—Saiful Islam—
Dari dulu pemikiran Islam itu,
kalau tidak jabbariyah ya qodariyah. Itu ekstrimnya. Yang pertama, cenderung
menganggap manusia tidak punya kehendak dan perbuatan. Dengan kata lain,
kehendak dan perbuatan manusia, semuanya adalah kehendak Allah. Manusia hanya
seperti wayang. Allah dalangnya. Aktivitas wayang, ditentukan sepenuhnya oleh
sang dalang.
Sedangkan yang kedua, sebaliknya.
Manusia dianggap mempunyai kehendak penuh. Sehingga bisa menentukan
perbuatannya. Kehendak dan perbuatan manusia adalah murni kehendak dan
perbuatannya sendiri. Keputusan-keputusannya adalah pilihannya sendiri.
Kehendak bebas. Atau free will. Allah tidak ikut-ikut. Seperti mainan
anak: mobil-mobilan yang ada batreinya. Setelah diberi batrei, lalu dibiarkan.
Terserah mobil-mobilan itu digunakan untuk apa. Jadi Allah hanya memberi daya
awalnya saja.
Dengan kata lain, ada yang ekstrem
fatalistis. Sebaliknya, ada yang ekstrem rasionalis. Yang pertama adalah
golongan jabbariyah. Sedangkan yang kedua adalah qodariyah. Jabbariyah lebih
dekat dengan asy’ariyah. Kaum ortodoks, yang lebih mengutamakan riwayat. Sedangkan
qodariyah relevan dengan muktazilah. Ahl ra’y pengagum ijtihad. Nalar.
Nah, eksisnya setiap golongan itu,
biasanya sangat terkait dengan pemerintah. Pada pemerintahan Umayyah, kalangan
jabbariyah lebih eksis. Sebaliknya, ketika masa Abbasyiyah, yang lebih lestari
adalah qodariyah. Sejak awal pemerintahannya, sudah ada keyakinan bahwa
pergantian kepemimpinan dari Ali kepada Muawiyyah itu adalah murni kehendak dan
keputusan Allah.
Sedangkan pada pemerintahan
Abbasiyah, khususnya Khalifah Al Makmun yang cenderung rasionalis, yang
berkembang adalah teologi qodariyah. Muktazilah seperti tanah gersang yang
disirami hujan lebat. Bahkan ia pernah memanggil para gubernurnya untuk mencari
para ahli fikih dan pemikir untuk memaksakan ideologi rasionalitasnya itu. Yang
paling terkenal adalah soal Qur’an, ia bersifat azali (qodim) atau baru
(hadits).
Ahmad bin Hambal termasuk tokoh
yang harus menerima hukuman dari pemerintah. Sebab ia menolak bahwa Al Qur’an
itu makhluk. Menurutnya, Al Qur’an itu qodim. Bukan sesuatu yang baru diciptakan.
Karena disebarkan dengan cara
pemaksaan, paham muktazilah atau rasionalis itu tidak berkembang. Agaknya,
setiap yang dipaksakan itu, tidak akan diterima masyarakat. Jangankan ide
manusia. Ide Allah pun, bisa jadi tidak akan ditolak. Makanya Qur’an sendiri
menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Nabi Muhammad pun
diperintah hanya sekadar menyampaikan. Supaya diterima, ide itu harus membudaya
sehingga familiar kepada ummat.
Berbeda dengan Imam Malik yang
meskipun disuruh pemerintah Abbasiyah, beliau tidak mau menyebarkan
pemikirannya dalam Al Muwatta’ dengan cara paksa seperti itu. Dia
mengatakan kepada sang Khalifah, “Jangan lakukan wahai Amirul Mukminin. Masyarakat
telah mendapatkan berbagai riwaayat dan ijtihad. Sehingga setiap kota mengambil
apa yang telah mereka peroleh.”
Indonesia juga seperti itu.
Perhatikan saja ormas-ormasnya. Kenapa ormas? Sebab setiap ormas punya ideologi
sendiri-sendiri. Entahlah apa motivasinya. Apakah ekonomi? Atau kekuasaan? Atau
memang murni keilmuan dan kebenaran? Benar-benar untuk membuat umat cerdas dan
berdaya? Mengubah masyarakat dari ‘tanah’ menjadi ‘burung’? Coba kalian
renung-renungkan sendiri dulu hal ini.
Biasanya, ormas yang dekat dengan
pemerintah ya itulah ormas yang akan lestari. Seperti cendawan di musim hujan.
Begitu perumpamaannya kalau tidak salah. Yang paling tampak, misalnya antara
NU, Muhammadiyah dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena NU dan Muhammadiyah
ideologi-ideologinya banyak yang sesuai dengan keindonesiaan, keduanya akan
selamat. Sedangkan HTI, karena berseberangan dengan pemerintah, ibarat tanaman
yang disiram bensin.
Namun apa pun ideologinya,
sejatinya yang terpenting adalah keilmiahannya serta dampak nyatanya kepada
masyarakat. Mana yang paling sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari: antara
jabbariyah dan qodariyah. Asy’ariy mencoba mengawinkan dua paham ekstrem itu
dengan konsep kasab-nya. Meskipun lebih mengarah ke fatalistiknya. Paham mana
yang membuat masyarakat lebih kreatif, inovatif dan aktif-progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar