—Saiful Islam*—
“Hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan generasi lemah di belakang mereka…”
(QS.4:9)
Menurut perspektif sejarah, tingkat
literasi populasi dunia meningkat secara drastis dalam dua abad terakhir. Pada
tahun 1820, hanya 12 persen manusia di dunia yang mampu membaca dan menulis.
Kini sudah berbalik. Pada tahun 2016, hanya 14 persen saja populasi di dunia
yang tidak bisa membaca dan menulis. Tingkat literasi global meningkat 4 persen
setiap 5 tahun pada lebih dari 65 tahun terakhir—dari 42 persen pada 1960
menjadi 86 persen pada 2015.
Banyak analisis menyatakan bahwa
tingkat literasi itu merupakan ukuran sangat penting untuk menilai sumber daya
manusia di sebuah wilayah. Misalnya, orang-orang yang mempunyai kemampuan
literasi itu lebih mudah dilatih. Dan secara umum, mereka mempunyai status
sosial lebih tinggi. Karenanya, mereka bisa menikmati kesehatan dan prospek
kerja yang lebih baik. Komunitas internasional pun menyatakan bahwa literasi
itu menjadi fasilitator kunci dan tujuan pembangunan.
Terbukti. Mayoritas tahanan itu
tidak memiliki kemampuan literasi. Di penjara Edinburgh—pemenang 2010
Libraries Change Lives Award pernah merilis pernyataan menarik. Bahwa
perpustakaan telah menjadi landasan penting bagi strategi literasi penjara.
Dengan strategi tersebut, para pelaku kriminal bisa dikurangi. Dan mereka bisa
bekerja dengan layak hingga memperoleh status sosial ekonomi yang lebih tinggi.
Ketidakmampuan literasi terkait
dengan kurangnya pengetahuann modern tentang kebiasaan hidup sehat dan
bersih—ketidaksadaran terhadap isu-isu kesehatan. Secara khusus di
negara-negara berkembang, tingkat literasi berdampak pada kematian anak. Yaitu
para ibu yang memiliki kemampuan literasi, berpeluang besar memiliki anak yang
terus hidup di atas usia 5 tahun. Mereka lebih berhasil mengakses sistem kelayakan
kesehatan.
Literasi juga mampu meningkatkan
peluang kerja serta akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Pada tahun 2009, The
National Adult Literacy Agency (NALA) di Irlandia, menganalisis keuntungan
dari pelatihan literasi bagi kalangan dewasa. Kesimpulannya adalah ada
keuntungan per individu, perusahaan tempat mereka kerja dan peningkatan ekonomi
secara umum di sebuah negara. Contohnya adalah peningkatan Produk Domestik Bruto—salah
satu indikator penting untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara.
Sumber lain (laubach-on.ca)
menyatakan bahwa sebanyak 42 persen orang dewasa di Kanada, itu tidak memiliki
kemampuan literasi minimal untuk mengatasi masalah kerja dan kehidupan
sehari-hari. Dan 15 persen dan 42 persen itu, mengalami kesulitan secara serius
ketika berhadapan dengan bahan-bahan cetak. Lantas disimpulkan bahwa kemampuan
literasi yang rendah, itu terkait langsung dengan kemiskinan, kesehatan yang
buruk dan pengangguran.
“Kesejahteraan ekononomi dari
setiap bangsa, sangat terkait dengan literasi penduduknya,” tegas John
Miller—presiden Central Connecticut State University. “Masyarakat yang
tidak melakukan praktek literasi, sering terlantar dan kurang gizi. Baik
jiwanya maupun tubuhnya. Serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan harkat
martabat, brutal dan kejam,” lanjutnya.
UNESCO Institute for Lifelong
Learning pun telah mendeklarasikan peran sentral literasi dalam merespon
tantangan pembangunan yang berkelanjutan. Seperti kesehatan, keadilan sosial,
pemberdayaan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Sementara itu, data berikut ini adalah
hasil penelitian, pertama dari Program for International Student
Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisation for Economic
Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015.
Responden penelitian itu adalah
anak-anak sekolah berjumlah sekitar 540 ribu yang berusia 15 tahun.
Untuk kategori performa membaca, ditunjukkan
sebagai berikut: Singapura (rangking 1 dengan skor 535), Kanada (urutan 2 skor
527), Hongkong (urutan 3 skor 527), Finlandia (urutan 4 skor 526), Korea (peringkat
7 skor 517), Jepang (rangking 8 skor 516), Jerman (urutan 10 skor 509) dan
posisi Amerika di urutan 24 dengan skor 497.
Indonesia sendiri berada di posisi ke-44
dengan skor 397. Di atasnya (rangking 43) ada Peru dengan skor 398. Tunisia
(urutan 45 skor 361), selanjutnya ada Republik Dominika (skor 358), FYROM (skor
352), Aljazair (skor 350), Kosovo (skor 347) dan Lebanon yang meraih skor 347.
Yang kedua adalah peringkat
literasi dari Central Connecticut State University (CCSU), berjudul World’s
Most Literate Nations yang diumumkan Maret 2016 lalu.
Pemeringkatan itu didasarkan pada
indikator kesehatan literasi negara. Yaitu perpustakaan, surat kabar,
pendidikan, dan ketersediaan komputer. Di samping performa literasi
masyarakatnya itu sendiri. Jadi diukur dari dua sisi: performa literasi dan
media pendukungnya.
“The Nordic countries dominated the
top of the charts, with Finland in first place and Norway in second, and
Iceland, Denmark and Sweden rounding out the top five. Switzerland follows in
sixth, with the US in seventh, Canada in 11th, France in 12th and the UK in
17th place. Botswana was last, in 61st place, behind Indonesia in 60th and
Thailand in 59th.”
Jadi menurut laporan
theguardian.com di atas, mulai dari negara peringat 5 besar urutannya sebagai
berikut: Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Adapun Swiss
berada di posisi ke-6, Amerika ke-7, Kanada ke-11, Prancis ke-12, Inggris
ke-17. Thailand berada di urutan ke-59. Peringkat paling buncit (ke-61) diduduki
oleh Botswana.
Sedangkan Indonesia sendiri, berada
di urutan kedua dari bawah. Yakni peringkat ke-60.
Dengan demikian, meningkatkan kemampuan
literasi, ini menjadi tugas kita bersama. Sudah semestinya masyarakat dan
pemerintah bekerja sama, bahu membahu, saling mendukung untuk tujuan yang
sangat mulia ini. Menciptakan manusia Indonesia yang tidak hanya kuat iman dan
takwanya (IMTAK), tetapi juga kokoh ilmu pengetahuan dan teknologinya (IPTEK).
Menuju insan kamil. Bangsa yang selamat, sukses dan bahagia dunia akhirat.
Langkah kecil bisa dilakukan.
Misalnya menyediakan ruang khusus untuk perpustakaan sederhana di rumah.
Perpustakaan adalah jantungnya rumah.
Orang tua pun bisa rutin membacakan
buku cerita atau buku ilmu pengetahuan kepada anak-anak. Menentukan waktu
belajar anak. Menunjukkan kecintaan kepada buku. Baik yang dicetak maupun yang
digital. Membatasi menonton TV dan bermain gawai (gadget). Mengajak anak
ke perpustakaan kota atau berkunjung ke taman-taman baca kota terdekat.
Juga mendorong anak untuk
bercerita, baik lisan maupun tulisan. Mengajak anak dialog atau mendiskusikan
sebuah buku. Mengajak anak bermain yang bersifat edukatif dan membuat
keterampilan. Mengajak anak ke toko buku. Membelikan anak buku-buku berkualitas
yang mereka senangi. Mendorong anak untuk menulis bebas di buku catatan
hariannya (diary). Sampai orang tua menjadi contoh langsung dengan gemar
membaca buku, mencintai ilmu, dan menulis.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar