—Saiful Islam*—
“Akal, itu ada yang terpuji
(mahmuudah). Ada juga yang tercela…”
Tidak sedikit yang mengharamkan
berbicara ayat Qur’an, atau menafsiri Qur’an dengan akalnya sendiri. Itu bisa
dimaklumi. Tetapi ada juga salahnya. Salahnya adalah menjeneralisir.
Benar kalau yang diharamkan itu
adalah orang yang menafsiri Qur’an tanpa ilmu pengetahuan. Mutlak dengan
akalnya sendiri. Atau orang yang menafsirkan Qur’an untuk kepentingan politik,
ekonomi, kelompoknya, dan seterusnya. Tendensius.
Contoh gampangnya, benar
pengharaman itu untuk dukun. Dukun memang begitu. Berbicara tentang malaikat, tanpa
rujukan apa pun. Cuma berimajinasi sendiri. Ngarang-ngarang sendiri. Berbicara
tentang Allah begini dan begitu, berdasar hayalannya sendiri. Berbicara tentang
jin, iblis, gaib, dan lain seterusnya berdasar hayalan, rekaan, dibuat-buat dan
dikarang-karang sendiri saja seenaknya.
Tetapi salah pengharaman itu kalau
ditujukan kepada orang yang berilmu pengetahuan yang berniat baik mencari
petunjuk dari Qur’an. Contoh ilmu pengetahuan adalah Bahasa Arab, Ulumul Qur’an,
Tafsir dan cabang ilmu-ilmunya, Hadis dan cabang ilmu-ilmunya, Ilmu Ekonomi,
Manajemen, Kedokteran, Nuklir, Fisika, Kimia, Biologi, Astronomi, Sejarah,
Sosiologi, Antropologi, IT dan seterusnya.
Berikut saya kutipkan Hadis yang biasanya
digunakan dalil untuk melarang menafsiri Qur’an dengan akal itu. Versi
Al-Tirmidzi pertama:
Telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Suwaid bin 'Amru Al Kalbi,
telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abdul A'la dari Sa'id bin
Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Jagalah diri
untuk menceritakan dariku kecuali yang kalian ketahui. Barangsiapa berdusta
atas namaku, maka bersiap-siaplah tempatnya di neraka. Dan barangsiapa
mengatakan TENTANG AL QUR'AN DENGAN PIKIRANNYA SENDIRI (BI RO’YIH), maka
bersiap-siaplah tempatnya di neraka." Abu Isa berkata: Hadis ini
hasan.
Jika menggunakan Aplikasi
Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, Hadis di atas dinilai DHOIF. Lemah.
Hadis kedua versi Al-Tirmidzi di
bawah ini:
Menceritakan kepada kami Mahmud bin
Ghaylan, menceritakan kepada kami Bisyr al-Syariy, menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Abd al-A’la, dari Sa’id bin Jubayr, dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa yang berbicara tentang Qur’an TANPA ILMU (BI
GHOYR ‘ILM), maka bersiaplah tempatnya di neraka.” Abu Isa berkata: “Ini
Hadis hasan sahih.”
Menurut saya, sebenarnya Hadis di
atas juga DHOIF. Sebab dalam sanad-nya ada rawi yang bernama Abd Al-A’la. Abu
Zur’ah dan Ahmad bin Hambal menilainya dho’iif al-hadiits (lemah).
Al-Nasa’i dan Abu Hatim juga menilainya laysa bi al-qowiy (alias
dhoif—lemah).
Bagaimana menurut Qur’an? Justru
kalau menurut Qur’an, Allah marah kepada orang yang tidak menggunakan akalnya.
Di depan sudah saya ceritakan ayat-ayat supaya berpikir, memahami, mengambil
pelajaran, menggunakan akal dan semisalnya.
QS. Yunus[10]: 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ
تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan tidak ada seorang pun akan
beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah MENIMPAKAN KEMURKAAN kepada
orang-orang yang TIDAK MENGGUNAKAN AKALNYA.
Bahkan tidak akan bisa mengambil
pelajaran dari Qur’an dan juga ayat-ayat realitas alam dan sosial, itu kecuali
orang yang menggunakan akalnya.
QS. Al-Baqarah[2]: 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah menganugerahkan Al Hikmah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah,
ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan HANYA orang-orang
yang BERAKAL SAJA YANG DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN.
Buku-buku tafsir para ulama, pun
itu tidak semua bil ma’tsur atau bil riwayah atau bil hadits.
Seperti Tafsir Jami’ al-Bayan, karya Al-Thobariy (wafat di Baghdad 310
H); Tafsir Ibnu Katsir (wafat di Damaskus 774 H); Tafsir Al-Durr
al-Mantsur karya Al-Suyuthiy (wafat di Kairo 911 H); Tafsir Ma’alim
al-Tanzil, karya Baghawiy (wafat di Baghdad 510 H); dan semisalnya.
Jangan salah. Buku-buku tafsir, itu
ada juga yang dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (dengan akal). Mustahil
semua tafsir bir ra’yi di bawah ini haram. Antara lain sebagai berikut:
Abad ke-7 H/ 13 M
1. Mafatih al-Ghayb. Karya
Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razy. Wafat tahun 606 H. Terkenal dengan Tafsir
al-Razi.
2. Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil. Karya ‘Abd Allah bin Umar al-Baydhawi. Wafat tahun 685 H. Terkenal
dengan Tafsir al-Baydhawi.
Abad ke-8 H/ 14 M
1. Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq
al-Ta’wil. Karya ‘Abd Allah bin Ahmad al-Nasafi. Wafat pada tahun 701 H. Terkenal
dengan Tafsir al-Nasafi.
2. Ghara’ib Al-Qur’an wa
Ragha’ib al-Furqan. Karya Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-Nisaburi. Wafat
tahun 728 H. Terkenal dengan Tafsir al-Nisaburi.
3. Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani
al-Tanzil. Karya ‘Abd Allah bin Muhammad al-Ma’ruf. Wafat tahun 741 H. Terkenal
dengan Tafsir al-Khazin.
4. Al-Bahr al-Muhith. Karya
Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi. Wafat tahun 745 H. Terkenal dengan Tafsir
Abu Hayyan.
Abad ke-10 H/ 16 M
1. Tafsir al-Jalalayn. Karya
Jalal al-Din al-Mahali (w. 764 H) dan Jalal al-Din al-Suyuthiy (w. 911 H). Terkenal
dengan Tafsir al-Jalalayn.
2. Irsyad al-‘Aql al-Salim.
Karya Muhammad bin Muhammad bin Musthofa al-Tahawi. Wafat tahun 952 H. Terkenal
dengan Tafsir Abi al-Su’udiy.
3. Al-Siraj al-Munir. Karya
Muhammad al-Syarbini al-Khatib. Wafat tahun 977 H. Terkenal dengan Tafsir
al-Khatib.
Abad ke-13 H/ 19M
1. Ruh al-Ma’ani. Karya
Shahabuddin Muhammad al-Alusi al-Baghdadiy. Wafat tahun 1270 H. Terkenal dengan
Tafsir al-Alusi.
Maka lantas ulama seperti
Al-Dzahabiy dan Al-Shobuniy membuat istilah tafsir bi ra’yi mahmud (tafsir
dengan akal yang dibenarkan) dan tafsir bi ra’yi madzmum (tafsir dengan
akal yang tercela). Yang dibenarkan maksudnya menafsirkan Qur’an dengan akal
yang berdasarkan kaidah-kaidah Bahasa Arab dan ilmu lainnya yang mendukung ilmu
tafsir dan sesuai dengan syariat.
Jadi kalau mahasiswa Tafsir Hadis
misalnya, atau santri, atau siapa pun yang punya bekal keilmuwan, tentu dengan
niat baik, itu bukan hanya boleh. Tetapi sangat dianjurkan untuk menafsirkan
Qur’an. Sesuai dengan tantangan zamannya masing-masing. Menghidupkan tradisi
ulama yang sangat penting dan diapresiasi Allah: membaca, menulis, meneliti,
diskusi, literasi!
Sedangkan bi ra’yi yang
haram, seperti dijelaskan oleh Manna’ Khalil al-Qoththon, adalah menafsirkan
Qur’an berdasar pikirannya sendiri secara mutlak tanpa adanya pemahaman yang
sesuai dengan syariat. Ini yang saya sebut dukun tadi. Kalau bahasa Hadis di
atas, yaitu menafsiri Qur’an bi ghoyr ‘ilm (tanpa ilmu yang ilmiah hanya
berdasar hayalan dan dugaan).
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar