PERINGATAN
MAULID 15 – 1440 H
Umar
biasa salat di depan Ka’bah dan mengajak muslim yang lain untuk salat
bersamanya. Ia dan Hamzah kadang datang bersama sekelompok kaum mukmin ke Rumah
Suci tersebut. Tahu itu, para pemuka Quraisy akan menyingkir.
Di
bawah tekanan Abu Jahl, Quraisy memutuskan bahwa jalan terbaik adalah melakukan
pemboikotan terhadap seluruh Bani Hasyim. Kecuali Abu Lahab bersikeras
melindungi sanak keluarganya, baik yang percaya atau pun tidak terhadap kenabian
Muhammad.
Sebuah
dokumen dibuat berisikan larangan menikahi wanita Bani Hasyim. Juga tidak
diperbolehkan memperjualbelikan apa pun kepada mereka. Pemboikotan itu berlaku
sampai Bani Hasyim sendiri yang melarang Muhammad, atau sampai beliau menarik
kembali pengakuan kenabiannya.
Tidak
kurang dari empat puluh pemuka Quraisy mengokohkan perjanjian ini, meskipun
tidak semua menyetujuinya. Beberapa di antara mereka harus mengalah. Bani
Muththalib menolak untuk pemboikotan sepupu-sepupu mereka. Dokumen tersebut
dipampangkan di Ka’bah.
Demi
keamanan bersama, Bani Hasyim berkumpul di sekitar Abu Thalib, di perempatan
Lembah Mekah—tempat ia dan kebanyakan anggota kabilahnya bermukim. Kedatangan Nabi
dan Khadijah beserta keluarganya mendorong Abu Lahab dan istrinya pindah dan
tinggal di rumahnya yang lain. Ini wujud solidaritas kepada kaum Quraisy.
Suatu
hari, Abu Jahl bertemu dengan keponakan Khadijah, Hakim, bersama seorang budak
membawa sekantong gandum yang tampaknya akan di bawa ke Bani Hasyim. Ia menyalahkan
keduanya karena memberi makan kepada musuh dan mengancam akan menghukum Hakim
di hadapan orang-orang Quraisy.
Ketika
mereka sedang berdebat, Abu al Bakhtari, seorang Bani Asad, datang dan menanyakan
apa persoalannya. Setelah dijelaskan, ia berkata kepada Abu Jahl, “Itu adalah
gandum bibinya dan ia diutus untuk membawanya. Biarkan ia melakukan tugasnya!”
Baik
al Hakim maupun Abu al Bakhtari sama-sama bukan muslim. Namun mengantarkan kantong
gandum itu dari salah seorang warga Bani Asad kepada warga lainnya, bukanlah
urusan orang di luar kabilah itu. Campur tangan orang Makhzum itu mengundang
marah dan tak dapat dibiarkan.
Ketika
Abu Jahl tetap bertahan, Abu al Bakhtari menyabetkan tali kekang unta ke
kepalanya sekuat-kuatnya hingga ia setangah pingsan dan terjatuh. Lalu mereka
menginjak-injaknya di tanah. Kebetulan Hamzah lewat saat kejadian itu.
Hakim
berada dalam haknya. Namun orang lain berani melanggar pemboikotan itu karena
rasa simpati kepada para korbannya. Hisyam ibn Amr, dari Bani Amir, bukan
keturunan Hasyim. Tetapi keluarganya memiliki hubungan pernikahan yang dekat
dengan kabilah itu. Malam hari, ia sering membawa seekor unta yang membawa
makanan untuk masuk ke wilayah Abu Thalib.
Ikatan
unta tersebut dilepaskan. Lalu unta itu dipukul punggungnya agar lari
secepat-cepatnya melewati rumah-rumah mereka. Pada malam yang lain, Hisyam
membawa baju-baju dan barang-barang lainnya.
Di
samping bantuan dari orang-orang musyrik di atas, ada juga bantuan dari kaum
muslim sendiri yang berasal dari kabilah lain. Khususnya Abu Bakr dan Umar. Mereka
mengupayakan berbagai cara untuk melanggar pemboikotan itu. Ketika dua tahun
telah berlalu, Abu Bakr tidak bisa disebut lagi sebagai orang kaya. Namun meski
mendapatkan bantuan tersebut, masih terjadi kekurangan bahan pangan di dua
kabilah korban pemboikotan itu. Terkadang mereka hampir kelaparan.
Selama
bulan-bulan suci, saat mereka dibolehkan meninggalkan tempat mereka dan pergi
dengan bebas, Nabi sering pergi ke Rumah
Suci. Di situlah para pemuka Quraisy mengambil kesempatan untuk menghina dan
menyakitinya. Suatu ketika, beliau membacakan wahyu. Mengingatkan kaum Quraisy
tentang apa yang terjadi pada orang-orang terdahulu.
Nadhr
dari Bani Abd al Dar berdiri dan berseru, “Demi Tuhan! Muhammad tidaklah
seunggul aku dalam berbicara. Perkataannya tidak lain hanyalah dongeng
orang-orang terdahulu. Mereka telah menuliskan untuknya. Sedangkan aku menulis
sendiri.” Lantas ia bercerita kepada kaum Quraisy tentang Rustum, Isfandiyar,
dan raja-raja Persia.
Berkaitan
dengan peristiwa itu, diturunkan satu ayat berikut, “Ketika ayat-ayat Kami
dibacakan padanya, ia berkata: ‘Itu hanyalah dongeng-dongeng dari orang-orang
terdahulu.’ Sekali-kali tidak! Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka. (QS.83: 13-14)”
Ayat
lain yang turun menyatakan bahwa kelak tempat tinggal Abu Lahab dan istrinya di
neraka. Umm Jamil mendengar ayat ini dan pergi ke masjid dengan menggenggam
sebongkah batu di tangannya, mencari Nabi. Ia bertemu Abu Bakar. “Mana temanmu,”
kata Ummu Jamil, “Ia telah menghinaku. Demi Tuhan, jika kujumpai ia, akan kubungkam
mulutnya dengan batu ini.”
Ummu
Jami lantas bersyair untuk Nabi, “Kami membangkang terhadap orang yang
terkutuk. Menepis perintah yang ia perintahkan. Dan agama-kebenciannya itu.”
Pemboikotan
terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib telah berlangsung lebih dari dua tahun.
Namun tidak ada tanda-tanda pengaruh yang diharapkan. Malah terjadi dampak yang
tidak diinginkan. Yaitu, perhatian terhadap Nabi semakin besar dan agama baru
itu diperbincangkan di seluruh penjuru Arab.
Sampai
suatu ketika, Muth’im pergi ke Ka’bah untuk mencabut dokumen pemboikotan itu. Ia
keluar dengan kemenangan, memegang selembar kulit kecil. Dokumen tersebut
semuanya telah dimakan rayap kecuali kelimat pembuka, “Dengan nama-Mu, ya
Allah.”
Mayoritas
orang-orang Quraisy menyerah. Itu mengakhiri semua perdebatan. Abu Jahl dan
satu dua orang pengikutnya sadar bahwa akan sia-sia untuk bertahan. Pemboikotan
itu secara formal telah dibatalkan. Sejumlah orang Quraisy pergi menyampaikan
kabar gembira kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Setelah
pemboikotan dihapuskan, kehidupan kembali normal. Untuk sementara waktu,
kekejaman terhadap kaum muslim berkurang. Laporan yang dilebih-lebihkan sampai
ke Abyssinia. Sehingga beberapa pengungsi bersiap kembali ke Mekah. Sementara Ja’far,
memilih tetap tinggal di sana.
Pada
waktu itu, para pemuka Quraisy berfokus membujuk Nabi agar menyetujui sebuah
kompromi. Pendekatan ini belum dilakukan sebelumnya. Walid dan tokoh-tokoh
lainnya mengusulkan agar mereka menjalankan kedua agama itu. Nabi menjawabnya
dengan wahyu.
“Katakanlah:
Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS.109: 1-6).”
Selain
Ja’far dan Ubaydillah ibn Jahsy, semua sepupu Nabi kembali. Utsman dan Ruqayyah
juga datang bersama mereka…
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar