Selasa, 01 September 2020

QUR’AN INDUK NAHWU


—Saiful Islam*—

“Qur’an, itu bukan hanya untuk ulama, sarjana, bahkan Nabi. Tetapi juga untuk orang paling awam sekalipun yang tulus mencari petunjuk…”

Sparring partner (kawan diskusi) saya yang hafal Qur’an menulis begini:

Al Qur’an diturunkan berbahasa Arab. Sedangkan Bahasa Arab sudah ada sebelum turunnya Al Qur’an. Karena pakai Bahasa Arab, MAKA HARUS IKUT TATA CARA BAHASA ARAB. Memahaminya juga begitu.

Di lain kesempatan, ia juga menulis begini:

Menurut saya Qur’an adalah yang pertama. Tapi HARUS DIBELAKANGKAN. Bukan menghina, tetapi karena bahasanya terlalu tinggi dan juga balaghoh-nya (sastranya).

Artinya belajar Bahasa Arab dulu sejauh mungkin. Kemudian sastranya juga sejauh mungkin. Baru kemudian kandungannya. Karena kandungan yang terang tergantung bahasa yang hanya orang-orang tertentu memahaminya tergantung sastra.

Yang bingung memahaminya bahkan kadang kala perlu dikhawatirkan ya tentunya mereka yang mendalami Qur’an tanpa bahasa dan sastra.

Tapi kalau Saiful Islam bahasa tentunya sudah mahir. Jadi saya sepakat tetapi kadang juga tidak sepakat.

***
Baiklah. Berikut tanggapan saya.

Saya memang belajar Bahasa Arab. Baik ala pesantren dari guru yang sabarnya luar biasa: mulai dari kitab Tashrif, Kaylany, Nazhmul Maqshud, Jurmiyah, Mutammimah, sampai Ibnu Aqil syarh Alfiyah Ibnu Malik. Maupun ala kampus: Intensif Bahasa Arab. Serta teori Sastra Arab (Balaghah), terutama di kampus, dan kaidah-kaidah tafsir Qur’an dari sisi Bahasa Arab-nya. Juga dari buku yang lain.

Meski begitu, pertama saya belum mahir. Masih harus selalu belajar. Dari siapa saja dan dari buku apa saja. Kedua, saya akan menggunakannya untuk memahami Qur’an terutama. Tentu saja, dengan posisi di bawah Qur’an. Kalau bicara Islam, tidak pernah ada rujukan yang posisinya lebih tinggi dari Qur’an. Jangankan lebih tinggi, yang sejajar Qur’an pun, itu tidak ada.

Penting untuk saya tegaskan di sini: semua rujukan Islam selain Qur’an, itu sebatas dugaan (zhanny). Tidak ada yang pasti kebenarannya. Baik itu Hadis, Sejarah (Tarikh), Biografi (Sirah), dan seterusnya. Termasuk semua teori Bahasa Arab. Satu-satunya yang pasti benarnya, itu hanya Qur’an.

Kenapa? Karena hanya Qur’an yang pasti keluar dari mulut Nabi di abad ke-7 Masehi itu. Semua rujukan Islam selain Qur’an, termasuk Tata Bahasa Arab (Nahwu atau Grammar), itu ditulis, diteorikan, atau dibuat belakangan. Dengan kata lain, ketika Nabi masih hidup, Tata Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, itu belum ada.

Al Qur’an, itu memang Bahasa Arab. Disampaikan oleh Nabi yang juga orang Arab. Audiens pertama Qur’an, adalah orang-orang Arab. Tentu supaya dipahami agar mereka mendapat petunjuk, lantas menyembah Tuhan yang benar. Bersosial, berekonomi, berpolitik, dan berhukum yang benar. Tetapi secara teori (Nahwu, Balaghah dan cabang-cabangnya), itu tidak ada ketika Qur’an turun.

Secara praktik berbahasa (verbal atau vocal atau berbicara) secara alamiah, Bahasa Arab, itu memang betul sudah ada. Mungkin sejak Nabi Ibrahim atau Nabi Ismail. Tetapi secara teori—Nahwu, Balaghah, dan sebagainya—Bahasa Arab, itu diciptakan sekitar seratus tahun setelah Qur’an sempurna diturunkan. Semakin ke belakang, semakin disempurnakan.

Begitu memang sifat dari sebuah teori. Dengan kata lain, teori itu baru lahir dari kejadian dan praktik langsung kehidupan sehari-hari. Kejadian-kejadian di dalam kehidupan ini diamati. Diobservasi. Kemudian dilaporkan dan disistematiskan menjadi sebuah teori. Terus disempurnakan seiring dengan berjalannya waktu dan penemuan-penemuan terbaru. Termasuk teori Bahasa Arab.

Jadi, Qur’an dulu ada. Sekitar seratus tahun kemudian, barulah teori Bahasa Arab (Nahwu), itu ada. Teori Bahasa Arab, itu mengacu kepada Qur’an. Jelas sekali. Qur’an lah yang menjadi induk dari teori Bahasa Arab. Bukan kebalik, Qur’an diharuskan mengacu kepada teori Bahasa Arab. Teori Bahasa Arab, itu harus sesuai Qur’an. Bukan kebalik, Qur’an yang diharuskan sesuai dengan teori Bahasa Arab yang dibuat manusia dan sangat belakangan itu.

Mari kita lihat sejarahnya. Ada yang menyebut bahwa ahli gramatika Arab yang pertama adalah Ibnu Abi Ishaq yang wafat 735M/ 117 H. Yakni sekitar 114 tahun setelah wafatnya Nabi (w. 632M/ 13 H).

Yang lain menyatakan bahwa teori Bahasa Arab, itu bermula sejak kepemimpinan Umar bin Khattab. Yaitu sekitar tahun 634 – 644 M. Ada pun yang menyebut sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Yakni sekitar tahun 656 – 661 M. Dengan tokoh penyusunnnya adalah Abu Aswad al-Du’ali.

Abu Aswad al-Du’ali menyusun Nahwu, itu membutuhkan waktu 3 hari saja. Ia mulai membagi kata itu menjadi ism (kata benda atau kata sifat), fi’l (kata kerja), dan hurf (semacam kata bantu dan kata hubung). Sudah dijelaskan pula tentang kaidah Bahasa Arab-nya.

Aturan atau kaidah tata Bahasa Arab (Nahwu), itu kemudian dikembangkan lebih lanjut pada akhir abad ke-8 M oleh para ahli Bahasa dari aliran Basrah dan Kufah (dua kota ini berada di Negara Iraq). Tokoh Basrah yang terkenal adalah Abu Amru bin al-A’la, al-Farahidi, dan Sibawaih. Sedangkan tokoh Kufah antara lain adalah Abu Ja’far al-Ru’asi. Aliran Basrah lebih ke bahasa analisis. Sedangkan Kufah lebih ke puisi dan budaya Arab.

Di kalangan pesantren, buku tata Bahasa Arab yang diagung-agungkan itu biasanya adalah Al-Jurrumiyah dan Alfiyah Ibnu Malik. Bahkan yang terakhir, ini kedudukannya sudah hampir seperti dewa. Alhamdulillah, saya sudah hatam kedua kitab itu (untuk yang Alfiyah saya hatamkan versi syarahnya/tafsirnya juga: Ibnu Aqil). Meskipun kalau soal paham, itu lain hal lagi. Tapi begini.

Buku tata Bahasa Arab, Al-Jurrumiyah atau Jurumiyah, itu ditulis pada abad ke-7 H/ 13 M. Alias sekitar 600 tahun setelah Qur’an sempurna diturunkan. Al-Jurrumiyah itu ditulis oleh orang Maroko yang bernama Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud al-Shanhaji yang wafat tahun 1324 M.

Alfiyah Ibnu Malik pun demikian. Ditulis sangat belakangan. Juga bukan oleh orang Arab. Aslinya buku (kitab) ini berjudul Al-Khulasa al-Alfiyya. Merupakan buku tata Bahasa Arab yang dibuat syair dari abad ke-13 M. Ditulis oleh orang Spanyol yang bernama Ibnu Malik (w. 1274 M). Alias juga sekitar 600 tahun setelah Qur’an sempurna diwahyukan.

Versi penjelas atau tafsirnya (syarh Alfiyah Ibnu Malik) yang sudah saya hatamkan, itu adalah Ibnu Aqil—orang Aleppo (Suriah) yang pernah bekerja di Mesir. Beliau wafat tahun 769 H. Jadi semakin belakangan lagi. Yakni sekitar hampir 800 tahun setelah Qur’an sempurna diturunkan.

Ilmu Nahwu, itu menjadi ilmu bantu untuk memahami Qur’an. Ingat ya, ilmu bantu. Ia hanya salah satu alat untuk memahami Qur’an yang memang berbahasa Arab. Tetapi jelas salah kalau ada ayat yang dianggap tidak sesuai dengan Nahwu, langsung disimpulkan Qur’an salah. Ini namanya mengukur Qur’an dengan Nahwu. Padahal yang benar, itu mengukur Nahwu dengan Qur’an. Jangan kebalik.

Cara pikir yang terbalik, itulah yang dilakukan oleh kalangan orang-orang murtad (murtadin). Contoh kasusnya ada beberapa. Salah satunya misalnya pada QS.16:66 berikut.

QS. Al-Nahl[16]: 66
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
Sesungguhnya pada BINATANG-BINATANG TERNAK itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam PERUTNYA (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.

Kalau diukur dengan Nahwu, memang tampak salah. Tepatnya pada kata ganti ‘hii’ pada frase ‘buthuunihii’ (perutnya). Padahal di depan, binatang ternak, itu disebut jamak (plural). Yakni binatang-binatang ternak (an’aam). Mestinya (secara Nahwu) kata ganti (dhomir/pronoun) untuk jamak an’aam, itu adalah ‘haa’. Bukan ‘hii’. Apalagi di QS.23:21, jelas kata ganti yang ‘benar’ itu adalah ‘haa’.

QS. Al-Mukminun[23]: 21
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهَا وَلَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Dan sesungguhnya pada BINATANG-BINATANG TERNAK, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu. Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam PERUTNYA, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan.

Jelas, kesimpulan demikian disebabkan oleh cara pikir yang kebalik itu. Juga tidak paham kritik fakta historis. Qur’an adalah induk Nahwu. Nahwu-lah yang bersumber dari Qur’an. Bukan Qur’an yang harus cocok dengan Nahwu.

Menurut saya, baik QS.16:66 maupun QS.23:21, itu sama-sama benarnya. Sebab pemahaman, itu tidak hanya dilihat dari teksnya. Atau kata per katanya. Tetapi dilihat secara konteks keseluruhan kalimatnya. Serta topiknya. Harus dilhat secara konteks masuk akalnya. Substansinya. Jadi mau pakai ‘hii’ atau ‘haa’ atau seandainya ‘hum’ atau ‘hunna’ dan sebagainya. Yang jelas secara konteks masuk akalnya, yang dimaksud adalah perut binatang ternak itu. Itulah substansinya.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...