—Saiful Islam*—
“Sudah saatnya wirid Qur’an yang
benar…”
Kita juga sering mendengar wirid
dengan Qur’an. Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus mengartikan kata wird
dengan wirid, baca-bacaan zikir, doa yang dibiasakan membacanya. Versi Al-Munawwir,
kata al-wird artinya wirid, bacaan-bacaan (zikir, doa).
Realitas masyarakat sehari-hari,
kita kerap menemukan praktik wirid itu. Misalnya ‘membaca’ Surat Yusuf seminggu
sekali supaya bisa ‘melet’ orang. Membaca Surat Al-Waqi’ah seminggu sekali
supaya cepat kaya. Membaca Surat Al-Mulk seminggu sekali supaya naik pangkat
atau mendapatkan jabatan tinggi. Dan contoh ‘amalan’ yang semisalnya. Biasanya
hanya dirapal. Tanpa perlu mengerti dan apalagi memahaminya.
Adapun di dalam Al Qur’an, kata wird
atau al-wird itu hanya terulang dua kali saja. Dua-duanya tidak ada yang
berarti seperti dua Kamus di atas. Yang pertama, berarti tempat yang didatangi.
Menunjuk neraka. Berikut ini.
QS. Hud[11]: 98
يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ ۖ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ
Ia (Fir’aun) berjalan di muka
kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. NERAKA itu
seburuk-buruk TEMPAT YANG DIDATANGI.
Dan yang kedua, berarti dahaga.
Sebagaimana ayat berikut ini.
QS. Maryam[19]: 86
وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ
إِلَىٰ جَهَنَّمَ وِرْدًا
Dan Kami akan menghalau orang-orang
yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan DAHAGA.
Menurut Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an, asal kata al-wuruud itu berarti sengaja datang ke sumber
air. Kemudian dipakai untuk konteks yang lain. Tidak ditemukan makna al-wird
atau wird sebagaimana Kamus Arab-Indonesia di atas.
Barulah ada penjelasan dalam Lisan
al-‘Arab begini. Kita bayangkan ada semacam tempat minum (danau atau telaga
atau sungai atau aliran air), terutama bagi sekawanan unta dan burung merpati.
Tempat minum itu disebut al-wird. Sekawanan unta atau burung yang pergi
setelah minum, kemudian datang lagi untuk minum kedua kalinya. Nah, waktu untuk
pergi dan datang lagi untuk minum itu juga disebut al-wird.
Makanya ada sebuah syair begini: “Merpati
itu mendatangi aliran sungai.” Nah, dari sinilah, lantas sebagian bacaan
Qur’an (qiroo’ah al-Qur’aan), itu dinamai wird. Seakan-akan kita
itu adalah unta atau merpati yang kehausan. Sedangkan Qur’an adalah tempat
minum itu. Meminumnya adalah membacanya itu. Haus itu memang berulang. Maka
membaca Qur’an memang mesti berulang.
Al-wird berarti
bagian Qur’an. Seperti kalimat, “Qoro’tu wirdiy.” Yakni membaca sebagian
ayat-ayat Qur’an.
“Awroda ‘alayh khobar,” berarti
menceritakan.
Jadi kita menjadi paham makna kata wird
atau al-wird itu sekarang. Sekaligus posisinya. Pertama, kata
wirid sebagaimana diartikan oleh Mahmud Yunus dan Al-Munawwir,
itu tidak mewakili makna wirid yang sesuai dengan Qur’an. Mahmud Yunus
dan Al-Munawwir juga tidak sesuai dengan Kamus Arab seperti Al-Mufradat
dan Lisan al-Arab terkait kata wirid itu. Kedua Kamus Arab Indonesia
mengartikan wirid hanya berdasar praktik umum masyarakat Indonesia.
Kedua, kata wirid
yang terkait dengan membaca, sebenarnya bukan membaca zikir atau doa. Membaca
yang dibiasakan, jika mengacu pada Lisan al-Arab, itu menunjuk kepada
membaca Qur’an. Itu pun jelas menggunakan redaksi qiroo’ah al-Qur’aan.
Yaitu membaca dengan memikir-mikirkan dan mempertimbangkan maknanya. Yakni
membaca dengan berupaya memahami kandungannya. Jelas bukan merapal tanpa
mengerti maknanya.
Ketiga, wirid Qur’an
itu menggambarkan orang yang selalu dahaga jiwanya, haus akalnya dengan
hikmah-hikmah Al Qur’an. Karenanya ia selalu lagi dan lagi membaca Qur’an.
Membaca berulang-ulang. Layaknya haus yang memang berulang-ulang. Orang yang
berusaha memahami Qur’an, itu jiwanya merasa puas setelah membaca Qur’an.
Layaknya burung merpati dan unta yang minum di sebuah telaga dengan puasnya. Ia
akan kembali lagi ketika haus lagi.
Jadi, membaca Qur’an
berulang-ulang. Bukan merapal berulang-ulang. Membaca Qur’an berulang-ulang,
itu membaca Qur’an dengan kepahaman. Paham hari ini, belum tentu akan terus
sama di waktu yang akan datang. Dibaca lagi, bisa memunculkan pemahaman yang
beda lagi. Terus begitu. Tidak pernah final selama seseorang masih hidup. Benar
kata ulama, “Qur’an itu seperti kemilau mutiara.” Orang akan menemukan
keindahan di setiap sudut-sudutnya.
Bukan hanya boleh. Mencari manfaat
dari Qur’an, itu sudah merupakan keharusan bagi setiap Muslimin. “Maka
ingatkanlah Kaum Mukminin dengan Qur’an. Karena pengingat dengan ayat-ayat
Qur’an itu bermanfaat bagi mereka,” (QS.51:55). Yaitu dengan memahami pesan
yang dikandung di dalamnya. Kemudian mempraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Pasti berdampak!
Sehingga kalau wirid diartikan
sebagai membaca berulang-ulang, itu seperti sebuah siklus. Dibaca ->
dipahami -> dipraktikkan -> kembali ke dibaca lagi. Atau ditambahi
diajarkan atau didiskusikan, baik lisan maupun tulisan, setelah dipraktikkan. Menjadi
dibaca, dipahami, didiskusikan (diajarkan) dan dipraktikkan. Terus begitu
mengiringi perjalanan hidup seseorang.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar