Meskipun
Islam belum dikenalkan secara terbuka, jumlah orang mukmin dan para ahli ibadah
terus meningkat. Laki-laki maupun perempuan. Mayoritasnya adalah kaum muda.
Sepupu Nabi, Ja’far dan Zubayr, termasuk yang bergabung di awal-awal itu. Juga sepupu
lainnya—sepupu Nabi dan sepupu mereka. Dan anak-anak bibi mereka Umaymah, Abd
Allah ibn Jahsy dan Ubaidillah. Serta putra bibi mereka Barrah, yang bernama
Abu Salamah.
Ada
pula sepupu dari pihak ibunya, Sa’ad dan Umayr—putra Abu Waqqas al Zuhrah.
Hanya saja, tak ada satu pun dari keempat paman Nabi yang menunjukkan keinginan
untuk mengikutinya. Abu Thalib tidak keberatan dengan keislaman kedua putranya,
Ja’far dan Ali. Tetapi ia sendiri tidak siap untuk meninggalkan agama nenek
moyangnya.
Abbas
menghindar. Hamzah tidak bisa mengerti, meskipun keduanya menjamin akan tetap
mengasihi Nabi secara pribadi. Sedangkan Abu Lahab secara terbuka menuduh
keponakannya itu sebagai orang tertipu, kalau bukan penipu.
Pasca
turun ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS.
26: 214),” Nabi memanggil Ali. Beliau bersabda, “Allah telah memerintahkan agar
aku memberi peringatan kepada keluargaku dan kaum kerabatku. Tugas ini sangat berat
bagiku. Meski begitu, siapkan makanan berpa potong daging kaki domba dan isilah
gelas dengan susu. Lalu, kumpulkan orang-orang Bani Abd al Muththalib agar aku
bisa menyampaikan kepada mereka apa yang telah diperintahkan kepadaku.”
Ali
melaksanakan apa yang diperintahkan. Sekitar empat puluh orang—kebanyakan Bani
Hasyim—datang ke jamuan makan tersebut. “Ketika mereka semua berkumpul, Nabi
menyuruhku menghidangkan makanan yang telah kusiapkan…,” kata Ali. Para
undangan pun menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan itu.
Ketika
Nabi akan berbicara kepada segenap undangan tersebut, tiba-tiba Abu Lahab
mencegahnya. Ia memprovokasi, “Tuah rumah kalian telah meletakkan jompa-jampi
untuk kalian!’ Mereka terpengaruh oleh omongan Abu Lahab. Sehingga mereka bubar
sebelum Nabi sempat bicara.
Pada
hari berikutnya, Nabi memerintahkan Ali untuk melakukan hal yang sama seperti
sebelumnya. Hidangan serupa disiapkan lagi dan segala sesuatunya berlangsung
seperti sebelumnya. Bedanya, Nabi lebih siap siaga sehingga dapat berbicara
kepada para hadirin.
Nabi
berkata, “Wahai keturunan Abd al Muththallib. Aku yakin tidak ada seorang pun
dari bangsa Arab yang datang kepada kaumnya dengan ajaran yang lebih mulia
daripada yang kubawa. Aku membawakan untuk kalian yang terbaik di dunia dan di
akhirat nanti. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepada-Nya. Siapa di antara
kalian yang akan membantuku dan menjadi saudaraku, pelaksanaku, dan penggantiku
di antara kalian?”
Keheningan
meliputi kabilah tersebut. Ja'far dan Zayd memilih diam. Meskipun bisa saja
keduanya menjawab, “Kami wahai Rasul!” Namun keduanya sadar bahwa tujuan dari
perjamuan itu adalah mengajak hadirin yang lain masuk Islam dan
memperjuangkannya.
Ali
yang saat itu berusia 13 tahun, merasa terdorong untuk angkat bicara. “Wahai
Nabi Allah. Aku akan menjadi penolongmu dalam hal ini.” Nabi menepuk pundak Ali
dan berkata, “Inilah saudaraku. Pelaksanaku. Dan penggantiku di antara kalian.
Dengankanlah dan patuhilah dia!” Orang-orang yang hadir berdiri sambil
menertawakan, lantas berkata kepada Abu Thalib, “Ia telah menyuruhmu untuk
mendengarkan anakmu dan mematuhinya!”
Sedangkan
para bibi Nabi, Shafiyyah tidak ragu-ragu mengikuti beliau seperti yang
dilakukan oleh putranya, Zubayr. Tapi, kelima saudara perempuannya belum
memberi keputusan. Sikap Arwa menunjukkan sikap mereka semua, “Aku sedang
menunggu apa yang akan dilakukan oleh saudara-saudara perempuanku.”
Sementara
itu, Umm al Fadhil, isteri dari pamannya yang masih ragu-ragu, Abbas, adalah
perempuan pertama yang masuk Islam setelah Khadijah. Ia pun berhasil mengajak
tiga orang saudara perempuannnya bergabung dengan Nabi: Maymunah—saudara kandungnya—serta
Salma dan Asma’, kedua saudara tirinya.
Di
keluarga Umm Al Fadhl inilah, Ja’far dibesarkan. Di sini pula Ja’far mengenal
Asma’, dan jatuh cinta kepadanya yang kemudian dinikahinya. Ada pun Hamzah
telah menikahi saudaranya, Salma.
Ummu
Ayman adalah juga termasuk pemeluk Islam awal-awal. Nabi berkomentar
tentangnya, “Siapa yang akan menikahi penduduk surga, nikahilah Ummu Ayman.”
Pernyataan itu diperhatikan oleh Zayd. Meskipun Ummu Ayman lebih tua, tapi Zayd
tidak mempermasalahkannya. Zayd pun mengungkapkan keinginannya kepada Nabi yang
tak sulit membujuk Ummu Ayman untuk menyetujui pernikahan itu.
Dari
pernikahannya dengan Zayd itulah, Ummu Ayman melahirkan seorang putra yang
diberi nama Usamah. Ia tumbuh sebagai cucu Nabi yang sangat dicintainya.
~
Salam ~
IG : saifulislam_45
FB : Berpikir Bersikap Beraksi
: Ahmad Saiful Islam
Twitter
: @tipkemenangan
:
@MotivasiAyat
Blog : tipkemenangan.blogspot.com
Untuk
pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar