Masuknya
Hamzah pada Islam itu membuat kafir Quraisy semakin ragu untuk mengganggu Nabi.
Sementara, mereka menganggap pergerakan Nabi itu akan meruntuhkan kedudukan
tinggi mereka di kalangan bangsa Arab.
Mereka
pun sepakat untuk mengubah taktik dan mengikuti saran yang diajukan oleh
seorang Bani Abd al Syams, ‘Utbah bin Rabi’ah. “Mengapa aku tak menghadap
Muhammad. Dan menawarkan sesuatu yang mungkin dia mau menerimanya? Asalkan dia
mau mengentikan kecamannya terhadap kita, kita akan penuhi apa pun yang dia
inginkan!”
‘Utbah
menawarkan diri untuk tugas itu. Ia adalah sosok yang lebih ramah, lebih
cerdas, dan dapat bekerja sama dibandingkan kebanyakan orang Quraisy. ‘Utbah
juga tak lain adalah cucu ‘Abd Syams, saudara Hasyim. Ia pun segera
meninggalkan majlis dan segera menemui Nabi di dalam Ka’bah.
Kepada
Nabi ‘Utbah berkata, “Putra saudaraku. Engkau berasal dari suku yang mulia dan
garis keturunan yang terhormat. Tapi sekarang, kau membawa masalah besar bagi
kaummu. Engkau telah memecah belah kekerabatan mereka. Mencerca cara hidup
mereka. Mencela agama dan tuhan-tuhan mereka. Serta mengkafirkan nenek moyang
mereka.
“Sekarang,
dengarkan saranku. Mungkin engkau berkenan menerimanya! Jika kau menginginkan
kekayaan, kami bersedia mengumpulkan semua harta kekayaan kami untukmu sampai
engkau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau mencari kemuliaan,
kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami. Kami tidak akan memutuskan
perkara apa pun tanpa persetujuanmu.
“Jika
engkau ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan dirimu sebagai raja kami.
Jika engkau merasa tidak sanggup membebaskan diri dari gangguan setan yang
menghampirimu, kami akan panggilkan seorang tabib. Berapa pun besarnya biaya
yang harus kami tanggung.”
Setelah
‘Utbah selesai berbicara, Nabi menjawab, “Sekarang dengarkan aku hai Abu al
Walid! Nabi lantas membacakan ayat yang baru saja beliau terima: ayat tentang
wahyu itu sendiri, penciptaan langit dan bumi, tentang para nabi dan kaum yang
mengingkari ayat-ayat Allah serta akibat buruk pengingkaran itu, serta kaum
beriman yang dijanjikan perlindungan para malaikat di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.
Nabi
menutup pembacaannya dengan, “Dan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya adalah
malam dan siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan
jangan pula pada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya,
jika kamu menyembah hanya kepada-Nya (QS.41:37).” Beliau langsung bersujud,
lalu berkata, “Engkau telah mendengarkan apa yang kuucapkan, hai Abu al Walid!
Sekarang, semuanya terserah padamu!”
Ketika
‘Utbah kembali pada teman-temannya, mereka terkejut melihat ekspresi wajahnya.
“Apa yang telah terjadi padamu, hai Abu al Walid?” tanya mereka. “Aku telah
mendengarkan pernyataan yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Kalimat itu
bukanlah untaian puisi, demi Tuhan, juga bukan sihir atau ramalan.”
“Hai
kaum Quraisy,” lanjut ‘Utbah, “Dengankanlah aku dan lakukan apa yang kukatakan.
Janganlah kalian menghalangi lelaki ini. Biarkan dia. Karena demi Tuhan, kata-kata
yang kudengarkan darinya akan diterima sebagai berita besar. Jika bangsa Arab
mengalahkannya, kalian akan terbebas darinya berkat pihak lain. Tapi jika dia
menaklukkan bangsa Arab, kedaulatan kalian akan menjadi kedaulatan kalian juga,
kemuliaannya akan menjadi kemuliaan kalian juga, dan kalian akan menjadi orang
yang paling beruntung.”
Ada
salah seorang di antara mereka yang belum puas. Ia mengajak teman-temannya
untuk mengundang Nabi untuk berbicara dan berdebat. Nabi pun mendatanginya
sambil sangat berharap mereka bersedia menerima kebenaran. Tapi harapannya
pudar. Mereka mengulangi lagi tawaran yang telah disampaikan ‘Utbah.
Dengan
mantap Nabi menjawab, “Aku tidak mencari harta kekayaan. Tidak menginginkan
kemuliaan di antara kalian. Tidak berhasrat menjadi raja kalian. Tetapi, Allah
mengutusku sebagai rasul-Nya dan menurunkan kitab suci-Nya kepadaku. Aku
diperintahkan supaya penyampaikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian.
Karena itulah, aku sampaikan ajaran Tuhanku dan nasihat baikku kepada kalian.
Jika kalian mau menerima apa yang kubawa, kalian pasti beruntung di dunia ini
dan di akhirat nanti. Tetapi jika kalian menolak ajaranku, aku akan bersabar
menanti keputusan Allah di antara kita.”
Mereka
menanggapi begini, “Mintalah kepada Tuhanmu agar bukit-bukit yang mengelilingi
kami ini digeser, sehingga tanah kami menjadi datar, serta sungai-sungai
mengalir seperti di Suriah dan Irak. Mintalah kepada Tuhanmu agar nenek moyang
kami dihidupkan kembali, termasuk Qushay, sehingga kami dapat bertanya apakah
yang kau katakan itu benar atau dusta.
“Atau
jika tidak, mintalah sesuatu untuk memenangkan dirimu sendiri. Mintalah kepada
Tuhanmu agar mengutus malaikat yang akan membuktikan kebenaran kata-katamu dan memastikan
kebohongan kami. Dan mintalah kepada-Nya untuk memberi taman-taman, istana,
emas, dan perak, sehingga kami dapat mengetahui ketinggian martabatmu di sisi
Tuhanmu.”
Dengan
tegas Nabi menjawab, “Aku tidak mau meminta semua itu kepada Tuhan. Aku tidak
diutus untuk itu. Tuhan mengutusku untuk memberi peringatan dan kabar gembira.”
Mereka
terus berusaha menjatuhkan Nabi. “Kami mendengar bahwa seorang di Yamamah,
bernama Rahman, sudah mengajarkan semua in kepadamu. Kami tidak akan percaya
kepada Rahman!” kata mereka lagi.
Nabi
tetap diam. Mereka terus saja melanjutkan, “Kini kami bersumpah di
hadapanmu,Muhammad! Demi tuhan, kami tidak akan membiarkanmu tenang. Kami tidak
akan tinggal diam sebelum kami dapat menundukkanmu atau engkau membinasakan
kami!”
Di
antara mereka ada yang menambahkan, “Kami tidak akan mempercayaimu sampai
engkau menunjukkan kepada kami Tuhan dan para malaikat sebagai bukti.” Setelah
mendengarnya, Nabi bangkit.
Saat
Nabi beranjak hendak meninggalkan mereka, Abd Allah, putra Abu Umayah dari Bani
Makhzum, ikut berdiri. Sepupu Nabi ini berkata, “Aku tidak akan mempercayaimu
selamanya sebelum aku melihat sendiri engkau bisa naik mencapai langit,
kemudian turun lagi ke bumi membawa empat malaikat untuk membenarkan
pengakuanmu! Kalau itu terjadi, aku baru mungkin mempercayaimu!”
Mendengar
kata-kata semacam itu dari kerabatnya sendiri, Nabi pulang dengan hati yang
sedih dan pilu. Lebih sedih lagi, kini terbentang jarak yang jauh antara beliau
dan para pemimpin kaumnya.
Sementara
itu, dari kabilah Makhzum, Nabi setidaknya masih punya seorang pengikut. Namanya,
Abu Salamah, putra bibinya, yang bernama Barrah. Abu Salamah mempunyai sepupu
yang kaya raya dari pihak ayahnya, yang bernama Arqam.
Arqam
menemui Nabi, dan mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian ia menyerahkan
rumahnya yang luas yang terletak di dekat bukit Shafa, sebagai tempat kegiatan
Islam. Sejak itu, kaum mukmin memiliki tempat persembunyian di pusat Mekah. Di tempat
itulah mereka dapat bertemu dan salat bersama tanpa takut terlihat atau
diganggu…
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar