Rabu, 02 September 2020

GURUNYA ADALAH ALLAH


—Saiful Islam*—

Pernyataan umum yang juga sering disalah kaprahi adalah berikut ini:

“Belajar suatu ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah setan.” Lalu dilanjutkan dengan pernyataan berikutnya, “Siapa saja yang menjadikan buku (kitab) sebagai gurunya, maka ia akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.” Lantas dinyatakan, “Ilmu tanpa sanad, gurunya adalah setan.”

Tampaknya ketiga pernyataan di atas, itu terinspirasi oleh perkataan Abu Yazid al-Bushthomiy—seorang sufi bermadzhab Hanafi yang wafat tahun 261 H. Bahwa: “Barangsiapa tidak memiliki guru (syaykh), maka gurunya adalah setan.” Menurut satu sumber, pernyataan Al-Bushthomiy ini, dikutip dari Tafsir Ruhul Bayan, juz 5 halaman 264.

Pertama yang perlu kita sadari adalah semua pernyataan di atas bukan Qur’an. Tidak ada satu pun ayat yang menyatakan demikian. Kedua, semua pernyataan di atas juga bukan Hadis.

Ilmu, secara garis besar, itu ada dua macam. Pertama, ilmu teoritis (Sains). Kedua, ilmu praktis (skill—teknologi). Terkait tema Qur’an Inspirasi Literasi, ini kita fokuskan saja ilmu yang dimaksud adalah Qur’an. Ayat-ayat Qur’an, itu memang membicarakan dua macam ilmu tadi: teoritis (seperti tentang alam) dan praktis (seperti rukun Islam lengkap dengan teknis-teknisnya).

Betulkah membaca langsung ke Mushhaf Al Qur’an sendirian di rumah misalnya, itu berarti tanpa sanad dan otomatis sedang berguru kepada setan? Jelas tidak betul. Apa tujuan sebenarnya teks Qur’an itu sendiri ditulis dan dikawal langsung oleh Nabi penulisannya? Tentu supaya Qur’an itu abadi. Dibaca langsung oleh siapa saja. Dimana saja. Dan kapan saja. Untuk mendapatkan pemahaman dan petunjuk.

Kita yakin 100 persen bahwa Mushhaf Qur’an yang sekarang ada di tangan kita, ini sanadnya nyambung sampai Rasulullah. Artinya, Qur’an yang ada pada kita sekarang ini, itu sama persis dengan Qur’an yang dijadikan oleh Nabi sebagai panduan beragama satu-satunya. Tidak berkurang dan tidak lebih satu hurufnya pun. Dijaga dan dipelihara oleh ‘miliaran’ ulama sehingga tidak perlu lagi disebut dari A dari B dari C dan seterusnya.

Membaca terjemahan Qur’an pun, itu sudah otomatis mengikuti ulama. Otomatis bersanad. Siapa yang menghafal teks Qur’an itu sehingga sampai kepada kita? Ulama. Siapa yang menulis teks Qur’an itu? Ulama. Siapa yang menerjemahkan dari Arab ke Indonesia? Ulama. Siapa yang memberi tafsiran singkat (catatan kaki) pada terjemahan Qur’an itu? Ya ulama. Jadi tidak ada yang tidak ulama. Untuk apa ditulis, diterjemah, dicetak ‘miliaran’ eksemplar? Justru memang supaya bisa dibaca sendiri oleh setiap orang!

Kalau betul membaca sendiri Mushhaf Qur’an di rumah itu otomatis tanpa sanad dan sedang berguru kepada setan, mestinya teks Qur’an tak perlu ditulis. Tak perlu digandakan dengan dicetak. Dan mestinya Rasulullah harus tetap hidup sampai sekarang. Karena guru Qur’an paling berhak adalah Rasulullah. Itu pun Rasulullah harus punya ilmu mecah rogo sehingga menjadi banyak supaya menjadi guru Kaum Mukminin di berbagai negara. Jelas mustahil. Artinya, klaim tanpa sanad dan gurunya setan pernyataan di atas jelas salahnya.

Begitu juga setiap penulis buku. Tujuannya adalah menyampaikan pesan dan maksudnya. Tentu supaya dimengerti dan dipahami pembaca. Pesan penulis dalam tulisannya itu, bisa untuk memotivasi, memberi informasi, mengajar, mempersuasi, dan lain semisalnya.

Lalu bagaimana tuntunan Qur’an sendiri? Justru Allah perintahkan langsung supaya membaca Mushhaf Qur’an, terutama. Malah perintah membaca itu adalah ayat yang pertama kali turun kepada Nabi.

QS. Al-‘Alaq[96]: 1 – 5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
BACALAH dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
BACALAH, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
(ALLAH) YANG MENGAJAR (manusia) DENGAN PERANTARA PENA (BACA TULIS).

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
DIA MENGAJAR MANUSIA apa yang tidak diketahuinya.

Jelas sekali menurut ayat di atas. Siapa yang mengajar manusia dengan perantara baca tulis itu? Allah! Siapa gurunya berarti? Allah. “Allah Yang Mengajar (manusia) dengan media baca tulis.” Jadi kalau ada seseorang yang mentadabburi Qur’an di sepertiga malam akhir misalnya, itu jelas Allah-lah gurunya. Bukan setan. Tak jarang dengan tambahan otodidak, itu seseorang menemukan hal baru.

Apalagi jelas-jelas orang tersebut dengan sepenuh penghayatan menyebut, “Bismillaahirrohmaanirrohiim.” Sesuai dengan QS.96:1 di atas. Serta melengkapinya dengan minta tolong kepada Allah dari pengaruh setan yang menjauhkan dari rahmat-Nya: “A’uudzu billaahi minasysyaythoonirojiim.” Sebagaimana tuntunan ayat berikut.

QS. Al-Nahl[16]: 98
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu MEMBACA AL QUR’AN hendaklah kamu MEMINTA PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH DARI SETAN yang terkutuk.

Tentu saja semakin banyak guru, semakin banyak membaca, itu semakin baik. Soal mencintai dan memuliakan guru, itu sudah semestinya. Tetapi, tentu saja jangan menjadi murid atau pembaca seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Jangan langsung ditaati, dipatuhi, dan diikuti. Tetapi gunakan akal sehat. Pilah-pilihlah. Bandingkanlah. Lalu ikutilah yang terbaik. Sebagaimana perintah Qur’an.

QS. Al-Zumar[39]: 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Yang MENDENGARKAN PERKATAAN lalu MENGIKUTI apa yang PALING BAIK di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah PETUNJUK dan mereka itulah orang-orang yang MEMPUNYAI AKAL.

Qur’an tidak pernah mengartikan syaykh sebagai guru. Tidak ditemukan juga kata ustaadz atau asaatidz. Rasul pun menyebut pengikutnya sebagai Sahabat. Meski begitu, jika kebetulan kita punya murid-murid, jadilah guru yang mau dikoreksi pendapatnya dengan Qur’an. Kita mesti rendah hati, bahwa pendapat kita gugur jika bertentangan dengan Qur’an.

Pernyataan Al-Bushthomiy di atas, lebih tepatnya artinya begini: Siapa yang meyakini sebuah akidah, ibadah dan praktik spiritual dengan sekehendaknya sendiri—tanpa rujukan Qur’an, Hadis sahih dan ulama, maka orang tersebut akan disesatkan setan.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...