Jumat, 30 November 2018

UMAR SANG JAGOAN ISLAM


PERINGATAN MAULID 14 – 1440 H
           
Kedua utusan yang ditolak oleh raja Negus itu kembali ke Mekah. Tahu itu, pihak Quraisy cemas dan jengkel. Mereka pun meningkatkan tekanan dan penyiksaan kepada kaum mukmin. Sebagian besar di bawah arahan Abu Jahl dan keponakannya, Umar—orang yang paling keras dan sangat patuh menjalankan instruksinya.
Saat itu, Umar berusia 26 tahun—pemuda keras kepala, tidak mudah gentar, dan sangat tegas. Meski begitu, tak seperti pamannya, Umar orang saleh. Kesalehan itulah menjadi motivasi utamanya menentang agama baru itu. Khaththab, ayah Umar, telah membawanya menghormati Ka’bah dan menghormati segala yang berhubungan dengan berhala—sebuah hal suci yang tak boleh dipertanyakan apalagi diubah.
Kaum Quraisy dulunya bersatu. Tapi kini Mekah menjadi sebuah kota dengan dua agama dan dua komunitas. Ia melihat dengan jelas bahwa penyebab keonaran ini hanya satu. Lenyapkan penyebab keonaran itu, maka segalanya akan kembali seperti semula. Nah, kembalinya dua utusan yang gagal dari Abyssinia itu menjadi momentum kemarahan Umar untuk segera beraksi.
Setelah mengambil pedangnya, Umar keluar dari rumahnya. Ia bertemu dengan Nu’aym ibn Abd Allah, salah seorang dari kaumnya. Nu’aym telah memeluk Islam. Tapi ia merahasiakannya karena takut kepada Umar dan kaumnya yang lain. Ekspresi kemurkaan di wajah Umar, mendorongnya untuk bertanya. “Aku akan menemui Muhammad. Membalas dendam terhadap orang yang telah memecah belah Quraisy menjadi dua golongan. Aku akan membunuhnya,” jawab Umar.
Nu’aym berusaha untuk menghentikannya dengan mengatakan bahwa dia sendiri pasti akan terbunuh. Tapi, ketika melihat Umar tidak gentar, ia memikirkan cara lain yang paling tidak bisa menundanya. “Hai Umar. Mengapa engkau tidak pergi lebih dahulu kepada keluargamu dan membereskan mereka?” Kata Nu’aym.
“Ada apa dengan keluargaku?” tanya Umar balik.
“Saudara iparmu, Sa’id dan saudara perempuanmu, Fathimah adalah pengikut agama Muhammad. Jika engkau membiarkan mereka demikian, maka martabatmu bisa jatuh,” jelas Nu’aym. Tanpa sepatah kata pun Umar kembali dan langsung menuju rumah saudara perempuannya itu.
Di sana, ada seorang teman yang miskin dari Zuhrah, bernama Khabbab, yang sering datang untuk membacakan Alquran kepada Sa’id dan Fathimah. Ia bersama mereka sedang membacakan surat Thaha yang baru saja diturunkan. Ketika mendengar suara Umar mendekat dan dengan marah memanggil saudara perempuannya itu, Khabbab bersembunyi di pojok rumah. Sedangkan Fathimah menyembunyikan lembaran itu di balik bajunya.
Umar telah mendengar pembacaan mereka. Umar bertanya, “Apa yang kudengar tadi?” Mereka berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar apa pun. “Aku mendengarnya,” kata Umar. “Dan aku mendengar kalian berdua telah menjadi pengikut Muhammad.” Umar lantas mendekati Sa’id dan menyerangnya. Ketika Fathimah melindungi suaminya, Umar menamparnya sampai terluka.
“Memang benar,” kata mereka. “Kami adalah muslim. Kami beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Lakukanlah apa yang engkau inginkan!” Luka Fathimah berdarah. Begitu Umar melihat darah itu, ia menyesal. Ia berubah dan berkata kepadanya, “Serahkan lembaran-lembaran yang kalian baca itu kepadaku. Agar aku dapat membaca apa yang telah diajarkan Muhammad.”
Seperti halnya mereka, Umar bisa membaca. Tapi, ketika ia meminta kertas itu, Fathimah berkata, “Kami khawatir menyerahkan lembaran itu kepadamu.”
“Jangan takut,” kata Umar. Ia melepaskan pedangnya dan berjanji, demi Tuhan, lembaran itu akan dikembalikan setelah dia baca. Fathimah melihat Umar telah melunak. Ia pun sangat mengharapkan Umar memeluk agama Islam.
“Wahai saudaraku. Engkau tidak suci. Karena engkau penyembah berhala. Lembaran ini hanya boleh disentuh orang yang suci,” jelas Fathimah.
Umar segera pergi dan membasuh dirinya. Kemudian Fathimah menyerahkan kepadanya lembaran yang dibuka dengan kata-kata Thaha. Umar mulai membacanya. Setelah selesai membaca lembaran itu, ia berkata, “Betapa indah dan agungnya kata-kata ini!” Ketika Khabbab mendengar ucapannya, ia keluar dari tempat persembunyiannya.
“Umar. Aku berharap Allah telah memilihmu sesuai doa Nabi yang kudengar kemarin dipanjatkan, “Ya Allah. Jayakan Islam dengan salah satu dari dua orang, Abu al Hakim bin Hikam atau Umar bin Khaththab.”
“Hai Khabbab,” jawab Umar, “Dimana sekarang Muhammad berada? Aku ingin bertamu dengan dia dan aku akan masuk Islam.” Khabbab berkata bahwa Nabi berada di rumah Arqam, di dekat gerbang Shafa bersama beberapa sahabatnya. Umar menghunuskan kembali pedangnya dan pergi ke Shafa. Ia mengetuk rumah Arqam dan mengatakan siapa dirinya. Mereka telah diberi peringatan oleh Nu’aym, sehingga kedatangannya sangat tak diharapkan.
Tapi mereka surprised mendengar nada suara Umar yang melembut. Salah seorang sahabat menuju pintu. Mengintip melalui sebuah celah dan kembali lagi dengan ketakutan, “Wahai Rasulullah. Benar. Umar datang dengan menghunus pedangnya.”
“Biarkan ia masuk,” kata Hamzah. “Jika datang dengan maksud baik, kita akan membalasnya baik-baik. Jika ia bermaksud buruk, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri!” Nabi setuju bahwa beliau harus menemuinya. Beliau menyambut Umar dengan memegang sabuknya dan mendorongnya ke tengah ruangan.
“Apa maksud kedatanganmu ke sini, hai putra Khaththab? Tampaknya engkau belum sadar juga. Rupanya engkau menanti tamparan Allah!” kata Nabi.
“Wahai Rasulullah,” kata Umar, “aku datang kepadamu untuk menyatakan keimananku kepada Allah, dan kepada rasul-Nya serta segala yang datang dari-Nya!”
“Allahu akbar (Allah Maha Besara),” seru Nabi mendengar ucapan tersebut. Semua yang hadir di rumah itu tahu bahwa Umar telah masuk Islam. Mereka pun semua gembira.
Umar tidak menyembunyikan keislamannya. Ia bermaksud mengumumkan kepada setiap orang. Terutama kepada mereka yang paling memusuhi Nabi. Beberapa tahun kemudian, ia berkata, “Ketika aku telah memeluk Islam malam itu, aku berpikir, siapa penduduk Mekah yang paling kejam memusuhi rasulullah? Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku telah menjadi muslim! Jawabanku adalah Abu Jahl. Maka keesokan paginya aku pergi dan mengetuk pintunya.
“Abu Jahl keluar dan berkata, ‘Selamat datang putra saudaraku! Apa maksud kedatanganmu ke sini?’ Aku menjawab, ‘Aku datang untuk memberitahukan bahwa aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad. Aku juga bersaksi atas kebenaran yang ia ajarkan.’ ‘Tuhan melaknatmu!’ katanya, ‘dan semoga laknatnya juga pada berita yang engkau bawa!’, kemudian ia membanting pintunya di hadapanku.”

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...