Jumat, 30 Agustus 2019

JAWA SANTRI VS JAWA ABANGAN


—Saiful Islam—

“Secara tradisi dan budaya, is OK. Tapi secara akidah Islam, itu sangat berbahaya…”

Di Jawa itu, tidak hanya dihuni oleh masyarakat Jawa. Tapi juga masyarakat Sunda, Madura, dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa tidak hanya tinggal di pulau Jawa. Tapi juga menyebar hampir dari sabang sampai merauke. Program transmigrasi pemerintah juga sangat mempengaruhi penyebaran tersebut. Masyarakat Jawa itu punya kekhasan sendiri dibanding Madura, Sunda, Minang, dan lain seterusnya.

Masyarakat Jawa penganut Islam santri (Islam murni), lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya. Meski bertentangan dengan tradisi dan budaya Jawanya. Sebab memang ada tradisi-tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya. Para penganut Islam kejawen (Islam abangan), tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi. Walaupun bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagian besar masyarakat Jawa itu beragama Islam. Masih banyak juga yang mewarisi agama nenek moyangnya. Yaitu Hindu dan Buddha. Ada lagi yang beragama Nasrani. Baik Kristen atau Katolik.

Menurut Koentjaraningrat (1995:211), yang beragama Islam, secara garis besar bisa dibagi dua. Pertama, Islam murni. Atau sering disebut Islam santri. Dan kelompok yang menganut Islam abangan. Atau Islam kejawen. Masyarakat Jawa penganut Islam santri biasanya tinggal di daerah pesisir. Seperti Surabaya dan Gresik. Adapun yang menganut Islam kejawen banyak ditemukan di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.

Simuh (1996:110) membagi tiga terkait dengan ciri-ciri keagamaan masyarakat Jawa. Pertama, masa sebelum Hindu-Buddha. Masyarakat Jawa masih sederhana. Agama mereka adalah animisme-dinamisme. Agama yang oleh Barat disebut religion magis, ini merupakan hal yang paling mengakar di masyarkat Jawa.

Kedua, masa Hindu-Buddha. Yaitu ketika masyarakata Jawa menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Buddha. Prosesnya tidak hanya akulturasi saja. Tapi juga memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Masuknya Hindu-Buddha ini semakin mempersubur kepercayaan serba magis yang sudah mengakar dengan cerita tentang orang-orang sakti setangah dewa dan jasa mantra-mantra yang dianggap magis.

Ketiga, masa kerajaan Islam. Yaitu saat tamatnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Sekitar abad 15. Kemarin sudah saya sebut, bahwa para tokoh sufilah yang banyak berperan. Sehingga mereka disebut wali. Islam yang berhadapan dengan tradisi Hindu-Buddha inilah yang lantas melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa. Yaitu Islam santri dan Islam abangan (kejawen). Pembedanya adalah taraf kesadaran keislaman mereka.

Menurut Suyanto (1990:144) budaya Jawa itu adalah antara lain religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakter seperti ini memunculkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas seperti berikut: percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi; percaya kepada sesuatu yang metafisika dan bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung mistis; lebih mengutamakan hakikat dibanding formalitas dan ritual; mengutamakan cinta kasih hubungan antara manusia; percaya kepada takdir dan cenderung pasrah; cenderung pada simbolisme; gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan kurang kompetitif serta kurang mengutamakan materi.

Orang-orang Jawa itu menerima dengan baik semua agama dan kepercayaan yang datang. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Anggapan mereka, semua agama itu baik. Semua agama itu baik (sedaya agama niku sae), begitu  ungkapan mereka. Karakter seperti inilah yang lantas menimbulkan campur aduk (sinkretisme) keyakinan di kalangan masyarakat Jawa itu.

Koentjaraningrat (1994:313) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis sampai sekarang masih banyak ditemukan. Utamanya di Yogyakarta dan Surakarta. Secara formal administrative, mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya. Meskipun tidak menjalankan rukun Islam, seperti shalat 5 waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji.

Masyarakat Jawa yang kejawen, biasanya masih mengramatkan orang atau benda-benda tertentu. Yang dianggap keramat itu biasanya para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat. Atau para tokoh agama. Adapun benda yang sering dikeramatkan itu biasanya benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur. Serta para tokoh yang dihormati.

Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain di kalangan raja yang dikeramatkan adalah  Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan lain semisalnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa para tokoh dan benda-benda keramat itu bisa memberi berkah. Itulah alasan mereka melakukan bermacam-macam aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda yang diyakini keramat itu.

Selain itu, masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus gaib metafisika. Menurut mereka, adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Para makhluk itu dianggap ada yang menguntungkan dan merugikan bagi manusia. Maka mereka harus menjinakkannya. Yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.

Masyarakat Jawa ini juga percaya para dewa. Keyakinan mereka itu terlihat jelas sekali ketika mengimani adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul. Atau Ratu Pantai Selatan. Saya pernah berdebat dengan orang yang memuja Nyai Roro Kidul ini. Masyarakat Jawa yang berdomisili di daerah pantai selatan sangat mengimani bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut supaya mereka terhindar dari mala petaka.

Sampai 2019 sekarang ini, tradisi semacam ini tetap lestari. Dihormati bahkan dijunjung tinggi. Sebab secara budaya memang, itu bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi pemerintah daerah yang memiliki dan mengelolanya. Malah digali lagi tradisi-tradisi yang seperti ini. Tendensinya adalah ekonomi. Yaitu dijadikan tempat tujuan wisata. Baik bagi turis lokal maupun luar negeri. Namun secara agama, terutama akidah Islam, hal demikian ini sangat berbahaya.

Sekali lagi, Islam itu memang pro terhadap budaya dan tradisi. Tapi syaratnya, memang tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akidah Islam. Pakar filosof hukum Islam memberi rumus, “Al-Ashlu fi al-asyyaa’ ibaahah hatta yaquma al-daliil ‘ala al-nahy,” budaya dan tradisi itu asalnya memang boleh-boleh saja. Tetapi sekali lagi, tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akidah Islam itu sendiri. Terutama Alquran dan Hadis-Hadis yang sahih.

QS. Al-Maidah[5]: 104
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...