—Saiful Islam—
“Dor… dor... dor…,” desing peluru. Bau
mesiu sangat menyengat hidung. Menyesakkan dada. Gas air mata, membuat perih
mata siapa saja. Kawat berduri roboh. Asap mengepul. Kaca-kaca pecah. Pasukan
keamanan berbaris rapi sambil terus bersiap siaga dengan bedil-bedilnya. Di
bulan Ramadan. Sebuah bulan yang mestinya tenang, damai yang berhias kerinduan
beribadah kepada Tuhan.
===================
Kerajaan langit pagi itu, sedang
sepi. Para penduduknya sedang berkumpul di sekitar telaga merah. Ada Sungokong,
Patkai, Guruda, Sunkogu, Krilin, Jin Kura, Bejita, Sailor Stars, dan lain-lain.
Mereka sedang mencari solusi menenangkan Singgasana Dewa yang sedang goyah. Maklum
karena baru saja pemilu untuk menentukan sosok yang akan duduk di singgasana
itu untuk lima tahun ke depan.
“Lihatlah. Para peri sedang
berunjuk rasa,” Sungokong, si kera lincah itu mengawali.
“Korban berjatuhan. Kalau sudah
begini, mau menyalahkan siapa?” timpal Patkai, si babi genit yang suka menggoda
Krilin.
“Dari awal kan sudah kubilang,”
sahut Sungoku, si kera kecil yang gesit dan cerdik. “Kerajaan langit ini kan
sudah aturannya yang sudah disepakati bersama. Kalau kubu Lebah dan pasukannya
tidak terima hasil penghitungan suara, menemukan bukti-bukti kecurangan, kan
sudah ada Mahkamah Konstitusi. Bisa menggugat di sini. Secara konstitusional.”
“KPU memang terbukti curang, Kok,”
Bejita menimpali.
“Itu kesalahan teknis. Bukan curang.
Tolong bedakan ya. Kesalahan itu manusiawi,” tambah Jin Kura.
“Lagian, mereka sudah bekerja
keras. Betul-betul bekerja. Lihat saja, anggota KPPS bahkan sampai ratusan yang
tewas,” kata Sailor Stars.
“Iya, sudah ditegur oleh Bawaslu,”
kata Jin Kura lagi.
Krilin, peri yang centil itu
nyeletuk, “Hei Si Babi Jelek. Sudah jelas. Ini salah si Lebah. Serta para
penasehat spiritualnya. Coba saja dari awal lantang bersuara: ‘hai rakyat
lebah. Jangan ada yang demo. Sekali lagi, saya tegaskan, jangan sampai ya. Kalian
semua tetap tenang di rumah masing-masing. Bekerja masing-masing seperti biasa.
Kecurangan ini kita akan tempuh lewat meja hijau’. Pastilah semua kegaduhan ini
tidak ada terjadi. Tidak akan ada korban!”
“Baru kalau sudah korban
berjatuhan, mengecam tindakan anarkis. Kayak lips sing aja. Memangnya tindakan
anarkis itu tidak ada sebab-musababnya? Ini gak mikir, atau pura-pura nggak
mikir sih? Tindakan anarkis itu, karena provokasi oleh provokator. Iya kan? Sudah
jelas itu. Tentu saja yang memprovokasi itu adalah orang-orang yang tidak puas
dengan keputusan KPU.”
“Kan demo memang dilindungi
undang-undang, kawan?”
“Iya memang. Tapi ingat, yang
dilindungi undang-undang itu adalah demonya. Menyampaikan pendapat. Tapi kalau
anarkis, melawan kerajaan, itu sudah beda lagi. Tidak ada satu pun kerajaan di
seantero langit ini yang menolelir anarkisme…” Sahut yang lain.
“Betul-betul. Sudah kubaca di Jawa
Pos. Sang Dewa pun menyatakan bahwa, kerajaan akan menindak tegas para perusuh!”
“Ya wajar lah kalau ditindak tegas.
Kalau kerajaan ini lembek, demi dikit langsung tumbang, wah mau jadi apa
kerajaan langit ini. Kita akan menjadi kerajaan yang tidak punya wibawa.”
“Ya tapi, suruh siapa KPU curang,
Hah?”
“Yang jelas, terjadi kesalahan. Sudah
ditegur Bawaslu. Pihak yang memang berwenang. Ingat ya, pihak yang memang
diberi wewenang. Jadi semuanya sudah diberi wewenangnya masing-masing. Sudah diberi
tugasnya. Karena itu, mereka dibayar. Hukum juga sudah ditegakkan. Pun terus
disempurnakan. Bisa dibayangkan kalau setiap orang bertindak yang bukan
wewenangnya. Ada maling sedikit, langsung dibakar. Bayangkan juga jika kerajaan
langit ini tidak ada hukumnya. Pastilah akan terjadi chaos yang mengerikan. Yang
kuat akan menerkam yang lemah. Rimba!”
“Itulah pentingnya, semuanya harus
taat hukum. Semuanya mesti berjalan sesuai rute yang telah disepakati bersama. Semuanya,
bahkan sang dewa pun, harus mentaati hukum. Tidak tajam ke bawah, tidak tumpul
ke atas. Semuanya harus bertindak sesuai konstitusi. Kalau tidak, wajar bila
kerajaan mengerahkan militernya, keamanannya, tentu supaya kegaduhan ini
berhenti. Supaya semuanya kembali ke relnya.”
Guruda dari tadi diam. Ia dengan
tenang mendengarkan. Sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang ujungnya persis
di depan dadanya. Suara ayam bertalu-talu. Tanda fajar akan segera menyapa
semesta. Akhirnya, dia pun bersuara. “Pada hadirin sekalian,’ Guruda mengawali.
“Kitab suci kerap kali menyuruh
kita supaya menggunakan akal. Baik itu dalam berbicara sampai melakukan
tindakan. Akal itu Bahasa Arab, ‘al-‘aql’. Menariknya ‘tali kekang’, dalam
Bahasa Arab itu disebut, ‘al-‘aqqal’—mengendalikan unta sehingga tidak hilang
di padang sahara. Akar katanya sama: ‘aqala. Nah, semakin orang itu mampu
mengekang dirinya pada hal-hal yang merugikan, semakin itu menjadi tanda, bahwa
dia adalah orang yang berakal.”
“Lihatlah bangsa kita ini,” lanjut
Guruda. Seperti daun kering. Disulut sedikit saja langsung kebakaran. Ini tanda,
kita masih kurang menggunakan akal. Kurang bisa mengendalikan hati kita, mulut
kita, tangan kita, perbuatan kita. Makanya kita tidak maju-maju. Kita mengalami
kerugian demi kerugian. Maka, tidak bisa tidak, kita mesti membina akal ini. Karena
di sinilah pengendalinya. Dan untuk membina akal ini, tidak bisa tidak, kita
mesti meningkatkan l-i-t-e-r-a-s-i, literasi! Kembali ke dasar ajaran kitab
suci: iqra’. Baca tulislah!”
Angin mulai berhembus. Gelombang laut
mulai meninggi. Kabut-kabut di pucuk-pucuk gunung mulai memudar.
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar