—Saiful Islam*—
Pernyataan umum yang juga sering
disalah kaprahi adalah berikut ini:
“Belajar suatu ilmu tanpa guru,
maka gurunya adalah setan.” Lalu dilanjutkan dengan pernyataan
berikutnya, “Siapa saja yang menjadikan buku (kitab) sebagai gurunya, maka
ia akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.” Lantas dinyatakan, “Ilmu
tanpa sanad, gurunya adalah setan.”
Tampaknya ketiga pernyataan di
atas, itu terinspirasi oleh perkataan Abu Yazid al-Bushthomiy—seorang sufi
bermadzhab Hanafi yang wafat tahun 261 H. Bahwa: “Barangsiapa tidak memiliki
guru (syaykh), maka gurunya adalah setan.” Menurut satu sumber, pernyataan
Al-Bushthomiy ini, dikutip dari Tafsir Ruhul Bayan, juz 5 halaman 264.
Pertama yang perlu
kita sadari adalah semua pernyataan di atas bukan Qur’an. Tidak ada satu pun
ayat yang menyatakan demikian. Kedua, semua pernyataan di atas juga
bukan Hadis.
Ilmu, secara garis besar, itu ada
dua macam. Pertama, ilmu teoritis (Sains). Kedua, ilmu praktis
(skill—teknologi). Terkait tema Qur’an Inspirasi Literasi, ini kita fokuskan
saja ilmu yang dimaksud adalah Qur’an. Ayat-ayat Qur’an, itu memang
membicarakan dua macam ilmu tadi: teoritis (seperti tentang alam) dan praktis
(seperti rukun Islam lengkap dengan teknis-teknisnya).
Betulkah membaca langsung ke
Mushhaf Al Qur’an sendirian di rumah misalnya, itu berarti tanpa sanad dan otomatis
sedang berguru kepada setan? Jelas tidak betul. Apa tujuan sebenarnya teks
Qur’an itu sendiri ditulis dan dikawal langsung oleh Nabi penulisannya? Tentu
supaya Qur’an itu abadi. Dibaca langsung oleh siapa saja. Dimana saja. Dan
kapan saja. Untuk mendapatkan pemahaman dan petunjuk.
Kita yakin 100 persen bahwa Mushhaf
Qur’an yang sekarang ada di tangan kita, ini sanadnya nyambung sampai
Rasulullah. Artinya, Qur’an yang ada pada kita sekarang ini, itu sama persis
dengan Qur’an yang dijadikan oleh Nabi sebagai panduan beragama satu-satunya.
Tidak berkurang dan tidak lebih satu hurufnya pun. Dijaga dan dipelihara oleh
‘miliaran’ ulama sehingga tidak perlu lagi disebut dari A dari B dari C dan
seterusnya.
Membaca terjemahan Qur’an pun, itu
sudah otomatis mengikuti ulama. Otomatis bersanad. Siapa yang menghafal teks
Qur’an itu sehingga sampai kepada kita? Ulama. Siapa yang menulis teks Qur’an
itu? Ulama. Siapa yang menerjemahkan dari Arab ke Indonesia? Ulama. Siapa yang
memberi tafsiran singkat (catatan kaki) pada terjemahan Qur’an itu? Ya ulama.
Jadi tidak ada yang tidak ulama. Untuk apa ditulis, diterjemah, dicetak
‘miliaran’ eksemplar? Justru memang supaya bisa dibaca sendiri oleh setiap
orang!
Kalau betul membaca sendiri Mushhaf
Qur’an di rumah itu otomatis tanpa sanad dan sedang berguru kepada setan,
mestinya teks Qur’an tak perlu ditulis. Tak perlu digandakan dengan dicetak.
Dan mestinya Rasulullah harus tetap hidup sampai sekarang. Karena guru Qur’an
paling berhak adalah Rasulullah. Itu pun Rasulullah harus punya ilmu mecah
rogo sehingga menjadi banyak supaya menjadi guru Kaum Mukminin di berbagai
negara. Jelas mustahil. Artinya, klaim tanpa sanad dan gurunya setan pernyataan
di atas jelas salahnya.
Begitu juga setiap penulis buku.
Tujuannya adalah menyampaikan pesan dan maksudnya. Tentu supaya dimengerti dan
dipahami pembaca. Pesan penulis dalam tulisannya itu, bisa untuk memotivasi,
memberi informasi, mengajar, mempersuasi, dan lain semisalnya.
Lalu bagaimana tuntunan Qur’an
sendiri? Justru Allah perintahkan langsung supaya membaca Mushhaf Qur’an,
terutama. Malah perintah membaca itu adalah ayat yang pertama kali turun kepada
Nabi.
QS. Al-‘Alaq[96]: 1 – 5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ
BACALAH dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Menciptakan.
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ
عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.
اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ
BACALAH, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah.
الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ
(ALLAH) YANG MENGAJAR (manusia) DENGAN
PERANTARA PENA (BACA TULIS).
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ
DIA MENGAJAR MANUSIA apa yang tidak
diketahuinya.
Jelas sekali menurut ayat di atas.
Siapa yang mengajar manusia dengan perantara baca tulis itu? Allah! Siapa
gurunya berarti? Allah. “Allah Yang Mengajar (manusia) dengan media baca
tulis.” Jadi kalau ada seseorang yang mentadabburi Qur’an di sepertiga malam
akhir misalnya, itu jelas Allah-lah gurunya. Bukan setan. Tak jarang dengan
tambahan otodidak, itu seseorang menemukan hal baru.
Apalagi jelas-jelas orang tersebut
dengan sepenuh penghayatan menyebut, “Bismillaahirrohmaanirrohiim.”
Sesuai dengan QS.96:1 di atas. Serta melengkapinya dengan minta tolong kepada
Allah dari pengaruh setan yang menjauhkan dari rahmat-Nya: “A’uudzu billaahi
minasysyaythoonirojiim.” Sebagaimana tuntunan ayat berikut.
QS. Al-Nahl[16]: 98
فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu MEMBACA AL QUR’AN
hendaklah kamu MEMINTA PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH DARI SETAN yang terkutuk.
Tentu saja semakin banyak guru,
semakin banyak membaca, itu semakin baik. Soal mencintai dan memuliakan guru, itu
sudah semestinya. Tetapi, tentu saja jangan menjadi murid atau pembaca seperti
kerbau yang dicocok hidungnya. Jangan langsung ditaati, dipatuhi, dan diikuti.
Tetapi gunakan akal sehat. Pilah-pilihlah. Bandingkanlah. Lalu ikutilah yang
terbaik. Sebagaimana perintah Qur’an.
QS. Al-Zumar[39]: 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ
الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Yang MENDENGARKAN PERKATAAN lalu MENGIKUTI
apa yang PALING BAIK di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
Allah PETUNJUK dan mereka itulah orang-orang yang MEMPUNYAI AKAL.
Qur’an tidak pernah mengartikan syaykh
sebagai guru. Tidak ditemukan juga kata ustaadz atau asaatidz.
Rasul pun menyebut pengikutnya sebagai Sahabat. Meski begitu, jika kebetulan
kita punya murid-murid, jadilah guru yang mau dikoreksi pendapatnya dengan
Qur’an. Kita mesti rendah hati, bahwa pendapat kita gugur jika bertentangan
dengan Qur’an.
Pernyataan Al-Bushthomiy di atas,
lebih tepatnya artinya begini: Siapa yang meyakini sebuah akidah, ibadah dan
praktik spiritual dengan sekehendaknya sendiri—tanpa rujukan Qur’an, Hadis
sahih dan ulama, maka orang tersebut akan disesatkan setan.
Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam
bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar