—Saiful Islam*—
“Bolehkah membaca Qur’an dengan
berusaha memahaminya tanpa wudhu dulu, keadaan junub, dan haid? Boleh sekali!”
Pernah suatu hari saya salat di
sebuah masjid. Sambil menikmati bacaan imam, tanpa sengaja mata saya melihat
sebuah Al Qur’an. Sampulnya bertuliskan, “Laa yamassuhuu illaa
al-muthohharuun.” QS.56 ayat 79 itu kurang lebih berarti: “Tidak bisa
menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang-orang yang disucikan.” Sekilas waktu itu
saya terinpirasi: “Tidak akan bisa memahami dan mengamalkan Qur’an, itu kecuali
orang-orang yang mensucikan jiwanya.”
Pada umumnya, lantas, ayat itu
digunakan dalil bahwa menyentuh Qur’an itu wajib berwudhu bagi orang yang
berhadas kecil. Begitu juga, orang yang berhadas besar wajib mandi besar dulu
sebelum menyentuh dan membaca Qur’an. Dengan kata lain, orang yang tidak punya
wudhu apalagi belum mandi besar (junub) haram membaca Qur’an. Jangankan
membacanya. Menyentuh saja sudah haram. Nah, saya beda pendapat.
Saya kutipkan dulu ayatnya.
QS. Al-Waqi’ah[56]: 77 – 79
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya AL QUR’AN ini adalah bacaan yang
sangat mulia.
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
Pada KITAB yang TERPELIHARA.
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُونَ
Tidak MENYENTUHNYA kecuali orang-orang yang DISUCIKAN.
Untuk ayat 78 yang berbunyi “fii
kitaab maknuun,” ada yang menerjemahkannya dengan Lawh Mahfuuzh—dengan
maksud soft file Qur’an gaib yang antah-berantah. Menurut saya, arti
yang lebih tepat begini: ayat-ayat Qur’an itu benar-benar terkumpul dalam
sebuah buku. Ya Mushhaf ini.
Istilah Lawh Mahfuuzh
(QS.85:21-22), itu bukan soft file Qur’an antah-berantah. Tetapi
menunjukkan bahwa ayat-ayat Qur’an benar-benar ditulis pada lembaran-lembaran
(indikasi kuatnya kulit binatang). Dengan pembukuan menjadi mushshaf, itu
adalah cara Allah menjaga keasilan dan kemurnian Qur’an. Penjagaan Qur’an, itu
lebih dengan tulisan. Lebih detail tinjau lagi HAAFIZH BUKAN HAFAL.
Sekarang kita masuk pada QS.56:79.
Terutama kata ‘yamassuhu’ yang secara harfiah berarti menyentuhnya (Al
Qur’an). ‘Menyentuh’ di sini, itu bukan menyentuh secara fisik. Misalnya
menyentuh Mushhaf dengan tangan. Tetapi maksudnya adalah menyentuh secara
psikis. Yakni memahami dan mengamalkan. Tidak bisa ‘menyentuh’ Qur’an kecuali
orang yang disucikan, maksudnya adalah tidak akan bisa memahami Qur’an itu
kecuali orang yang mensucikan jiwanya.
Jadi, kata ‘menyentuh’ pada
QS.56:79 itu adalah makna majas. Bukan makna hakiki. Makna konotatif. Bukan
makna denotatif. Makna implisit. Bukan makna eksplisit. Makna kiasan. Bukan
makna harfiah. Pemaknaan itu, kita bisa mengambil i’tibarnya dari ayat berikut.
QS. Al-Baqarah[2]: 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan isterimu
sebelum kamu ‘BERSENTUHAN’ (berhubungan intim) dengannya, padahal kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu.
Atau ayat di bawah ini.
QS. Al-Baqarah[2]: 236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ
Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu ‘BERSENTUHAN’ (berhubungan
intim) dengannya dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Atau ungkapan Maryam pada ayat di
bawah ini.
QS. Ali Imran[3]: 47
قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ
يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Maryam berkata: "Ya Tuhanku.
Bagaimana mungkin aku mempunyai anak. sedangkan belum pernah seorang laki-laki
pun ‘MENYENTUHKU’." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):
"Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah" maka jadilah ia.
Jadi kata ‘menyentuh’ dengan
redaksi al-mass pada ketiga ayat di atas, itu bukan bermakna hakiki.
Tetapi majazi—menyebut satu kata, tetapi yang dimaksud adalah bukan kata itu.
‘Menyentuh’ yang dimaksud adalah berhubungan intim.
Maka begitu juga kata ‘menyentuh’
pada QS.56:79 itu. Tidak menyentuh Qur’an, kecuali orang-orang yang disucikan.
Itu artinya adalah tidak akan bisa paham (idrook) Qur’an kecuali
orang-orang yang mensucikan jiwanya. Orang yang akan bisa paham Qur’an, itu
hanyalah orang-orang yang punya niatan baik ketika membaca Qur’an. Orang-orang
yang tulus mencari petunjuk dan kebenaran dari Qur’an.
Itulah orang-orang yang disucikan
itu (al-muthohharuun). Sebenarnya al-muthohharuun, itu adalah
kata pasif. Mabni majhuul, istilah Arabnya. Artinya orang yang
disucikan. Atau tersucikan. Disucikan oleh siapa? Tentu saja yang pertama dan
utama adalah kemauan orang itu sendiri. Siapa yang mensucikan jiwa seseorang
sehingga bisa paham Qur’an? Tentu orang itu sendiri. Barulah Allah merestui.
Makanya beberapa ayat yang sudah
disebut terdahulu, dijumpai kata ihtadaa yahtadiy. Misalnya
“Siapa yang berusaha mendapat petunjuk, maka petunjuk itu untuk dirinya
sendiri,” (QS.10:108). Yakni orang yang memang berusaha mendapat petunjuk.
Begitu kalau ada orang yang condong pada kesesatan, ya Allah turuti (QS.61:5).
Adapun orang-orang yang dari awal
niatnya sudah condong pada kesesatan (QS.3:7), ya tentu dia semakin menemukan
dalil untuk menuju kesesatan itu. Lebih tepatnya, melintir ayat. Mau tidak
salat, ada ayatnya. Mau merampok, ada ayatnya. Mau menjadi teroris, ada
ayatnya. Biasanya hanya mengambil satu ayat saja. Atau malah sepenggal saja.
Tidak komprehensif memahami ayat. Penyebab utamanya adalah tendensi buruk itu
tadi. Niat jahat. Inilah orang-orang yang tidak mensucikan jiwanya. Mengotori
jiwanya.
Termasuk yang tidak akan bisa
memahami Qur’an, itu adalah orang-orang yang hobi berbuat salah dan dosa.
Karenanya Allah menegaskan beruntung orang yang mensucikan jiwa itu dan
merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS.91:9-10).
Begitu juga orang-orang kafir.
Adalah orang jiwanya dikotori. Mereka mengotori jiwanya sendiri. Dari awal
sudah apriori. Menutup akal dan hatinya sendiri. Untuk tidak mau paham Qur’an.
Ya sampai kiamat pun tidak akan paham Qur’an. Wong nggak mau paham. Malah dari
awal sudah tendensius. Memusuhi Qur’an. Mau melenyapkan Qur’an. Mereka itulah
orang-orang yang tidak mensucikan jiwanya. Sehingga tidak bisa paham (idrook)
Qur’an.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab…
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar