Selasa, 26 Maret 2019

OTORITAS HADIS


—Saiful Islam—


Paling tidak ada tiga golongan menyikapi Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Pertama, sangat membela Hadis. Golongan ini meyakini Hadis sebagai wahyu yang harus diteladani. Jadi, semua Hadis (qoulan, fi’lan, dan takriran) harus diikuti. Asumsi dasarnya adalah Nabi Muhammad sebagai uswaun hasanah (QS.33:21). Pendapat ini banyak diikuti oleh para ahli Hadis.

Golongan kedua, menolak otoritas Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Sebab, Hadis banyak yang palsu. Karenanya, Hadis diragukan validitasnya sebagai sumber ajaran Islam. Menurut golongan ini, hanya Al Qur’an satu-satunya sumber yang otentik dan otoritatif. Ini yang kemudian disebut sebagai ingkar sunnah.

Kalau dirinci lagi, golongan munkir al-sunnah ini sebenarnya dibagi dua. Pertama, kelompok yang hanya mengakui Hadis-Hadis Mutawatir dan menginkari Hadis Ahad. Yaitu, kelompk Mu’tazilah. Kelompok kedua, yang menolak seluruh Hadis. Ini adalah madzhab Rafidhah yang ekstrim.

Sedangkan golongan ketiga, cenderung selektif dan kritis menerima Hadis. Menurutnya, hanya Hadis Mutawatir dan Sahih saja—atau minimal Hasan—yang layak dipakai sebagai sumber ajaran Islam. Itu pun kalau Hadis-Hadis tersebut memang terkait dengan persoalan syariat. Ini adalah pendapat yang banyak diikuti oleh ahli Ushul Fiqh. Menurut saya, sebenarnya Mu’tazilah bisa masuk dalam golongan ini. Sebab, masih ada Hadis yang diterima. Tidak totalitas menolak Hadis.

Maka, Hadis-Hadis yang tidak terkait dengan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syariat dianggap sebagai Hadis-Hadis yang bersifat sekadar informatif saja. Tidak harus diikuti. Seperti Hadis-Hadis penampilan fisik Nabi: jenggot, celana cingkrang, berjubah, dan semisalnya—meski kalau mau meniru pun, misalnya dengan rambut gondrong sebahu, juga tidak salah.

Termasuk juga Hadis-Hadis tentang medis atau pengobatan yang pernah dilakukan Nabi SAW. Diantara pemikir yang berpendapat demikian adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Bahwa, Hadis pengobatan itu urusan duniawi. Hanya kebiasaan orang Arab saja saat itu. Bukan merupakan wahyu sedikitpun.

Jadi Hadis-Hadis pengobatan tersebut adalah Hadis ghair syar’iyyah. Alias Hadis yang bukan urusan syariat. Melainkan persoalan duniawi yang syarat dengan konteks tradisi Arab ketika itu. Sehingga tidak harus diikuti secara mutlak. Kalau pun Hadis-Hadis semacam ini mau diamalkan pada konteks sekarang, diperlukan penelitian dengan melibatkan disiplin keilmuan medis modern. Sehingga relevansi Hadis ini mempunyai sandaran ilmiah.

Analisis singkat. Kelompok pertama, menurut saya, lemah. Sebab faktanya, Hadis itu ada yang lemah (Dhaif). Sampai ada yang palsu (Maudhu’). Memang pernah terjadi pemalsuan Hadis besar-besaran.

Kelompok kedua juga lemah. Sebab kita tidak akan bisa melakukan teknis ibadah ritual jika hanya menggunakan Al Quran. Harus menggunakan Hadis. Seperti teknis shalat, puasa, zakat, dan haji.

Maka mau tidak mau, kita harus kritis terhadap Hadis. Menurut saya, kelompok ketiga inilah yang paling kuat. Paling tepat menyikapi Hadis, baik secara ontologis maupun epistimologis. Kritik sanad Hadis dan kritik matan-nya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...