Suatu
hari Muhammad bermimpi. “Bagaikan kilatan cahaya,” begitu ia mengumpamakan
mimpi tersebut. Mimpi tersebut membuat ia kemudian lebih senang menyendiri. Sebuah
penyendirian spiritual yang disebut tahannuts. Ia melakukannya di sebuah gua di
Bukit Hira—tidak jauh dari pinggiran kota Mekah.
Tahannuts
ini sudah familier bagi kaum Quraisy. ‘Meditasi’ itu sudah menjadi praktik
tradisional di kalangan keturunan Ismail. Selalu ada satu atau dua orang yang
mengasingkan diri ke tempat yang terisolasi dalam waktu yang lama, pada setiap
generasi. Tujuannya, supaya terbebaskan dari kontaminasi dunia manusia.
Muhammad
membawa berbagai perbekalan dan mengkhusyukkan diri pada malam-malam tertentu. Kemudian
pulang ke keluarganya. Terkadang ia mengambil lebih banyak perbekalan dan
kembali lagi ke bukit tersebut.
Bulan
yang bisa digunakan untuk mengasingkan diri itu adalah Ramadan. Saat itu Muhammad
sudah berumur 40 tahun. Ketika ia sendirian di dalam gua—suatu malam menjelang
akhir Ramadan—seorang malaikat mendatanginya dengan rupa manusia. Malaikat itu
tiba-tiba memerintah, “Bacalah!”
“Aku
tak bisa membaca,” jawab Muhammad. Lebih gamblang, Muhammad menuturkan begini: “Malaikat
itu mendekapku sampai aku sulit bernapas. Lalu, ia melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’
Kujawab, ‘Aku tak dapat membaca!’ Ia mendekapku lagi hingga aku tersesak. Ia melepaskanku
dan berkata, ‘Bacalah!’ Lagi-lagi kujawab, ‘Aku tak dapat membaca!’ Kemudian
ketiga kalinya ia mendekapku seperti sebelumnya. Dan melepaskanku, lantas
berkata:
‘Bacalah
dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan!
Dia
telah menciptakan manusia dari sesuatu yang menggumpal.
Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang
mengajar manusia dengan pena (qalam).
Dia
mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. 96: 1-5)’.”
Muhammad
lantas mengulangi kalimat yang diucapkan Jibril tersebut, dan kemudian
meninggalkannya. Muhammad berkata, “Sepertinya kalimat itu tertanam dalam
hatiku.” Meski ia takut jangan-jangan telah menjadi penyair yang terilhami oleh
jin atau orang yang kesurupan. Karenanya ia lantas lari keluar gua.
Muhammad
menyusuri tebing. Cepat-cepat ia pulang. “Selimuti aku! Selimuti aku!” pintanya
kepada isterinya, Khadijah, saat tiba di rumah. Tubuhnya masih gemetar. Ia merebah
di atas dipan. Diliputi rasa cemas dan pikirannya penuh tanda tanya, Khadijah
cepat-cepat menyelimutinya.
Saat
rasa takutnya mulai mereda, Muhammad menceritakan kepada Khadijah apa yang
telah dilihat dan didengarnya. Khadijah lantas pergi menceritakan hal itu
kepada sepupunya, bernama Waraqah, yang sudah tua dan buta. “Quddus! Quddus!”
kata Waraqah. “Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, yang mendatangi Muhammad
adalah Namus yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh Muhammad adalah nabi bagi
kaumnya. Yakinkanlah dia!”
Beberapa
hari setelah menyempurnakan bilangan tahannuts, sang nabi itu bertemu langsung
dengan Waraqah. “Ceritakanlah kepadaku, wahai putra saudaraku, apa yang telah
engkau lihat dan dengar,” kata Waraqah. Nabi pun menceritakannya. Setelah
mendengarnya, orang tua tersebut mengatakan kembali apa yang telah ia sampaikan
kepada Khadijah. Namun, kali ini dengan tambahan berikut.
“Engkau
akan didustakan orang. Akan diperlakukan buruk. Mereka akan mengusirmu. Bahkan berperang
melawanmu! Seandainya aku masih hidup pada saat-saat itu, Allah tahu, aku pasti
akan membela kebenaran agama-Nya.” Lantas, Waraqah merangkul Muhammad dan
mencium ubun-ubunnya. Nabi pun kemudian pulang ke rumah.
Kenabian
Muhammad dipertegas dengan wahyu berikutnya. Ketika ditanya tentang bagaimana
wahyu datang kepadanya, Nabi menyebut dua cara: “Terkadang wahyu datang
kepadaku seperti bunyi sebuah bel. Cara itulah yang terberat bagiku. Bunyi itu
menghilang setelah aku memahaminya. Terkadang, malaikat menampakkan diri dalam
rupa manusia. Ia berbicara kepadaku, lalu aku mengerti apa yang dikatakannya.”
Wahyu
yang kedua kalinya itu dimulai dengan sebuah huruf tunggal. Ini merupakan
contoh awal dari beberapa huruf yang memulai beberapa surah dalam Alquran.
“Nun.
Demi pena, dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, kamu sekali-kali
bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu pahala yang besar yang tidak
putus-putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS.
68:1-4).”
Setelah
turunnya pesan-pesan pertama itu, ada masa yang cukup lama wahyu tidak turun
lagi kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau pun khawatir jangan-jangan telah
menyebabkan Tuhan tidak senang. Khadijah terus meyakinkan beliau bahwa hal
demikian tidak mungkin. Kemudian, masa yang menggelisahkan sang Nabi itu pun
berakhir. Datanglah kepastian yang memuat perintah pertama berkaitan langsung
dengan misinya.
“Demi
terangnya waktu pagi. Demi malam tatkala sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkanmu
dan tidak pula membencimu. Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari
permulaan. Dan, kelak Tuhanmu pasti memberkan karunia-Nya kepadamu lalu hatimu
menjadi puas. Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu? Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu dia memberimu petunjuk. Dia mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu dia mencukupimu. Maka janganlah engkau berlaku
sewenang-wenang terhadap anak yatim. Dan terhadap orang yang meminta-minta,
janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, siarkanlah (QS. 93:1-11).”
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…
GABRIEL INCARNATING INTO HUMAN
One
day Muhammad dreamed. "Like a flash of light," he likens the dream.
The dream made him later prefer to be alone. A spiritual solitude called
tahannuts. He did it in a cave on Hira Hill — not far from the outskirts of
Mecca.
The
tahannuts is familiar to the Quraysh. 'Meditation' has become a traditional
practice among the descendants of Ismail. There were always one or two people
who isolated themselves in an isolated place for a long time, in each
generation. The goal is to be liberated from the contamination of the human
world.
Muhammad
brought various provisions and became absorbed on certain nights. Then went
home to his family. Sometimes he took more supplies and returned to the hill.
The
month that can be used to isolate him self was Ramadan. At that time Muhammad
was 40 years old. When he was alone in the cave — one night near the end of
Ramadan — an angel came to him in human form. The angel suddenly ordered,
"Read!"
"I
can't read," said Muhammad. More explicitly, Muhammad said this: "The
angel hugged me until I had difficulty breathing. Then, he let me go and said,
'Read!' I answered, 'I can't read!' He held me again until I had difficulty breathing.
He let me go and said, 'Read!' Again, I answered, 'I can't read!' Then the
third time he held me as before. And let me go, then said:
‘Read
in the name of your Lord Who created!
He
has created humans from something that is lumpy.
Read,
and your Lord is the Most Gracious.
Who
teaches man with a pen (qalam).
He
taught people what they did not know (QS. 96: 1-5) '."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar