—Saiful Islam*—
“Qur’an, itu bukan hanya untuk
ulama, sarjana, bahkan Nabi. Tetapi juga untuk orang paling awam sekalipun yang
tulus mencari petunjuk…”
Sparring partner (kawan diskusi)
saya yang hafal Qur’an menulis begini:
Al Qur’an diturunkan berbahasa
Arab. Sedangkan Bahasa Arab sudah ada sebelum turunnya Al Qur’an. Karena pakai
Bahasa Arab, MAKA HARUS IKUT TATA CARA BAHASA ARAB. Memahaminya juga begitu.
Di lain kesempatan, ia juga menulis
begini:
Menurut saya Qur’an adalah yang
pertama. Tapi HARUS DIBELAKANGKAN. Bukan menghina, tetapi karena bahasanya
terlalu tinggi dan juga balaghoh-nya (sastranya).
Artinya belajar Bahasa Arab dulu
sejauh mungkin. Kemudian sastranya juga sejauh mungkin. Baru kemudian
kandungannya. Karena kandungan yang terang tergantung bahasa yang hanya
orang-orang tertentu memahaminya tergantung sastra.
Yang bingung memahaminya bahkan
kadang kala perlu dikhawatirkan ya tentunya mereka yang mendalami Qur’an tanpa
bahasa dan sastra.
Tapi kalau Saiful Islam bahasa
tentunya sudah mahir. Jadi saya sepakat tetapi kadang juga tidak sepakat.
***
Baiklah. Berikut tanggapan saya.
Saya memang belajar Bahasa Arab.
Baik ala pesantren dari guru yang sabarnya luar biasa: mulai dari kitab
Tashrif, Kaylany, Nazhmul Maqshud, Jurmiyah, Mutammimah, sampai Ibnu Aqil syarh
Alfiyah Ibnu Malik. Maupun ala kampus: Intensif Bahasa Arab. Serta teori Sastra
Arab (Balaghah), terutama di kampus, dan kaidah-kaidah tafsir Qur’an dari sisi
Bahasa Arab-nya. Juga dari buku yang lain.
Meski begitu, pertama saya belum
mahir. Masih harus selalu belajar. Dari siapa saja dan dari buku apa saja.
Kedua, saya akan menggunakannya untuk memahami Qur’an terutama. Tentu saja,
dengan posisi di bawah Qur’an. Kalau bicara Islam, tidak pernah ada rujukan
yang posisinya lebih tinggi dari Qur’an. Jangankan lebih tinggi, yang sejajar
Qur’an pun, itu tidak ada.
Penting untuk saya tegaskan di sini:
semua rujukan Islam selain Qur’an, itu sebatas dugaan (zhanny). Tidak
ada yang pasti kebenarannya. Baik itu Hadis, Sejarah (Tarikh), Biografi
(Sirah), dan seterusnya. Termasuk semua teori Bahasa Arab. Satu-satunya yang
pasti benarnya, itu hanya Qur’an.
Kenapa? Karena hanya Qur’an yang
pasti keluar dari mulut Nabi di abad ke-7 Masehi itu. Semua rujukan Islam
selain Qur’an, termasuk Tata Bahasa Arab (Nahwu atau Grammar), itu ditulis,
diteorikan, atau dibuat belakangan. Dengan kata lain, ketika Nabi masih hidup,
Tata Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, itu belum ada.
Al Qur’an, itu memang Bahasa Arab.
Disampaikan oleh Nabi yang juga orang Arab. Audiens pertama Qur’an, adalah
orang-orang Arab. Tentu supaya dipahami agar mereka mendapat petunjuk, lantas
menyembah Tuhan yang benar. Bersosial, berekonomi, berpolitik, dan berhukum
yang benar. Tetapi secara teori (Nahwu, Balaghah dan cabang-cabangnya), itu
tidak ada ketika Qur’an turun.
Secara praktik berbahasa (verbal
atau vocal atau berbicara) secara alamiah, Bahasa Arab, itu memang betul sudah
ada. Mungkin sejak Nabi Ibrahim atau Nabi Ismail. Tetapi secara teori—Nahwu,
Balaghah, dan sebagainya—Bahasa Arab, itu diciptakan sekitar seratus tahun
setelah Qur’an sempurna diturunkan. Semakin ke belakang, semakin disempurnakan.
Begitu memang sifat dari sebuah
teori. Dengan kata lain, teori itu baru lahir dari kejadian dan praktik langsung
kehidupan sehari-hari. Kejadian-kejadian di dalam kehidupan ini diamati.
Diobservasi. Kemudian dilaporkan dan disistematiskan menjadi sebuah teori.
Terus disempurnakan seiring dengan berjalannya waktu dan penemuan-penemuan
terbaru. Termasuk teori Bahasa Arab.
Jadi, Qur’an dulu ada. Sekitar
seratus tahun kemudian, barulah teori Bahasa Arab (Nahwu), itu ada. Teori
Bahasa Arab, itu mengacu kepada Qur’an. Jelas sekali. Qur’an lah yang menjadi
induk dari teori Bahasa Arab. Bukan kebalik, Qur’an diharuskan mengacu kepada
teori Bahasa Arab. Teori Bahasa Arab, itu harus sesuai Qur’an. Bukan kebalik,
Qur’an yang diharuskan sesuai dengan teori Bahasa Arab yang dibuat manusia dan
sangat belakangan itu.
Mari kita lihat sejarahnya. Ada
yang menyebut bahwa ahli gramatika Arab yang pertama adalah Ibnu Abi Ishaq yang
wafat 735M/ 117 H. Yakni sekitar 114 tahun setelah wafatnya Nabi (w. 632M/ 13
H).
Yang lain menyatakan bahwa teori
Bahasa Arab, itu bermula sejak kepemimpinan Umar bin Khattab. Yaitu sekitar
tahun 634 – 644 M. Ada pun yang menyebut sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Yakni sekitar tahun 656 – 661 M. Dengan tokoh penyusunnnya adalah Abu Aswad
al-Du’ali.
Abu Aswad al-Du’ali menyusun Nahwu,
itu membutuhkan waktu 3 hari saja. Ia mulai membagi kata itu menjadi ism
(kata benda atau kata sifat), fi’l (kata kerja), dan hurf
(semacam kata bantu dan kata hubung). Sudah dijelaskan pula tentang kaidah
Bahasa Arab-nya.
Aturan atau kaidah tata Bahasa Arab
(Nahwu), itu kemudian dikembangkan lebih lanjut pada akhir abad ke-8 M oleh
para ahli Bahasa dari aliran Basrah dan Kufah (dua kota ini berada di Negara
Iraq). Tokoh Basrah yang terkenal adalah Abu Amru bin al-A’la, al-Farahidi, dan
Sibawaih. Sedangkan tokoh Kufah antara lain adalah Abu Ja’far al-Ru’asi. Aliran
Basrah lebih ke bahasa analisis. Sedangkan Kufah lebih ke puisi dan budaya
Arab.
Di kalangan pesantren, buku tata
Bahasa Arab yang diagung-agungkan itu biasanya adalah Al-Jurrumiyah dan Alfiyah
Ibnu Malik. Bahkan yang terakhir, ini kedudukannya sudah hampir seperti
dewa. Alhamdulillah, saya sudah hatam kedua kitab itu (untuk yang Alfiyah saya
hatamkan versi syarahnya/tafsirnya juga: Ibnu Aqil). Meskipun kalau soal paham,
itu lain hal lagi. Tapi begini.
Buku tata Bahasa Arab, Al-Jurrumiyah
atau Jurumiyah, itu ditulis pada abad ke-7 H/ 13 M. Alias sekitar 600
tahun setelah Qur’an sempurna diturunkan. Al-Jurrumiyah itu ditulis oleh
orang Maroko yang bernama Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud al-Shanhaji yang
wafat tahun 1324 M.
Alfiyah Ibnu Malik pun demikian.
Ditulis sangat belakangan. Juga bukan oleh orang Arab. Aslinya buku (kitab) ini
berjudul Al-Khulasa al-Alfiyya. Merupakan buku tata Bahasa Arab yang
dibuat syair dari abad ke-13 M. Ditulis oleh orang Spanyol yang bernama Ibnu
Malik (w. 1274 M). Alias juga sekitar 600 tahun setelah Qur’an sempurna
diwahyukan.
Versi penjelas atau tafsirnya (syarh
Alfiyah Ibnu Malik) yang sudah saya hatamkan, itu adalah Ibnu Aqil—orang
Aleppo (Suriah) yang pernah bekerja di Mesir. Beliau wafat tahun 769 H. Jadi
semakin belakangan lagi. Yakni sekitar hampir 800 tahun setelah Qur’an sempurna
diturunkan.
Ilmu Nahwu, itu menjadi ilmu bantu
untuk memahami Qur’an. Ingat ya, ilmu bantu. Ia hanya salah satu alat untuk
memahami Qur’an yang memang berbahasa Arab. Tetapi jelas salah kalau ada ayat
yang dianggap tidak sesuai dengan Nahwu, langsung disimpulkan Qur’an salah. Ini
namanya mengukur Qur’an dengan Nahwu. Padahal yang benar, itu mengukur Nahwu
dengan Qur’an. Jangan kebalik.
Cara pikir yang terbalik, itulah
yang dilakukan oleh kalangan orang-orang murtad (murtadin). Contoh
kasusnya ada beberapa. Salah satunya misalnya pada QS.16:66 berikut.
QS. Al-Nahl[16]: 66
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ
لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ
بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
Sesungguhnya pada BINATANG-BINATANG
TERNAK itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari
pada apa yang berada dalam PERUTNYA (berupa) susu yang bersih antara tahi dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
Kalau diukur dengan Nahwu, memang
tampak salah. Tepatnya pada kata ganti ‘hii’ pada frase ‘buthuunihii’
(perutnya). Padahal di depan, binatang ternak, itu disebut jamak (plural).
Yakni binatang-binatang ternak (an’aam). Mestinya (secara Nahwu) kata
ganti (dhomir/pronoun) untuk jamak an’aam, itu adalah ‘haa’.
Bukan ‘hii’. Apalagi di QS.23:21, jelas kata ganti yang ‘benar’ itu
adalah ‘haa’.
QS. Al-Mukminun[23]: 21
وَإِنَّ لَكُمْ فِي
الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهَا وَلَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ كَثِيرَةٌ
وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Dan sesungguhnya pada BINATANG-BINATANG
TERNAK, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu. Kami memberi
minum kamu dari air susu yang ada dalam PERUTNYA, dan (juga) pada
binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan
sebagian daripadanya kamu makan.
Jelas, kesimpulan demikian
disebabkan oleh cara pikir yang kebalik itu. Juga tidak paham kritik fakta
historis. Qur’an adalah induk Nahwu. Nahwu-lah yang bersumber dari Qur’an.
Bukan Qur’an yang harus cocok dengan Nahwu.
Menurut saya, baik QS.16:66 maupun
QS.23:21, itu sama-sama benarnya. Sebab pemahaman, itu tidak hanya dilihat dari
teksnya. Atau kata per katanya. Tetapi dilihat secara konteks keseluruhan
kalimatnya. Serta topiknya. Harus dilhat secara konteks masuk akalnya.
Substansinya. Jadi mau pakai ‘hii’ atau ‘haa’ atau seandainya ‘hum’
atau ‘hunna’ dan sebagainya. Yang jelas secara konteks masuk akalnya,
yang dimaksud adalah perut binatang ternak itu. Itulah substansinya.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab….
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar