—Saiful Islam—
“Secara tradisi dan budaya, is OK. Tapi
secara akidah Islam, itu sangat berbahaya…”
Di Jawa itu, tidak hanya dihuni
oleh masyarakat Jawa. Tapi juga masyarakat Sunda, Madura, dan lainnya. Seiring berjalannya
waktu, masyarakat Jawa tidak hanya tinggal di pulau Jawa. Tapi juga menyebar
hampir dari sabang sampai merauke. Program transmigrasi pemerintah juga sangat
mempengaruhi penyebaran tersebut. Masyarakat Jawa itu punya kekhasan sendiri
dibanding Madura, Sunda, Minang, dan lain seterusnya.
Masyarakat Jawa penganut Islam
santri (Islam murni), lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya. Meski bertentangan
dengan tradisi dan budaya Jawanya. Sebab memang ada tradisi-tradisi Jawa yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya. Para penganut Islam kejawen
(Islam abangan), tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi. Walaupun bertentangan
dengan ajaran Islam.
Sebagian besar masyarakat Jawa itu
beragama Islam. Masih banyak juga yang mewarisi agama nenek moyangnya. Yaitu
Hindu dan Buddha. Ada lagi yang beragama Nasrani. Baik Kristen atau Katolik.
Menurut Koentjaraningrat (1995:211),
yang beragama Islam, secara garis besar bisa dibagi dua. Pertama, Islam murni. Atau
sering disebut Islam santri. Dan kelompok yang menganut Islam abangan. Atau Islam
kejawen. Masyarakat Jawa penganut Islam santri biasanya tinggal di daerah
pesisir. Seperti Surabaya dan Gresik. Adapun yang menganut Islam kejawen banyak
ditemukan di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.
Simuh (1996:110) membagi tiga
terkait dengan ciri-ciri keagamaan masyarakat Jawa. Pertama, masa sebelum
Hindu-Buddha. Masyarakat Jawa masih sederhana. Agama mereka adalah
animisme-dinamisme. Agama yang oleh Barat disebut religion magis, ini merupakan
hal yang paling mengakar di masyarkat Jawa.
Kedua, masa Hindu-Buddha. Yaitu ketika
masyarakata Jawa menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Buddha. Prosesnya
tidak hanya akulturasi saja. Tapi juga memanfaatkan unsur-unsur agama dan
kebudayaan India. Masuknya Hindu-Buddha ini semakin mempersubur kepercayaan serba
magis yang sudah mengakar dengan cerita tentang orang-orang sakti setangah dewa
dan jasa mantra-mantra yang dianggap magis.
Ketiga, masa kerajaan Islam. Yaitu saat
tamatnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Sekitar abad 15. Kemarin
sudah saya sebut, bahwa para tokoh sufilah yang banyak berperan. Sehingga mereka
disebut wali. Islam yang berhadapan dengan tradisi Hindu-Buddha inilah yang
lantas melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa. Yaitu Islam santri dan
Islam abangan (kejawen). Pembedanya adalah taraf kesadaran keislaman mereka.
Menurut Suyanto (1990:144) budaya
Jawa itu adalah antara lain religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik.
Karakter seperti ini memunculkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas
seperti berikut: percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning
Dumadi; percaya kepada sesuatu yang metafisika dan bersifat adikodrati
(supernatural) serta cenderung mistis; lebih mengutamakan hakikat dibanding
formalitas dan ritual; mengutamakan cinta kasih hubungan antara manusia;
percaya kepada takdir dan cenderung pasrah; cenderung pada simbolisme; gotong
royong, guyub, rukun, dan damai; dan kurang kompetitif serta kurang
mengutamakan materi.
Orang-orang Jawa itu menerima
dengan baik semua agama dan kepercayaan yang datang. Mereka tidak terbiasa
mempertentangkan agama dan keyakinan. Anggapan mereka, semua agama itu baik. Semua
agama itu baik (sedaya agama niku sae), begitu
ungkapan mereka. Karakter seperti inilah yang lantas menimbulkan campur
aduk (sinkretisme) keyakinan di kalangan masyarakat Jawa itu.
Koentjaraningrat (1994:313)
menyebutkan bahwa masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis sampai sekarang
masih banyak ditemukan. Utamanya di Yogyakarta dan Surakarta. Secara formal administrative,
mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya. Meskipun tidak menjalankan
rukun Islam, seperti shalat 5 waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji.
Masyarakat Jawa yang kejawen,
biasanya masih mengramatkan orang atau benda-benda tertentu. Yang dianggap
keramat itu biasanya para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat. Atau para tokoh
agama. Adapun benda yang sering dikeramatkan itu biasanya benda-benda pusaka
peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur. Serta para tokoh yang
dihormati.
Di antara tokoh yang dikeramatkan
adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar
agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain di kalangan raja yang dikeramatkan
adalah Sultan Agung, Panembahan
Senopati, Pangeran Purbaya, dan lain semisalnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa
para tokoh dan benda-benda keramat itu bisa memberi berkah. Itulah alasan
mereka melakukan bermacam-macam aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para
tokoh dan benda-benda yang diyakini keramat itu.
Selain itu, masyarakat Jawa juga
percaya kepada makhluk-makhluk halus gaib metafisika. Menurut mereka, adalah
roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Para
makhluk itu dianggap ada yang menguntungkan dan merugikan bagi manusia. Maka
mereka harus menjinakkannya. Yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau
upacara.
Masyarakat Jawa ini juga percaya
para dewa. Keyakinan mereka itu terlihat jelas sekali ketika mengimani adanya
penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul. Atau Ratu Pantai
Selatan. Saya pernah berdebat dengan orang yang memuja Nyai Roro Kidul ini.
Masyarakat Jawa yang berdomisili di daerah pantai selatan sangat mengimani
bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan
dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut supaya
mereka terhindar dari mala petaka.
Sampai 2019 sekarang ini, tradisi
semacam ini tetap lestari. Dihormati bahkan dijunjung tinggi. Sebab secara
budaya memang, itu bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi pemerintah daerah
yang memiliki dan mengelolanya. Malah digali lagi tradisi-tradisi yang seperti
ini. Tendensinya adalah ekonomi. Yaitu dijadikan tempat tujuan wisata. Baik bagi
turis lokal maupun luar negeri. Namun secara agama, terutama akidah Islam, hal
demikian ini sangat berbahaya.
Sekali lagi, Islam itu memang pro
terhadap budaya dan tradisi. Tapi syaratnya, memang tidak boleh bertentangan dengan
syariat dan akidah Islam. Pakar filosof hukum Islam memberi rumus, “Al-Ashlu
fi al-asyyaa’ ibaahah hatta yaquma al-daliil ‘ala al-nahy,” budaya dan
tradisi itu asalnya memang boleh-boleh saja. Tetapi sekali lagi, tidak boleh
bertentangan dengan syariat dan akidah Islam itu sendiri. Terutama Alquran dan
Hadis-Hadis yang sahih.
QS. Al-Maidah[5]: 104
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab:
"Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?!
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar