Sabtu, 11 Mei 2019

CENDAWAN DI MUSIM HUJAN


—Saiful Islam—

Dari dulu pemikiran Islam itu, kalau tidak jabbariyah ya qodariyah. Itu ekstrimnya. Yang pertama, cenderung menganggap manusia tidak punya kehendak dan perbuatan. Dengan kata lain, kehendak dan perbuatan manusia, semuanya adalah kehendak Allah. Manusia hanya seperti wayang. Allah dalangnya. Aktivitas wayang, ditentukan sepenuhnya oleh sang dalang.

Sedangkan yang kedua, sebaliknya. Manusia dianggap mempunyai kehendak penuh. Sehingga bisa menentukan perbuatannya. Kehendak dan perbuatan manusia adalah murni kehendak dan perbuatannya sendiri. Keputusan-keputusannya adalah pilihannya sendiri. Kehendak bebas. Atau free will. Allah tidak ikut-ikut. Seperti mainan anak: mobil-mobilan yang ada batreinya. Setelah diberi batrei, lalu dibiarkan. Terserah mobil-mobilan itu digunakan untuk apa. Jadi Allah hanya memberi daya awalnya saja.

Dengan kata lain, ada yang ekstrem fatalistis. Sebaliknya, ada yang ekstrem rasionalis. Yang pertama adalah golongan jabbariyah. Sedangkan yang kedua adalah qodariyah. Jabbariyah lebih dekat dengan asy’ariyah. Kaum ortodoks, yang lebih mengutamakan riwayat. Sedangkan qodariyah relevan dengan muktazilah. Ahl ra’y pengagum ijtihad. Nalar.

Nah, eksisnya setiap golongan itu, biasanya sangat terkait dengan pemerintah. Pada pemerintahan Umayyah, kalangan jabbariyah lebih eksis. Sebaliknya, ketika masa Abbasyiyah, yang lebih lestari adalah qodariyah. Sejak awal pemerintahannya, sudah ada keyakinan bahwa pergantian kepemimpinan dari Ali kepada Muawiyyah itu adalah murni kehendak dan keputusan Allah.

Sedangkan pada pemerintahan Abbasiyah, khususnya Khalifah Al Makmun yang cenderung rasionalis, yang berkembang adalah teologi qodariyah. Muktazilah seperti tanah gersang yang disirami hujan lebat. Bahkan ia pernah memanggil para gubernurnya untuk mencari para ahli fikih dan pemikir untuk memaksakan ideologi rasionalitasnya itu. Yang paling terkenal adalah soal Qur’an, ia bersifat azali (qodim) atau baru (hadits).

Ahmad bin Hambal termasuk tokoh yang harus menerima hukuman dari pemerintah. Sebab ia menolak bahwa Al Qur’an itu makhluk. Menurutnya, Al Qur’an itu qodim. Bukan sesuatu yang baru diciptakan.

Karena disebarkan dengan cara pemaksaan, paham muktazilah atau rasionalis itu tidak berkembang. Agaknya, setiap yang dipaksakan itu, tidak akan diterima masyarakat. Jangankan ide manusia. Ide Allah pun, bisa jadi tidak akan ditolak. Makanya Qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Nabi Muhammad pun diperintah hanya sekadar menyampaikan. Supaya diterima, ide itu harus membudaya sehingga familiar kepada ummat.

Berbeda dengan Imam Malik yang meskipun disuruh pemerintah Abbasiyah, beliau tidak mau menyebarkan pemikirannya dalam Al Muwatta’ dengan cara paksa seperti itu. Dia mengatakan kepada sang Khalifah, “Jangan lakukan wahai Amirul Mukminin. Masyarakat telah mendapatkan berbagai riwaayat dan ijtihad. Sehingga setiap kota mengambil apa yang telah mereka peroleh.”

Indonesia juga seperti itu. Perhatikan saja ormas-ormasnya. Kenapa ormas? Sebab setiap ormas punya ideologi sendiri-sendiri. Entahlah apa motivasinya. Apakah ekonomi? Atau kekuasaan? Atau memang murni keilmuan dan kebenaran? Benar-benar untuk membuat umat cerdas dan berdaya? Mengubah masyarakat dari ‘tanah’ menjadi ‘burung’? Coba kalian renung-renungkan sendiri dulu hal ini.

Biasanya, ormas yang dekat dengan pemerintah ya itulah ormas yang akan lestari. Seperti cendawan di musim hujan. Begitu perumpamaannya kalau tidak salah. Yang paling tampak, misalnya antara NU, Muhammadiyah dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena NU dan Muhammadiyah ideologi-ideologinya banyak yang sesuai dengan keindonesiaan, keduanya akan selamat. Sedangkan HTI, karena berseberangan dengan pemerintah, ibarat tanaman yang disiram bensin.

Namun apa pun ideologinya, sejatinya yang terpenting adalah keilmiahannya serta dampak nyatanya kepada masyarakat. Mana yang paling sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari: antara jabbariyah dan qodariyah. Asy’ariy mencoba mengawinkan dua paham ekstrem itu dengan konsep kasab-nya. Meskipun lebih mengarah ke fatalistiknya. Paham mana yang membuat masyarakat lebih kreatif, inovatif dan aktif-progresif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...