Senin, 12 November 2018

MENCARI DUKUNGAN KERABAT


 Meskipun Islam belum dikenalkan secara terbuka, jumlah orang mukmin dan para ahli ibadah terus meningkat. Laki-laki maupun perempuan. Mayoritasnya adalah kaum muda. Sepupu Nabi, Ja’far dan Zubayr, termasuk yang bergabung di awal-awal itu. Juga sepupu lainnya—sepupu Nabi dan sepupu mereka. Dan anak-anak bibi mereka Umaymah, Abd Allah ibn Jahsy dan Ubaidillah. Serta putra bibi mereka Barrah, yang bernama Abu Salamah.
Ada pula sepupu dari pihak ibunya, Sa’ad dan Umayr—putra Abu Waqqas al Zuhrah. Hanya saja, tak ada satu pun dari keempat paman Nabi yang menunjukkan keinginan untuk mengikutinya. Abu Thalib tidak keberatan dengan keislaman kedua putranya, Ja’far dan Ali. Tetapi ia sendiri tidak siap untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
Abbas menghindar. Hamzah tidak bisa mengerti, meskipun keduanya menjamin akan tetap mengasihi Nabi secara pribadi. Sedangkan Abu Lahab secara terbuka menuduh keponakannya itu sebagai orang tertipu, kalau bukan penipu.
Pasca turun ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS. 26: 214),” Nabi memanggil Ali. Beliau bersabda, “Allah telah memerintahkan agar aku memberi peringatan kepada keluargaku dan kaum kerabatku. Tugas ini sangat berat bagiku. Meski begitu, siapkan makanan berpa potong daging kaki domba dan isilah gelas dengan susu. Lalu, kumpulkan orang-orang Bani Abd al Muththalib agar aku bisa menyampaikan kepada mereka apa yang telah diperintahkan kepadaku.”
Ali melaksanakan apa yang diperintahkan. Sekitar empat puluh orang—kebanyakan Bani Hasyim—datang ke jamuan makan tersebut. “Ketika mereka semua berkumpul, Nabi menyuruhku menghidangkan makanan yang telah kusiapkan…,” kata Ali. Para undangan pun menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan itu.
Ketika Nabi akan berbicara kepada segenap undangan tersebut, tiba-tiba Abu Lahab mencegahnya. Ia memprovokasi, “Tuah rumah kalian telah meletakkan jompa-jampi untuk kalian!’ Mereka terpengaruh oleh omongan Abu Lahab. Sehingga mereka bubar sebelum Nabi sempat bicara.
Pada hari berikutnya, Nabi memerintahkan Ali untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Hidangan serupa disiapkan lagi dan segala sesuatunya berlangsung seperti sebelumnya. Bedanya, Nabi lebih siap siaga sehingga dapat berbicara kepada para hadirin.
Nabi berkata, “Wahai keturunan Abd al Muththallib. Aku yakin tidak ada seorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada kaumnya dengan ajaran yang lebih mulia daripada yang kubawa. Aku membawakan untuk kalian yang terbaik di dunia dan di akhirat nanti. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk  mengajak kalian kepada-Nya. Siapa di antara kalian yang akan membantuku dan menjadi saudaraku, pelaksanaku, dan penggantiku di antara kalian?”
Keheningan meliputi kabilah tersebut. Ja'far dan Zayd memilih diam. Meskipun bisa saja keduanya menjawab, “Kami wahai Rasul!” Namun keduanya sadar bahwa tujuan dari perjamuan itu adalah mengajak hadirin yang lain masuk Islam dan memperjuangkannya.
Ali yang saat itu berusia 13 tahun, merasa terdorong untuk angkat bicara. “Wahai Nabi Allah. Aku akan menjadi penolongmu dalam hal ini.” Nabi menepuk pundak Ali dan berkata, “Inilah saudaraku. Pelaksanaku. Dan penggantiku di antara kalian. Dengankanlah dan patuhilah dia!” Orang-orang yang hadir berdiri sambil menertawakan, lantas berkata kepada Abu Thalib, “Ia telah menyuruhmu untuk mendengarkan anakmu dan mematuhinya!”
Sedangkan para bibi Nabi, Shafiyyah tidak ragu-ragu mengikuti beliau seperti yang dilakukan oleh putranya, Zubayr. Tapi, kelima saudara perempuannya belum memberi keputusan. Sikap Arwa menunjukkan sikap mereka semua, “Aku sedang menunggu apa yang akan dilakukan oleh saudara-saudara perempuanku.”
Sementara itu, Umm al Fadhil, isteri dari pamannya yang masih ragu-ragu, Abbas, adalah perempuan pertama yang masuk Islam setelah Khadijah. Ia pun berhasil mengajak tiga orang saudara perempuannnya bergabung dengan Nabi: Maymunah—saudara kandungnya—serta Salma dan Asma’, kedua saudara tirinya.
Di keluarga Umm Al Fadhl inilah, Ja’far dibesarkan. Di sini pula Ja’far mengenal Asma’, dan jatuh cinta kepadanya yang kemudian dinikahinya. Ada pun Hamzah telah menikahi saudaranya, Salma.
Ummu Ayman adalah juga termasuk pemeluk Islam awal-awal. Nabi berkomentar tentangnya, “Siapa yang akan menikahi penduduk surga, nikahilah Ummu Ayman.” Pernyataan itu diperhatikan oleh Zayd. Meskipun Ummu Ayman lebih tua, tapi Zayd tidak mempermasalahkannya. Zayd pun mengungkapkan keinginannya kepada Nabi yang tak sulit membujuk Ummu Ayman untuk menyetujui pernikahan itu.
Dari pernikahannya dengan Zayd itulah, Ummu Ayman melahirkan seorang putra yang diberi nama Usamah. Ia tumbuh sebagai cucu Nabi yang sangat dicintainya.

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...