PERINGATAN
MAULID 14 – 1440 H
Kedua
utusan yang ditolak oleh raja Negus itu kembali ke Mekah. Tahu itu, pihak
Quraisy cemas dan jengkel. Mereka pun meningkatkan tekanan dan penyiksaan
kepada kaum mukmin. Sebagian besar di bawah arahan Abu Jahl dan keponakannya,
Umar—orang yang paling keras dan sangat patuh menjalankan instruksinya.
Saat
itu, Umar berusia 26 tahun—pemuda keras kepala, tidak mudah gentar, dan sangat
tegas. Meski begitu, tak seperti pamannya, Umar orang saleh. Kesalehan itulah
menjadi motivasi utamanya menentang agama baru itu. Khaththab, ayah Umar, telah
membawanya menghormati Ka’bah dan menghormati segala yang berhubungan dengan
berhala—sebuah hal suci yang tak boleh dipertanyakan apalagi diubah.
Kaum
Quraisy dulunya bersatu. Tapi kini Mekah menjadi sebuah kota dengan dua agama
dan dua komunitas. Ia melihat dengan jelas bahwa penyebab keonaran ini hanya
satu. Lenyapkan penyebab keonaran itu, maka segalanya akan kembali seperti
semula. Nah, kembalinya dua utusan yang gagal dari Abyssinia itu menjadi
momentum kemarahan Umar untuk segera beraksi.
Setelah
mengambil pedangnya, Umar keluar dari rumahnya. Ia bertemu dengan Nu’aym ibn
Abd Allah, salah seorang dari kaumnya. Nu’aym telah memeluk Islam. Tapi ia
merahasiakannya karena takut kepada Umar dan kaumnya yang lain. Ekspresi
kemurkaan di wajah Umar, mendorongnya untuk bertanya. “Aku akan menemui
Muhammad. Membalas dendam terhadap orang yang telah memecah belah Quraisy
menjadi dua golongan. Aku akan membunuhnya,” jawab Umar.
Nu’aym
berusaha untuk menghentikannya dengan mengatakan bahwa dia sendiri pasti akan
terbunuh. Tapi, ketika melihat Umar tidak gentar, ia memikirkan cara lain yang
paling tidak bisa menundanya. “Hai Umar. Mengapa engkau tidak pergi lebih
dahulu kepada keluargamu dan membereskan mereka?” Kata Nu’aym.
“Ada
apa dengan keluargaku?” tanya Umar balik.
“Saudara
iparmu, Sa’id dan saudara perempuanmu, Fathimah adalah pengikut agama Muhammad.
Jika engkau membiarkan mereka demikian, maka martabatmu bisa jatuh,” jelas
Nu’aym. Tanpa sepatah kata pun Umar kembali dan langsung menuju rumah saudara
perempuannya itu.
Di
sana, ada seorang teman yang miskin dari Zuhrah, bernama Khabbab, yang sering
datang untuk membacakan Alquran kepada Sa’id dan Fathimah. Ia bersama mereka
sedang membacakan surat Thaha yang baru saja diturunkan. Ketika mendengar suara
Umar mendekat dan dengan marah memanggil saudara perempuannya itu, Khabbab
bersembunyi di pojok rumah. Sedangkan Fathimah menyembunyikan lembaran itu di
balik bajunya.
Umar
telah mendengar pembacaan mereka. Umar bertanya, “Apa yang kudengar tadi?”
Mereka berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar apa pun. “Aku
mendengarnya,” kata Umar. “Dan aku mendengar kalian berdua telah menjadi
pengikut Muhammad.” Umar lantas mendekati Sa’id dan menyerangnya. Ketika
Fathimah melindungi suaminya, Umar menamparnya sampai terluka.
“Memang
benar,” kata mereka. “Kami adalah muslim. Kami beriman kepada Allah dan
rasul-Nya. Lakukanlah apa yang engkau inginkan!” Luka Fathimah berdarah. Begitu
Umar melihat darah itu, ia menyesal. Ia berubah dan berkata kepadanya,
“Serahkan lembaran-lembaran yang kalian baca itu kepadaku. Agar aku dapat
membaca apa yang telah diajarkan Muhammad.”
Seperti
halnya mereka, Umar bisa membaca. Tapi, ketika ia meminta kertas itu, Fathimah
berkata, “Kami khawatir menyerahkan lembaran itu kepadamu.”
“Jangan
takut,” kata Umar. Ia melepaskan pedangnya dan berjanji, demi Tuhan, lembaran
itu akan dikembalikan setelah dia baca. Fathimah melihat Umar telah melunak. Ia
pun sangat mengharapkan Umar memeluk agama Islam.
“Wahai
saudaraku. Engkau tidak suci. Karena engkau penyembah berhala. Lembaran ini
hanya boleh disentuh orang yang suci,” jelas Fathimah.
Umar
segera pergi dan membasuh dirinya. Kemudian Fathimah menyerahkan kepadanya
lembaran yang dibuka dengan kata-kata Thaha. Umar mulai membacanya. Setelah
selesai membaca lembaran itu, ia berkata, “Betapa indah dan agungnya kata-kata
ini!” Ketika Khabbab mendengar ucapannya, ia keluar dari tempat
persembunyiannya.
“Umar.
Aku berharap Allah telah memilihmu sesuai doa Nabi yang kudengar kemarin
dipanjatkan, “Ya Allah. Jayakan Islam dengan salah satu dari dua orang, Abu al
Hakim bin Hikam atau Umar bin Khaththab.”
“Hai
Khabbab,” jawab Umar, “Dimana sekarang Muhammad berada? Aku ingin bertamu
dengan dia dan aku akan masuk Islam.” Khabbab berkata bahwa Nabi berada di
rumah Arqam, di dekat gerbang Shafa bersama beberapa sahabatnya. Umar
menghunuskan kembali pedangnya dan pergi ke Shafa. Ia mengetuk rumah Arqam dan
mengatakan siapa dirinya. Mereka telah diberi peringatan oleh Nu’aym, sehingga
kedatangannya sangat tak diharapkan.
Tapi
mereka surprised mendengar nada suara Umar yang melembut. Salah seorang sahabat
menuju pintu. Mengintip melalui sebuah celah dan kembali lagi dengan ketakutan,
“Wahai Rasulullah. Benar. Umar datang dengan menghunus pedangnya.”
“Biarkan
ia masuk,” kata Hamzah. “Jika datang dengan maksud baik, kita akan membalasnya
baik-baik. Jika ia bermaksud buruk, kita akan membunuhnya dengan pedangnya
sendiri!” Nabi setuju bahwa beliau harus menemuinya. Beliau menyambut Umar
dengan memegang sabuknya dan mendorongnya ke tengah ruangan.
“Apa
maksud kedatanganmu ke sini, hai putra Khaththab? Tampaknya engkau belum sadar
juga. Rupanya engkau menanti tamparan Allah!” kata Nabi.
“Wahai
Rasulullah,” kata Umar, “aku datang kepadamu untuk menyatakan keimananku kepada
Allah, dan kepada rasul-Nya serta segala yang datang dari-Nya!”
“Allahu
akbar (Allah Maha Besara),” seru Nabi mendengar ucapan tersebut. Semua yang
hadir di rumah itu tahu bahwa Umar telah masuk Islam. Mereka pun semua gembira.
Umar
tidak menyembunyikan keislamannya. Ia bermaksud mengumumkan kepada setiap
orang. Terutama kepada mereka yang paling memusuhi Nabi. Beberapa tahun
kemudian, ia berkata, “Ketika aku telah memeluk Islam malam itu, aku berpikir,
siapa penduduk Mekah yang paling kejam memusuhi rasulullah? Aku akan menemuinya
dan mengatakan bahwa aku telah menjadi muslim! Jawabanku adalah Abu Jahl. Maka
keesokan paginya aku pergi dan mengetuk pintunya.
“Abu
Jahl keluar dan berkata, ‘Selamat datang putra saudaraku! Apa maksud
kedatanganmu ke sini?’ Aku menjawab, ‘Aku datang untuk memberitahukan bahwa aku
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad. Aku juga bersaksi atas kebenaran
yang ia ajarkan.’ ‘Tuhan melaknatmu!’ katanya, ‘dan semoga laknatnya juga pada
berita yang engkau bawa!’, kemudian ia membanting pintunya di hadapanku.”
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…