Bilal mengucapkan, “Ahad! Ahad!” saat itulah, kebetulan Waraqah lewat dan berkata, “Sesungguhnya Dia itu Ahad! Ahad, wahai Bilal.” Kemudian ia menghadap ke Umayyah dan berkata, “Aku bersumpah, demi Tuhan! Jika engkau membunuhnya maka aku akan menjadikan kuburannya sebagai tempat suci.”
Tak semua orang Quraisy tinggal di tengah-tengah kabilahnya sendiri. Abu Bakar menempatii sebuah rumah di tengah pemukiman Bani Jumah. Nabi biasa mengunjungi Abu Bakar di sore hari. Sebagian risalah Nabi di hadapan Abu Bakar. Bilal masuk Islam pun melalui Abu Bakar. Ketika melihat bilal disiksa, ia berkata kepada Umayyah, “Tidak takutkah engkau kepada Allah memperlakukan orang lemah ini seperti ini?”
Umayyah  menyahut, “Engkaulah yang telah memengaruhinya. Karenanya, selamatkanlah ia dari apa yang engkau saksikan.”
“Aku akan membebaskannya,” jawab Abu Bakar. “Aku mempunyai seorang budak hitam yang lebih tegap dan lebih kuat dari dia. Orang dari agamamu. Aku akan serahkan dia kepadamu sebagai ganti Bilal.” Umayyah setuju. Kemudian Abu Bakar membawa Bilal, lantas membebaskannya.
Abu Bakar juga telah membebaskan enam orang lainnya. Salah satunya adalah Amir bin Fuhayrah. Ia orang yang sangat teguh beragama, salah seorang pemeluk Islam awal. Amir seorang penggembala. Setelah dibebaskan, Amir bertanggung jawab atas hewan piaraan Abu Bakar. Budak lain yang dibebaskan adalah budak wanita milik Umar. Budak ini telah masuk Islam, dan Umar memukulnya supaya dia murtad. Abu Bakar membelinya dan segera membebaskannya.
Abu Jahl adalah termasuk penyiksa yang paling kejam. Jika ada pemeluk Islam yang memiliki keluarga yang berkuasa untuk melindunginya, Abu Jahl hanya akan menghinanya. Berjanji akan menjatuhkan reputasinya. Kalau pedagang, maka Abu Jahl mengancam akan menghentikan perdagangannya dan mengatur pemboikotan massal sampai bangkrut.
Jika orang itu lemah, tidak mempunyai pelindung, dan berasal dari kabilahnya, maka Abu Jahl akan menindasnya. Abu Jahl memiliki berbagai sekutu yang berkuasa di beberapa kabilah lain. Ia mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama terhadap pemeluk Islam yang lemah dan tidak memiliki pelindung dari kabilah mereka sendiri.
Melalui dia warga kabilahnya menyiksa tiga orang sekutu mereka yang lemah: Yasir, Sumayyah, dan anak mereka yang bernama Ammar. Mereka tidak mau murtad dari Islam. Sumayyah akhirnya meninggal.
Ada pun beberapa korban dari Makhzum dan kabilah lainnya tidak dapat menahan siksaan. Penyiksa akan mengurangi penganiayaannya jika mereka setuju terhadap apa yang dikatakan, “Bukankah al Lat dan al Uzza tuhan-tuhanmu di samping Allah?” Mereka menjawab, “Iya.” Dan saat ada seekor serangga terbang, “Bukankah serangga ini tuhanmu selain Allah?” Mereka menjawab, “ya,” semata-mata untuk menghindari penderitaan yang tak dapat ditahan lagi.
Pengakuan tersebut hanya di mulut. Bukan dari hati. Yang melakukan itu, tidak bisa lagi mengamalkan ajaran Islam, melainkan sembunyi-sembunyi. Sebagian mereka tak punya privasi lagi. Bagi mereka, ada contoh wahyu yang baru saja diturunkan. Wahyu itu berkisah tentang para pemuda yang meninggalkan kaum mereka dan melarikan diri di jalan Tuhan dibanding mengalah untuk menyembah tuhan-tuhan lainnya..

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...