Selasa, 01 September 2020

SANG ILMUWAN


—Saiful Islam*—

“Ternyata istilah Ilmu Ladunniy, itu salah…”

Kata ‘aliim atau al-‘aliim (terulang 140 kali) atau ‘aliiman (22 kali) hampir semuanya untuk Allah. Yang berarti Yang Maha Mengetahui.

Menurut Lisan al-Arab, kata ‘aliim itu boleh juga untuk menamai orang yang Allah anugerahi ilmu pengetahuan. Seperti ucapan Nabi Yusuf (QS.12:55) kepada raja: “Aku bisa memeliharanya (hafiizh) juga punya ilmunya (‘aliim).” Bentuk pluralnya adalah ulamaa’.

QS. Yusuf[12]: 55
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Yusuf berkata: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi BERPENGETAHUAN.”

Kata ulamaa’ tersebut, sudah diserap Bahasa Indonesia, ulama, diartikan orang yang ahli agama Islam. Yang biasanya dispesifikkan dengan Ilmu Fikih (Hukum Islam). Mestinya Ilmu Al Qur’an (QS.20:114). Karena sekali lagi, di zaman Nabi masih hidup, yang disebut agama Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri.

Sebenarnya, definsi ulama menurut KBBI di atas, itu kurang tepat. Lebih tepatnya adalah definisi yang disebutkan oleh Lisan al-Arab. Yakni setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan pada umumnya. Saya senang menyebutnya, dengan istilah ilmuwan. Bisa jadi memang, salah satunya adalah Ilmu Fikih.

Sebab ilmu pengetahuan, itu tidak hanya ilmu agama Islam. Ada ilmu Perbandingan Agama, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, Neurologi, Kosmologi, Geografi, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Politik, Hukum, Manajemen, Entrepreneurship, Pertanian dan Perikanan, Kesenian dan Keterampilan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain.

Itu semua ilmu Allah. Kita pun memiliki ilmuwan Muslim yang hebat. Seperti Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Al-Kindi, Jabir bin Hayyan, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu al-Nafis, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.

Bahkan jika mengacu pada sejarah Yusuf pada QS.12:55, itu lebih menunjukkan ilmu manajemen keuangan. Atau ilmu ekonomi. Bukan hanya mengindikasikan ilmu teoritis (‘aliim), tetapi juga ilmu praktis (hafiizh). Skill.

Kata al-‘ulamaa’ sendiri, itu hanya terulang 2 kali saja (QS.26:197 dan QS.35:28). Pada QS.26:197, berbentuk frase ulama Bani Israil. Ulama di sini menunjuk pada orang yang mengetahui Qur’an. Bahwa kandungan Qur’an, itu telah disebut dalam Kitab-Kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat dan Injil. Diketahui oleh orang yang memiliki Ilmu Kitab (QS.13:43).

QS. Al-Syu’ara’[26]: 196 – 197
وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ
Sesungguhnya AL QUR’AN itu benar-benar (TERSEBUT) DALAM KITAB-KITAB ORANG TERDAHULU.

أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa PARA ULAMA BANI ISRAIL MENGETAHUINYA?!

Adapun ulama pada QS.35:28, itu lebih menunjuk kepada orang yang pakar ilmu alam dan sosial. Fenomena alam dan sosial. Atau pakar ayat kawniyah. Bukan Ilmu Fikih. Sebab ayat itu dan sebelumnya (QS.35:27) bercerita tentang hujan, aneka jenis buah-buahan, gunung-gunung, manusia dan hewan ternak.

QS. Fathir[35]: 28
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara MANUSIA, BINATANG MELATA dan HEWAN TERNAK ada yang BERMACAM-MACAM warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang TAKUT KEPADA ALLAH di antara hamba-hamba-Nya, HANYALAH ULAMA. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Sedangkan al-‘ilm terulang sebanyak 80 kali. Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata al-‘ilm itu sendiri artinya adalah mengerti hakikat sesuatu. Menurut Lisan al-Arab, kata al-‘ilm itu lawan kata al-jahl (bodoh, tidak tahu). Diserap oleh Bahasa Indonesia menjadi llmu. Mudahnya diartikan dengan pengetahuan. Ilmu ada dua macam. Ilmu teoritis (seperti ilmu alam) dan ilmu praktis (seperti ilmu teknis ibadah).

Hanya Allah yang tahu ilmu tentang hal gaib. Siapa pun tidak diberi ilmunya, kecuali kepada Rasul (QS.72:26-28). Nabi SAW misalnya lantas tahu Allah, surga, neraka, hari dibangkitkan dari kubur, pengadilan, dan seterusnya sebatas info Qur’an. Karenanya mengarang-ngarang tentang Allah tanpa ilmu itu dilarang (QS.6:144).

Tentang kiamat pun, ilmu Nabi terbatas hanya sesuai info Qur’an saja. Karena secara detail, termasuk kapan waktunya kiamat, itu termasuk ilmu gaib masa depan yang hanya Allah saja yang tahu (QS.31:34; 43:61; 67:26; QS.7:187-188 dan QS.33:63). Bahkan tentang ruh pun, itu juga sedikit ilmunya yang diberikan Allah kepada manusia (QS.17:85).

Qur’an juga menyatakan bahwa kebanyakan manusia, itu tidak berilmu (QS.12:68). Yang bisa menyesatkan orang lain, itu memang tidak punya ilmunya atau tanpa ilmu (QS.16:25; QS.6:119). Karena orang yang tidak punya ilmu, itu hanya akan selalu mengikuti prasangka (QS.45:24; QS.53:28). Bukan ilmu pengetahuan yang benar.

Umat Islam dilarang ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya (QS.17:36). Dengan kata lain, mengikuti itu harus paham ilmunya. Tidak bisa ‘pokoknya’ ikut. Iman dan Islam kita ini harus dilandasi dengan kepahaman. Karena setiap pendengaran, penglihatan dan akal (hati) akan dimintai pertanggungan jawabnya masing-masing. Tentu salah pernyataan: percaya, itu ya percaya saja. Tanpa kenapa-kenapa. Tanpa kalkulasi.

Keyakinan terhadap Al Qur’an, itu dekat dengan orang-orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (QS.22:54). Qur’an itu menjadi tanda-tanda yang gamblang akan eksistensi Allah di dada orang yang diberi ilmu pengetahuan (QS.29:49). Wajar kalau Allah pun mengapresiasi orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan dilebihkan derajatnya (QS.58:11).

Ilmu diberikan Allah, itu seiring dengan kematangan akal seseorang dan sebagai balasan kebaikan yang dilakukan (QS.12:22; QS.28:14). Qur’an pun menceritakan Nabi Luth yang Allah beri Hikmah dan Ilmu pengetahuan (QS.21:74). Begitu juga Nabi Daud dan Nabi Sulaiman (QS.21:79; QS.27:15).

Adapun yang terkenal dengan istilah Ilmu Ladunni, itu sebenarnya salah istilah. Yang benar adalah Ilmu Ladunnaa (QS.18:65). Ladunniy berarti ‘ilmu dari sisi-Ku’. Kalau ladunnaa berarti ‘ilmu dari sisi Kami’. Ayat itu bercerita tentang Musa dan asistennya, bertemu seorang Nabi (umumnya disebut Khidir) yang sudah mendapat pesan Tuhan.

Redaksi ‘Kami’ pada QS.18:65, itu mengindikasikan Allah memberikan wahyu kepada Khidir dengan melibatkan pihak lain. Pihak lain tersebut adalah Jibril. Karenanya di ayat-ayat selanjutnya, Khidir bisa tahu masa depan dan melakukan tindakan yang salah menurut Musa. Tetapi kemudian dijelaskan oleh Khidir. “Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri,” kata Khidir (QS.18:82).

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, dll.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...