Kamis, 03 September 2020

SEPERTI BURUNG KEHAUSAN

 

—Saiful Islam*—

 “Sudah saatnya wirid Qur’an yang benar…”

 Kita juga sering mendengar wirid dengan Qur’an. Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus mengartikan kata wird dengan wirid, baca-bacaan zikir, doa yang dibiasakan membacanya. Versi Al-Munawwir, kata al-wird artinya wirid, bacaan-bacaan (zikir, doa).

 Realitas masyarakat sehari-hari, kita kerap menemukan praktik wirid itu. Misalnya ‘membaca’ Surat Yusuf seminggu sekali supaya bisa ‘melet’ orang. Membaca Surat Al-Waqi’ah seminggu sekali supaya cepat kaya. Membaca Surat Al-Mulk seminggu sekali supaya naik pangkat atau mendapatkan jabatan tinggi. Dan contoh ‘amalan’ yang semisalnya. Biasanya hanya dirapal. Tanpa perlu mengerti dan apalagi memahaminya.

 Adapun di dalam Al Qur’an, kata wird atau al-wird itu hanya terulang dua kali saja. Dua-duanya tidak ada yang berarti seperti dua Kamus di atas. Yang pertama, berarti tempat yang didatangi. Menunjuk neraka. Berikut ini.

 QS. Hud[11]: 98

يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ ۖ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ

Ia (Fir’aun) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. NERAKA itu seburuk-buruk TEMPAT YANG DIDATANGI.

 Dan yang kedua, berarti dahaga. Sebagaimana ayat berikut ini.

 QS. Maryam[19]: 86

وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ إِلَىٰ جَهَنَّمَ وِرْدًا

Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan DAHAGA.

 Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, asal kata al-wuruud itu berarti sengaja datang ke sumber air. Kemudian dipakai untuk konteks yang lain. Tidak ditemukan makna al-wird atau wird sebagaimana Kamus Arab-Indonesia di atas.

 Barulah ada penjelasan dalam Lisan al-‘Arab begini. Kita bayangkan ada semacam tempat minum (danau atau telaga atau sungai atau aliran air), terutama bagi sekawanan unta dan burung merpati. Tempat minum itu disebut al-wird. Sekawanan unta atau burung yang pergi setelah minum, kemudian datang lagi untuk minum kedua kalinya. Nah, waktu untuk pergi dan datang lagi untuk minum itu juga disebut al-wird.

 Makanya ada sebuah syair begini: “Merpati itu mendatangi aliran sungai.” Nah, dari sinilah, lantas sebagian bacaan Qur’an (qiroo’ah al-Qur’aan), itu dinamai wird. Seakan-akan kita itu adalah unta atau merpati yang kehausan. Sedangkan Qur’an adalah tempat minum itu. Meminumnya adalah membacanya itu. Haus itu memang berulang. Maka membaca Qur’an memang mesti berulang.

 Al-wird berarti bagian Qur’an. Seperti kalimat, “Qoro’tu wirdiy.” Yakni membaca sebagian ayat-ayat Qur’an.

 “Awroda ‘alayh khobar,” berarti menceritakan.

 Jadi kita menjadi paham makna kata wird atau al-wird itu sekarang. Sekaligus posisinya. Pertama, kata wirid sebagaimana diartikan oleh Mahmud Yunus dan Al-Munawwir, itu tidak mewakili makna wirid yang sesuai dengan Qur’an. Mahmud Yunus dan Al-Munawwir juga tidak sesuai dengan Kamus Arab seperti Al-Mufradat dan Lisan al-Arab terkait kata wirid itu. Kedua Kamus Arab Indonesia mengartikan wirid hanya berdasar praktik umum masyarakat Indonesia.

 Kedua, kata wirid yang terkait dengan membaca, sebenarnya bukan membaca zikir atau doa. Membaca yang dibiasakan, jika mengacu pada Lisan al-Arab, itu menunjuk kepada membaca Qur’an. Itu pun jelas menggunakan redaksi qiroo’ah al-Qur’aan. Yaitu membaca dengan memikir-mikirkan dan mempertimbangkan maknanya. Yakni membaca dengan berupaya memahami kandungannya. Jelas bukan merapal tanpa mengerti maknanya.

 Ketiga, wirid Qur’an itu menggambarkan orang yang selalu dahaga jiwanya, haus akalnya dengan hikmah-hikmah Al Qur’an. Karenanya ia selalu lagi dan lagi membaca Qur’an. Membaca berulang-ulang. Layaknya haus yang memang berulang-ulang. Orang yang berusaha memahami Qur’an, itu jiwanya merasa puas setelah membaca Qur’an. Layaknya burung merpati dan unta yang minum di sebuah telaga dengan puasnya. Ia akan kembali lagi ketika haus lagi.

 Jadi, membaca Qur’an berulang-ulang. Bukan merapal berulang-ulang. Membaca Qur’an berulang-ulang, itu membaca Qur’an dengan kepahaman. Paham hari ini, belum tentu akan terus sama di waktu yang akan datang. Dibaca lagi, bisa memunculkan pemahaman yang beda lagi. Terus begitu. Tidak pernah final selama seseorang masih hidup. Benar kata ulama, “Qur’an itu seperti kemilau mutiara.” Orang akan menemukan keindahan di setiap sudut-sudutnya.

 Bukan hanya boleh. Mencari manfaat dari Qur’an, itu sudah merupakan keharusan bagi setiap Muslimin. “Maka ingatkanlah Kaum Mukminin dengan Qur’an. Karena pengingat dengan ayat-ayat Qur’an itu bermanfaat bagi mereka,” (QS.51:55). Yaitu dengan memahami pesan yang dikandung di dalamnya. Kemudian mempraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pasti berdampak!

 Sehingga kalau wirid diartikan sebagai membaca berulang-ulang, itu seperti sebuah siklus. Dibaca -> dipahami -> dipraktikkan -> kembali ke dibaca lagi. Atau ditambahi diajarkan atau didiskusikan, baik lisan maupun tulisan, setelah dipraktikkan. Menjadi dibaca, dipahami, didiskusikan (diajarkan) dan dipraktikkan. Terus begitu mengiringi perjalanan hidup seseorang.

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...