Sabtu, 05 September 2020

MENYALAKAN CAHAYA LITERASI

 

—Saiful Islam*—

 “Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan generasi lemah di belakang mereka…” (QS.4:9)

 Menurut perspektif sejarah, tingkat literasi populasi dunia meningkat secara drastis dalam dua abad terakhir. Pada tahun 1820, hanya 12 persen manusia di dunia yang mampu membaca dan menulis. Kini sudah berbalik. Pada tahun 2016, hanya 14 persen saja populasi di dunia yang tidak bisa membaca dan menulis. Tingkat literasi global meningkat 4 persen setiap 5 tahun pada lebih dari 65 tahun terakhir—dari 42 persen pada 1960 menjadi 86 persen pada 2015.

 Banyak analisis menyatakan bahwa tingkat literasi itu merupakan ukuran sangat penting untuk menilai sumber daya manusia di sebuah wilayah. Misalnya, orang-orang yang mempunyai kemampuan literasi itu lebih mudah dilatih. Dan secara umum, mereka mempunyai status sosial lebih tinggi. Karenanya, mereka bisa menikmati kesehatan dan prospek kerja yang lebih baik. Komunitas internasional pun menyatakan bahwa literasi itu menjadi fasilitator kunci dan tujuan pembangunan.

 Terbukti. Mayoritas tahanan itu tidak memiliki kemampuan literasi. Di penjara Edinburgh—pemenang 2010 Libraries Change Lives Award pernah merilis pernyataan menarik. Bahwa perpustakaan telah menjadi landasan penting bagi strategi literasi penjara. Dengan strategi tersebut, para pelaku kriminal bisa dikurangi. Dan mereka bisa bekerja dengan layak hingga memperoleh status sosial ekonomi yang lebih tinggi.

 Ketidakmampuan literasi terkait dengan kurangnya pengetahuann modern tentang kebiasaan hidup sehat dan bersih—ketidaksadaran terhadap isu-isu kesehatan. Secara khusus di negara-negara berkembang, tingkat literasi berdampak pada kematian anak. Yaitu para ibu yang memiliki kemampuan literasi, berpeluang besar memiliki anak yang terus hidup di atas usia 5 tahun. Mereka lebih berhasil mengakses sistem kelayakan kesehatan.

 Literasi juga mampu meningkatkan peluang kerja serta akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Pada tahun 2009, The National Adult Literacy Agency (NALA) di Irlandia, menganalisis keuntungan dari pelatihan literasi bagi kalangan dewasa. Kesimpulannya adalah ada keuntungan per individu, perusahaan tempat mereka kerja dan peningkatan ekonomi secara umum di sebuah negara. Contohnya adalah peningkatan Produk Domestik Bruto—salah satu indikator penting untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara.

 Sumber lain (laubach-on.ca) menyatakan bahwa sebanyak 42 persen orang dewasa di Kanada, itu tidak memiliki kemampuan literasi minimal untuk mengatasi masalah kerja dan kehidupan sehari-hari. Dan 15 persen dan 42 persen itu, mengalami kesulitan secara serius ketika berhadapan dengan bahan-bahan cetak. Lantas disimpulkan bahwa kemampuan literasi yang rendah, itu terkait langsung dengan kemiskinan, kesehatan yang buruk dan pengangguran.

 “Kesejahteraan ekononomi dari setiap bangsa, sangat terkait dengan literasi penduduknya,” tegas John Miller—presiden Central Connecticut State University. “Masyarakat yang tidak melakukan praktek literasi, sering terlantar dan kurang gizi. Baik jiwanya maupun tubuhnya. Serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan harkat martabat, brutal dan kejam,” lanjutnya.

 UNESCO Institute for Lifelong Learning pun telah mendeklarasikan peran sentral literasi dalam merespon tantangan pembangunan yang berkelanjutan. Seperti kesehatan, keadilan sosial, pemberdayaan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.

 Sementara itu, data berikut ini adalah hasil penelitian, pertama dari Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015.

 Responden penelitian itu adalah anak-anak sekolah berjumlah sekitar 540 ribu yang berusia 15 tahun.

 Untuk kategori performa membaca, ditunjukkan sebagai berikut: Singapura (rangking 1 dengan skor 535), Kanada (urutan 2 skor 527), Hongkong (urutan 3 skor 527), Finlandia (urutan 4 skor 526), Korea (peringkat 7 skor 517), Jepang (rangking 8 skor 516), Jerman (urutan 10 skor 509) dan posisi Amerika di urutan 24 dengan skor 497.

 Indonesia sendiri berada di posisi ke-44 dengan skor 397. Di atasnya (rangking 43) ada Peru dengan skor 398. Tunisia (urutan 45 skor 361), selanjutnya ada Republik Dominika (skor 358), FYROM (skor 352), Aljazair (skor 350), Kosovo (skor 347) dan Lebanon yang meraih skor 347.

 Yang kedua adalah peringkat literasi dari Central Connecticut State University (CCSU), berjudul World’s Most Literate Nations yang diumumkan Maret 2016 lalu.

 Pemeringkatan itu didasarkan pada indikator kesehatan literasi negara. Yaitu perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Di samping performa literasi masyarakatnya itu sendiri. Jadi diukur dari dua sisi: performa literasi dan media pendukungnya.

 “The Nordic countries dominated the top of the charts, with Finland in first place and Norway in second, and Iceland, Denmark and Sweden rounding out the top five. Switzerland follows in sixth, with the US in seventh, Canada in 11th, France in 12th and the UK in 17th place. Botswana was last, in 61st place, behind Indonesia in 60th and Thailand in 59th.”

 Jadi menurut laporan theguardian.com di atas, mulai dari negara peringat 5 besar urutannya sebagai berikut: Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Adapun Swiss berada di posisi ke-6, Amerika ke-7, Kanada ke-11, Prancis ke-12, Inggris ke-17. Thailand berada di urutan ke-59. Peringkat paling buncit (ke-61) diduduki oleh Botswana.

 Sedangkan Indonesia sendiri, berada di urutan kedua dari bawah. Yakni peringkat ke-60.

 Dengan demikian, meningkatkan kemampuan literasi, ini menjadi tugas kita bersama. Sudah semestinya masyarakat dan pemerintah bekerja sama, bahu membahu, saling mendukung untuk tujuan yang sangat mulia ini. Menciptakan manusia Indonesia yang tidak hanya kuat iman dan takwanya (IMTAK), tetapi juga kokoh ilmu pengetahuan dan teknologinya (IPTEK). Menuju insan kamil. Bangsa yang selamat, sukses dan bahagia dunia akhirat.

 Langkah kecil bisa dilakukan. Misalnya menyediakan ruang khusus untuk perpustakaan sederhana di rumah. Perpustakaan adalah jantungnya rumah.

 Orang tua pun bisa rutin membacakan buku cerita atau buku ilmu pengetahuan kepada anak-anak. Menentukan waktu belajar anak. Menunjukkan kecintaan kepada buku. Baik yang dicetak maupun yang digital. Membatasi menonton TV dan bermain gawai (gadget). Mengajak anak ke perpustakaan kota atau berkunjung ke taman-taman baca kota terdekat.

 Juga mendorong anak untuk bercerita, baik lisan maupun tulisan. Mengajak anak dialog atau mendiskusikan sebuah buku. Mengajak anak bermain yang bersifat edukatif dan membuat keterampilan. Mengajak anak ke toko buku. Membelikan anak buku-buku berkualitas yang mereka senangi. Mendorong anak untuk menulis bebas di buku catatan hariannya (diary). Sampai orang tua menjadi contoh langsung dengan gemar membaca buku, mencintai ilmu, dan menulis.

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...