Rabu, 02 September 2020

MENAFSIRKAN DENGAN AKAL


—Saiful Islam*—

“Akal, itu ada yang terpuji (mahmuudah). Ada juga yang tercela…”

Tidak sedikit yang mengharamkan berbicara ayat Qur’an, atau menafsiri Qur’an dengan akalnya sendiri. Itu bisa dimaklumi. Tetapi ada juga salahnya. Salahnya adalah menjeneralisir.

Benar kalau yang diharamkan itu adalah orang yang menafsiri Qur’an tanpa ilmu pengetahuan. Mutlak dengan akalnya sendiri. Atau orang yang menafsirkan Qur’an untuk kepentingan politik, ekonomi, kelompoknya, dan seterusnya. Tendensius.

Contoh gampangnya, benar pengharaman itu untuk dukun. Dukun memang begitu. Berbicara tentang malaikat, tanpa rujukan apa pun. Cuma berimajinasi sendiri. Ngarang-ngarang sendiri. Berbicara tentang Allah begini dan begitu, berdasar hayalannya sendiri. Berbicara tentang jin, iblis, gaib, dan lain seterusnya berdasar hayalan, rekaan, dibuat-buat dan dikarang-karang sendiri saja seenaknya.

Tetapi salah pengharaman itu kalau ditujukan kepada orang yang berilmu pengetahuan yang berniat baik mencari petunjuk dari Qur’an. Contoh ilmu pengetahuan adalah Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Tafsir dan cabang ilmu-ilmunya, Hadis dan cabang ilmu-ilmunya, Ilmu Ekonomi, Manajemen, Kedokteran, Nuklir, Fisika, Kimia, Biologi, Astronomi, Sejarah, Sosiologi, Antropologi, IT dan seterusnya.

Berikut saya kutipkan Hadis yang biasanya digunakan dalil untuk melarang menafsiri Qur’an dengan akal itu. Versi Al-Tirmidzi pertama:

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Suwaid bin 'Amru Al Kalbi, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abdul A'la dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Jagalah diri untuk menceritakan dariku kecuali yang kalian ketahui. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah tempatnya di neraka. Dan barangsiapa mengatakan TENTANG AL QUR'AN DENGAN PIKIRANNYA SENDIRI (BI RO’YIH), maka bersiap-siaplah tempatnya di neraka." Abu Isa berkata: Hadis ini hasan.

Jika menggunakan Aplikasi Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, Hadis di atas dinilai DHOIF. Lemah.

Hadis kedua versi Al-Tirmidzi di bawah ini:

Menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghaylan, menceritakan kepada kami Bisyr al-Syariy, menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abd al-A’la, dari Sa’id bin Jubayr, dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berbicara tentang Qur’an TANPA ILMU (BI GHOYR ‘ILM), maka bersiaplah tempatnya di neraka.” Abu Isa berkata: “Ini Hadis hasan sahih.”

Menurut saya, sebenarnya Hadis di atas juga DHOIF. Sebab dalam sanad-nya ada rawi yang bernama Abd Al-A’la. Abu Zur’ah dan Ahmad bin Hambal menilainya dho’iif al-hadiits (lemah). Al-Nasa’i dan Abu Hatim juga menilainya laysa bi al-qowiy (alias dhoif—lemah).

Bagaimana menurut Qur’an? Justru kalau menurut Qur’an, Allah marah kepada orang yang tidak menggunakan akalnya. Di depan sudah saya ceritakan ayat-ayat supaya berpikir, memahami, mengambil pelajaran, menggunakan akal dan semisalnya.

QS. Yunus[10]: 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah MENIMPAKAN KEMURKAAN kepada orang-orang yang TIDAK MENGGUNAKAN AKALNYA.

Bahkan tidak akan bisa mengambil pelajaran dari Qur’an dan juga ayat-ayat realitas alam dan sosial, itu kecuali orang yang menggunakan akalnya.

QS. Al-Baqarah[2]: 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah menganugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan HANYA orang-orang yang BERAKAL SAJA YANG DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN.

Buku-buku tafsir para ulama, pun itu tidak semua bil ma’tsur atau bil riwayah atau bil hadits. Seperti Tafsir Jami’ al-Bayan, karya Al-Thobariy (wafat di Baghdad 310 H); Tafsir Ibnu Katsir (wafat di Damaskus 774 H); Tafsir Al-Durr al-Mantsur karya Al-Suyuthiy (wafat di Kairo 911 H); Tafsir Ma’alim al-Tanzil, karya Baghawiy (wafat di Baghdad 510 H); dan semisalnya.

Jangan salah. Buku-buku tafsir, itu ada juga yang dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (dengan akal). Mustahil semua tafsir bir ra’yi di bawah ini haram. Antara lain sebagai berikut:

Abad ke-7 H/ 13 M
1. Mafatih al-Ghayb. Karya Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razy. Wafat tahun 606 H. Terkenal dengan Tafsir al-Razi.

2. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Karya ‘Abd Allah bin Umar al-Baydhawi. Wafat tahun 685 H. Terkenal dengan Tafsir al-Baydhawi.

Abad ke-8 H/ 14 M
1. Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Karya ‘Abd Allah bin Ahmad al-Nasafi. Wafat pada tahun 701 H. Terkenal dengan Tafsir al-Nasafi.

2. Ghara’ib Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan. Karya Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-Nisaburi. Wafat tahun 728 H. Terkenal dengan Tafsir al-Nisaburi.

3. Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Karya ‘Abd Allah bin Muhammad al-Ma’ruf. Wafat tahun 741 H. Terkenal dengan Tafsir al-Khazin.

4. Al-Bahr al-Muhith. Karya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi. Wafat tahun 745 H. Terkenal dengan Tafsir Abu Hayyan.

Abad ke-10 H/ 16 M
1. Tafsir al-Jalalayn. Karya Jalal al-Din al-Mahali (w. 764 H) dan Jalal al-Din al-Suyuthiy (w. 911 H). Terkenal dengan Tafsir al-Jalalayn.

2. Irsyad al-‘Aql al-Salim. Karya Muhammad bin Muhammad bin Musthofa al-Tahawi. Wafat tahun 952 H. Terkenal dengan Tafsir Abi al-Su’udiy.

3. Al-Siraj al-Munir. Karya Muhammad al-Syarbini al-Khatib. Wafat tahun 977 H. Terkenal dengan Tafsir al-Khatib.

Abad ke-13 H/ 19M
1. Ruh al-Ma’ani. Karya Shahabuddin Muhammad al-Alusi al-Baghdadiy. Wafat tahun 1270 H. Terkenal dengan Tafsir al-Alusi.

Maka lantas ulama seperti Al-Dzahabiy dan Al-Shobuniy membuat istilah tafsir bi ra’yi mahmud (tafsir dengan akal yang dibenarkan) dan tafsir bi ra’yi madzmum (tafsir dengan akal yang tercela). Yang dibenarkan maksudnya menafsirkan Qur’an dengan akal yang berdasarkan kaidah-kaidah Bahasa Arab dan ilmu lainnya yang mendukung ilmu tafsir dan sesuai dengan syariat.

Jadi kalau mahasiswa Tafsir Hadis misalnya, atau santri, atau siapa pun yang punya bekal keilmuwan, tentu dengan niat baik, itu bukan hanya boleh. Tetapi sangat dianjurkan untuk menafsirkan Qur’an. Sesuai dengan tantangan zamannya masing-masing. Menghidupkan tradisi ulama yang sangat penting dan diapresiasi Allah: membaca, menulis, meneliti, diskusi, literasi!

Sedangkan bi ra’yi yang haram, seperti dijelaskan oleh Manna’ Khalil al-Qoththon, adalah menafsirkan Qur’an berdasar pikirannya sendiri secara mutlak tanpa adanya pemahaman yang sesuai dengan syariat. Ini yang saya sebut dukun tadi. Kalau bahasa Hadis di atas, yaitu menafsiri Qur’an bi ghoyr ‘ilm (tanpa ilmu yang ilmiah hanya berdasar hayalan dan dugaan).

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...