Peringatan
Maulid (5 – 1440 Hijriyah)
Di
awal-awal Islam itu, para sahabat Nabi shalat berjamaah dengan
sembunyi-sembunyi. Biasanya di lembah sempit di luar Mekah. Suatu hari,
segerombolan orang musyrik tiba-tiba datang untuk menghalangi mereka shalat
tersebut. Terjadilah perkelahian. Sa’ad dari Zuhrah memukul salah seorang kafir
dengan pelana unta dan melukainya.
Itu
merupakan pertumpahan darah pertama dalam Islam. Setelah kejadian ini, mereka
lebih memilih untuk menahan diri. Tidak melakukan kekerasan, sampai Allah
memerintahkan. Alasannya, Allah senantiasa menyuruh Nabi untuk bersabar. Mereka
pun patuh.
“Dan
bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan. Dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik (QS.73:10)” Selain ayat ini, Allah juga berfirman, “Karena
itu berilah tangguh orang-orang kafir itu meski sebentar (QS.86:17)”
Beberapa
pemimpin Quraisy menghampiri paman Nabi, Abu Thalib. Mereka meminta agar
menghentikan aktivitas keponakannya itu. “Hai Abu Thalib! Engkau memiliki kedudukan
yang tinggi dan terhormat di antara kami. Dan kami pun telah meminta kepadamu
untuk menghentikan ponakanmu itu. Tapi engkau diam saja. Demi Tuhan. Kami tidak
rela ayah kami dihina, cara kami diolok-olok, dan tuhan kami dicaci-maki. Suruhlah
dia berhenti, atau kami akan memerangi kalian berdua!”
Dengan
berat hati, Abu Thalib mengirim pesan tentang ancaman Quraisy itu kepada
ponakannya. “Wahai putra saudaraku. Janganlah engkau bebankan kepadaku apa yang
aku tak sanggup menanggungnya.” Nabi pun menjawab, “Aku bersumpah demi Tuhan!
Sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tak akan meninggalkan dakwah ini sampai Allah memenangkannya atau
aku terbunuh karenanya.”
Setelah
menyatakan itu, Nabi pun berbalik hendak pergi. Namun pamannya memanggilnya
kembali. “Lanjutkanlah. Dan katakanlah apa yang engkau inginkan. Karena demi
Tuhan, apa pun alasannya, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Meski
tak membuahkan hasil, Quraisy tak mudah menyerang Nabi. Sebab, sebagai pemimpin
kabilah, sang paman memiliki kekuasaan untuk memberi perlindungan. Di Mekah
itu, hak-hak pemimpin sangat dihormati. Mereka malah menyusun barisan untuk
menganiaya para pemeluk Islam yang lain yang tak memiliki pelindung.
Musim
haji segera tiba. Quraisy khawatir tuhan-tuhan mereka akan dicaci maki oleh
Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Sangat tidak menguntungkan mereka. Bukan hanya
dari sisi perdagangan, tapi juga kehormatan Quraisy yang selama ini dikenal
sebagai penjaga Tanah Suci. Mereka memberi tahu para peziarah, bahwa Nabi
Muhammad bukan wakil mereka. Namun, para peziarah tersebut malah semakin
tertarik mendengarkan dakwah Nabi.
Sebagian
Quraisy mengusulkan supaya Nabi Muhammad disebut sebagai dukun, orang gila,
penyair, dan yang lain mengusulkan sebagai tukang sihir. Mereka meminta
pertimbangan dari orang yang sangat berpengaruh saat itu, bernama Walid puntra
Mughirah: mana dari julukan-julukan tersebut yang paling pas untuk Nabi
Muhammad.
Awalnya
Walid menolak. Tapi setelah berpikir keras, ia memutuskan bahwa meski Nabi
Muhammad tidak cocok dengan semua julukan itu, ia memiliki satu hal yang sama
dengan yang dianggap penyihir: ia memiliki kekuatan yang bisa memisahkan anak
dari ayahnya, atau dari saudaranya, atau isteri, atau keluarga secara umum.
Karena itu Walid menganjurkan mereka agar menyebarkan tuduhan bahwa Nabi
Muhammad adalah tukang sihir.
Sepangjang
jalan menuju Mekah, harus dijaga. Para peziarah itu mesti diprovokasi supaya
waspada kepada Nabi Muhammad. Sebab Quraisy benar-benar tahu—berdasar pengalaman
mereka—Nabi Muhammad bisa memikat orang-orang yang melihatnya. Sebelum mulai
berdakwah, Muhammad sudah terbukti menjadi sosok yang paling dicintai di Mekah.
Lidahnya begitu fasih dan kehadirannya senantiasa menebarkan aura kemuliaan!
Ada
seorang perampok jalanan dari Bani Ghifar yang bernama Abu Dzarr. Sebuah suku
yang tinggal di barat-laut Mekah, tak jauh dari Laut Merah. Abu Dzarr mendengar
kabar tentang Nabi dan perlawanan kepada beliau. Meski perampok, Abu Dzarr ini
beriman kepada keesaan Tuhan. Ia tak mau hormat pada berhala. Karena mendapat
kabar dari saudaranya, Unays, bahwa ada Nabi yang mendakwahkan keesaan Tuhan,
Abu Dzarr langsung tertarik.
Abu
Dzarr pun berangkat ke Mekah. Ia langsung menuju rumah Nabi dan mendapati beliau
sedang berbaring di serambi rumah dengan wajah ditutupi jubah. Ia pun
membangunkan Nabi dan mengucapkan selamat pagi. “Alaikum salam…,” jawab Nabi.
“Lantunkanlah
ucapanmu,” kata Abu Dzaar.
“Aku
bukan seorang penyair,” jawab Nabi lagi. “Tapi yang kuucapkan adalah Alquran. Dan
Alquran itu bukanlah ucapanku. Melainkan firman Allah.”
“Bacakanlah
kepadaku,” pinta Abu Dzarr. Nabi pun lantas membacakan sebuah surat kepadanya. Saat
itu juga Abu Dzarr bersyahadat, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah utusan-Nya.”
Kebanyakan
orang-orang Bani Ghifar adalah perampok. Setelah mengajarkan Islam kepada Abu
Dzarr, Nabi pun menyuruhnya untuk kembali ke kaumnya dan menunggu perintahnya.
Akhirnya banyak orang yang masuk Islam melalui Abu Dzarr. Abu Dzarr pun tetap
menjadi perampok. Ia merampok Quraisy. Namun, kalau Quraisy itu mau bersyahadat,
Abu Dzarr akan mengembalikan harta mereka.
Persentuhan
dengan Nabi, juga membuat Bani Daws—sebuah suku di pinggiran sebelah barat—berislam.
Thufayl, salah seorang Daws, adalah penyair yang cerdas. Awalnya ia tak mau
mendengarkan Nabi. Sampai menyumpal telinganya dengan bahan katun. Namun akhirnya,
Thufayl sangat terpesona dengan keindahan Alquran. Lantas, ia menyatakan
keimanannya.
“Kembalilah
engkau kepada kaummu. Ajaklah mereka masuk Islam. Dan berlaku baiklah kepada
mereka.” Instruksi Nabi itu dilaksanakan betul oleh Thufayl. Tahun demi tahun,
semakin banyak keluarga Daws yang masuk Islam.
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar