Selasa, 01 September 2020

MENYENTUH QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Bolehkah membaca Qur’an dengan berusaha memahaminya tanpa wudhu dulu, keadaan junub, dan haid? Boleh sekali!”

Pernah suatu hari saya salat di sebuah masjid. Sambil menikmati bacaan imam, tanpa sengaja mata saya melihat sebuah Al Qur’an. Sampulnya bertuliskan, “Laa yamassuhuu illaa al-muthohharuun.” QS.56 ayat 79 itu kurang lebih berarti: “Tidak bisa menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang-orang yang disucikan.” Sekilas waktu itu saya terinpirasi: “Tidak akan bisa memahami dan mengamalkan Qur’an, itu kecuali orang-orang yang mensucikan jiwanya.”

Pada umumnya, lantas, ayat itu digunakan dalil bahwa menyentuh Qur’an itu wajib berwudhu bagi orang yang berhadas kecil. Begitu juga, orang yang berhadas besar wajib mandi besar dulu sebelum menyentuh dan membaca Qur’an. Dengan kata lain, orang yang tidak punya wudhu apalagi belum mandi besar (junub) haram membaca Qur’an. Jangankan membacanya. Menyentuh saja sudah haram. Nah, saya beda pendapat.

Saya kutipkan dulu ayatnya.

QS. Al-Waqi’ah[56]: 77 – 79
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
 Sesungguhnya AL QUR’AN ini adalah bacaan yang sangat mulia.

فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
 Pada KITAB yang TERPELIHARA.

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
 Tidak MENYENTUHNYA kecuali orang-orang yang DISUCIKAN.

Untuk ayat 78 yang berbunyi “fii kitaab maknuun,” ada yang menerjemahkannya dengan Lawh Mahfuuzh—dengan maksud soft file Qur’an gaib yang antah-berantah. Menurut saya, arti yang lebih tepat begini: ayat-ayat Qur’an itu benar-benar terkumpul dalam sebuah buku. Ya Mushhaf ini.

Istilah Lawh Mahfuuzh (QS.85:21-22), itu bukan soft file Qur’an antah-berantah. Tetapi menunjukkan bahwa ayat-ayat Qur’an benar-benar ditulis pada lembaran-lembaran (indikasi kuatnya kulit binatang). Dengan pembukuan menjadi mushshaf, itu adalah cara Allah menjaga keasilan dan kemurnian Qur’an. Penjagaan Qur’an, itu lebih dengan tulisan. Lebih detail tinjau lagi HAAFIZH BUKAN HAFAL.

Sekarang kita masuk pada QS.56:79. Terutama kata ‘yamassuhu’ yang secara harfiah berarti menyentuhnya (Al Qur’an). ‘Menyentuh’ di sini, itu bukan menyentuh secara fisik. Misalnya menyentuh Mushhaf dengan tangan. Tetapi maksudnya adalah menyentuh secara psikis. Yakni memahami dan mengamalkan. Tidak bisa ‘menyentuh’ Qur’an kecuali orang yang disucikan, maksudnya adalah tidak akan bisa memahami Qur’an itu kecuali orang yang mensucikan jiwanya.

Jadi, kata ‘menyentuh’ pada QS.56:79 itu adalah makna majas. Bukan makna hakiki. Makna konotatif. Bukan makna denotatif. Makna implisit. Bukan makna eksplisit. Makna kiasan. Bukan makna harfiah. Pemaknaan itu, kita bisa mengambil i’tibarnya dari ayat berikut.

QS. Al-Baqarah[2]: 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu ‘BERSENTUHAN’ (berhubungan intim) dengannya, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.

Atau ayat di bawah ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu ‘BERSENTUHAN’ (berhubungan intim) dengannya dan sebelum kamu menentukan maharnya.

Atau ungkapan Maryam pada ayat di bawah ini.

QS. Ali Imran[3]: 47
قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Maryam berkata: "Ya Tuhanku. Bagaimana mungkin aku mempunyai anak. sedangkan belum pernah seorang laki-laki pun ‘MENYENTUHKU’." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah" maka jadilah ia.

Jadi kata ‘menyentuh’ dengan redaksi al-mass pada ketiga ayat di atas, itu bukan bermakna hakiki. Tetapi majazi—menyebut satu kata, tetapi yang dimaksud adalah bukan kata itu. ‘Menyentuh’ yang dimaksud adalah berhubungan intim.

Maka begitu juga kata ‘menyentuh’ pada QS.56:79 itu. Tidak menyentuh Qur’an, kecuali orang-orang yang disucikan. Itu artinya adalah tidak akan bisa paham (idrook) Qur’an kecuali orang-orang yang mensucikan jiwanya. Orang yang akan bisa paham Qur’an, itu hanyalah orang-orang yang punya niatan baik ketika membaca Qur’an. Orang-orang yang tulus mencari petunjuk dan kebenaran dari Qur’an.

Itulah orang-orang yang disucikan itu (al-muthohharuun). Sebenarnya al-muthohharuun, itu adalah kata pasif. Mabni majhuul, istilah Arabnya. Artinya orang yang disucikan. Atau tersucikan. Disucikan oleh siapa? Tentu saja yang pertama dan utama adalah kemauan orang itu sendiri. Siapa yang mensucikan jiwa seseorang sehingga bisa paham Qur’an? Tentu orang itu sendiri. Barulah Allah merestui.

Makanya beberapa ayat yang sudah disebut terdahulu, dijumpai kata ihtadaa yahtadiy. Misalnya “Siapa yang berusaha mendapat petunjuk, maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri,” (QS.10:108). Yakni orang yang memang berusaha mendapat petunjuk. Begitu kalau ada orang yang condong pada kesesatan, ya Allah turuti (QS.61:5).

Adapun orang-orang yang dari awal niatnya sudah condong pada kesesatan (QS.3:7), ya tentu dia semakin menemukan dalil untuk menuju kesesatan itu. Lebih tepatnya, melintir ayat. Mau tidak salat, ada ayatnya. Mau merampok, ada ayatnya. Mau menjadi teroris, ada ayatnya. Biasanya hanya mengambil satu ayat saja. Atau malah sepenggal saja. Tidak komprehensif memahami ayat. Penyebab utamanya adalah tendensi buruk itu tadi. Niat jahat. Inilah orang-orang yang tidak mensucikan jiwanya. Mengotori jiwanya.

Termasuk yang tidak akan bisa memahami Qur’an, itu adalah orang-orang yang hobi berbuat salah dan dosa. Karenanya Allah menegaskan beruntung orang yang mensucikan jiwa itu dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS.91:9-10).

Begitu juga orang-orang kafir. Adalah orang jiwanya dikotori. Mereka mengotori jiwanya sendiri. Dari awal sudah apriori. Menutup akal dan hatinya sendiri. Untuk tidak mau paham Qur’an. Ya sampai kiamat pun tidak akan paham Qur’an. Wong nggak mau paham. Malah dari awal sudah tendensius. Memusuhi Qur’an. Mau melenyapkan Qur’an. Mereka itulah orang-orang yang tidak mensucikan jiwanya. Sehingga tidak bisa paham (idrook) Qur’an.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...