Kamis, 23 Mei 2019

SINGGASANA DEWA GOYAH


—Saiful Islam—

“Dor… dor... dor…,” desing peluru. Bau mesiu sangat menyengat hidung. Menyesakkan dada. Gas air mata, membuat perih mata siapa saja. Kawat berduri roboh. Asap mengepul. Kaca-kaca pecah. Pasukan keamanan berbaris rapi sambil terus bersiap siaga dengan bedil-bedilnya. Di bulan Ramadan. Sebuah bulan yang mestinya tenang, damai yang berhias kerinduan beribadah kepada Tuhan.

===================

Kerajaan langit pagi itu, sedang sepi. Para penduduknya sedang berkumpul di sekitar telaga merah. Ada Sungokong, Patkai, Guruda, Sunkogu, Krilin, Jin Kura, Bejita, Sailor Stars, dan lain-lain. Mereka sedang mencari solusi menenangkan Singgasana Dewa yang sedang goyah. Maklum karena baru saja pemilu untuk menentukan sosok yang akan duduk di singgasana itu untuk lima tahun ke depan.

“Lihatlah. Para peri sedang berunjuk rasa,” Sungokong, si kera lincah itu mengawali.

“Korban berjatuhan. Kalau sudah begini, mau menyalahkan siapa?” timpal Patkai, si babi genit yang suka menggoda Krilin.

“Dari awal kan sudah kubilang,” sahut Sungoku, si kera kecil yang gesit dan cerdik. “Kerajaan langit ini kan sudah aturannya yang sudah disepakati bersama. Kalau kubu Lebah dan pasukannya tidak terima hasil penghitungan suara, menemukan bukti-bukti kecurangan, kan sudah ada Mahkamah Konstitusi. Bisa menggugat di sini. Secara konstitusional.”

“KPU memang terbukti curang, Kok,” Bejita menimpali.

“Itu kesalahan teknis. Bukan curang. Tolong bedakan ya. Kesalahan itu manusiawi,” tambah Jin Kura.

“Lagian, mereka sudah bekerja keras. Betul-betul bekerja. Lihat saja, anggota KPPS bahkan sampai ratusan yang tewas,” kata Sailor Stars.

“Iya, sudah ditegur oleh Bawaslu,” kata Jin Kura lagi.

Krilin, peri yang centil itu nyeletuk, “Hei Si Babi Jelek. Sudah jelas. Ini salah si Lebah. Serta para penasehat spiritualnya. Coba saja dari awal lantang bersuara: ‘hai rakyat lebah. Jangan ada yang demo. Sekali lagi, saya tegaskan, jangan sampai ya. Kalian semua tetap tenang di rumah masing-masing. Bekerja masing-masing seperti biasa. Kecurangan ini kita akan tempuh lewat meja hijau’. Pastilah semua kegaduhan ini tidak ada terjadi. Tidak akan ada korban!”

“Baru kalau sudah korban berjatuhan, mengecam tindakan anarkis. Kayak lips sing aja. Memangnya tindakan anarkis itu tidak ada sebab-musababnya? Ini gak mikir, atau pura-pura nggak mikir sih? Tindakan anarkis itu, karena provokasi oleh provokator. Iya kan? Sudah jelas itu. Tentu saja yang memprovokasi itu adalah orang-orang yang tidak puas dengan keputusan KPU.”

“Kan demo memang dilindungi undang-undang, kawan?”

“Iya memang. Tapi ingat, yang dilindungi undang-undang itu adalah demonya. Menyampaikan pendapat. Tapi kalau anarkis, melawan kerajaan, itu sudah beda lagi. Tidak ada satu pun kerajaan di seantero langit ini yang menolelir anarkisme…” Sahut yang lain.

“Betul-betul. Sudah kubaca di Jawa Pos. Sang Dewa pun menyatakan bahwa, kerajaan akan menindak tegas para perusuh!”

“Ya wajar lah kalau ditindak tegas. Kalau kerajaan ini lembek, demi dikit langsung tumbang, wah mau jadi apa kerajaan langit ini. Kita akan menjadi kerajaan yang tidak punya wibawa.”

“Ya tapi, suruh siapa KPU curang, Hah?”

“Yang jelas, terjadi kesalahan. Sudah ditegur Bawaslu. Pihak yang memang berwenang. Ingat ya, pihak yang memang diberi wewenang. Jadi semuanya sudah diberi wewenangnya masing-masing. Sudah diberi tugasnya. Karena itu, mereka dibayar. Hukum juga sudah ditegakkan. Pun terus disempurnakan. Bisa dibayangkan kalau setiap orang bertindak yang bukan wewenangnya. Ada maling sedikit, langsung dibakar. Bayangkan juga jika kerajaan langit ini tidak ada hukumnya. Pastilah akan terjadi chaos yang mengerikan. Yang kuat akan menerkam yang lemah. Rimba!”

“Itulah pentingnya, semuanya harus taat hukum. Semuanya mesti berjalan sesuai rute yang telah disepakati bersama. Semuanya, bahkan sang dewa pun, harus mentaati hukum. Tidak tajam ke bawah, tidak tumpul ke atas. Semuanya harus bertindak sesuai konstitusi. Kalau tidak, wajar bila kerajaan mengerahkan militernya, keamanannya, tentu supaya kegaduhan ini berhenti. Supaya semuanya kembali ke relnya.”

Guruda dari tadi diam. Ia dengan tenang mendengarkan. Sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang ujungnya persis di depan dadanya. Suara ayam bertalu-talu. Tanda fajar akan segera menyapa semesta. Akhirnya, dia pun bersuara. “Pada hadirin sekalian,’ Guruda mengawali.

“Kitab suci kerap kali menyuruh kita supaya menggunakan akal. Baik itu dalam berbicara sampai melakukan tindakan. Akal itu Bahasa Arab, ‘al-‘aql’. Menariknya ‘tali kekang’, dalam Bahasa Arab itu disebut, ‘al-‘aqqal’—mengendalikan unta sehingga tidak hilang di padang sahara. Akar katanya sama: ‘aqala. Nah, semakin orang itu mampu mengekang dirinya pada hal-hal yang merugikan, semakin itu menjadi tanda, bahwa dia adalah orang yang berakal.”

“Lihatlah bangsa kita ini,” lanjut Guruda. Seperti daun kering. Disulut sedikit saja langsung kebakaran. Ini tanda, kita masih kurang menggunakan akal. Kurang bisa mengendalikan hati kita, mulut kita, tangan kita, perbuatan kita. Makanya kita tidak maju-maju. Kita mengalami kerugian demi kerugian. Maka, tidak bisa tidak, kita mesti membina akal ini. Karena di sinilah pengendalinya. Dan untuk membina akal ini, tidak bisa tidak, kita mesti meningkatkan l-i-t-e-r-a-s-i, literasi! Kembali ke dasar ajaran kitab suci: iqra’. Baca tulislah!”

Angin mulai berhembus. Gelombang laut mulai meninggi. Kabut-kabut di pucuk-pucuk gunung mulai memudar.

Salam…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...