Selasa, 21 Mei 2019

MUFASSIR YANG SASTRAWAN


          —Saiful Islam—

            Indonesia ini, pernah punya seorang mufassir yang sekaligus sastrawan. Hamka, namanya. Aku bilang mufassir, karena dia menulis kitab tafsir yang berjudul Tafsir Al Azhar. Saat menyelesaikan tugas, kami dulu mahasiswa Tafsir Hadis, sering mengutip buku ini. Di samping Tafsir Al Misbah, karya Quraisy Shihab. Mungkin lebih mudah, karena memang ditulis dengan Bahasa Indonesia. Tentu saja, di samping kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

            Disebut sastrawan, sebab Hamka juga menulis novel. Dua yang sudah kuhatamkan: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dua novel yang membuat hati mendesir-desir, bulu kuduk merinding, sekaligus sangat inspiratif. Ceritanya sedih, romantis, sekaligus membangun jiwa. Sastra memang bukan sakadar ‘hayalan belaka’. Tapi sering inspirasinya dari kehidupan real.

            Nama lengkapnya Abdul Malik Karim Amrullah. Disingkat Hamka, itu menjadi nama penanya. Ia lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya. Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Persisnya pada 17 Februari tahun 1908. Mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Juga dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) oleh Universitas Moestopo, Jakarta.

            Yang paling menarik dari Hamka ini, adalah ia mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Alias tanpa guru. Sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar tanpa guru. Sebelumnya, Hamka telah belajar Bahasa Arab. Sebuah alat yang membantunya mampu mengakses kitab-kitab berbahasa Arab karya ulama-ulama besar.

            Memang. Allah berikan ilmu, itu tidak selalu yang sekolah. Bukan selalu yang nyantri di pondok pesantren atau yang ngampus di Universitas. Juga bukan yang jurusannya. Tetapi Allah memberikan ilmu itu kepada siapa yang semangat belajar. Yang rakus kepada ilmu. Yang nafsu penasarannya sangat besar. Artinya, yang bukan jurusannya pun akan diberi ilmu Allah. Kalau ia mau belajar. Apalagi sudah jurusannya, semangat pula.

            Hamka kecil, dulu dipanggil Malik. Ayah Malik yang bernama Haji Rasul, adalah murid langsung Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Haji Rasul ini, adalah seorang ulama yang menentang tradisi dan amalan tarekat yang dianggap menyimpang. Meskipun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah (kakek Malik), adalah seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah. Dan Sitti Tarsawa, istri Amrullah (nenek Malik), adalah pengajar tari, nyanyian, dan pencak silat.

            Malik tinggal bersama neneknya itu. Seperti anak-anak pada umumnya, pastilah bersentuhan dengan budaya setempat. Begitu juga Malik. Ia terbiasa mendengarkan pantun-pantun yang menggambarkan keindahan alam Minangkabau. Di usia 4 tahun, Hamka kecil itu bersama orang tuanya pindah ke Padangpanjang. Di sana ia mulai belajar membaca Al Qur’an dan bacaan-bacaan shalat.

            Menginjak usia 7 tahun, Malik mulai masuk Sekolah Desa. Seperti SD kalau sekarang. Hanya bedanya, sekolah desa itu ditempuh tiga tahun saja. Paginya, ia ke Sekolah Desa. Malamnya, belajar di Diniyah School—pengganti sistem pendidikan berbasis surau (langgar) yang dirintis oleh Zainuddin Labay El Yunusy tahun 1916. Sejak kecil, Malik amat suka dengan bahasa. Ini membuatnya cepat sekali menguasai Bahasa Arab.

            Sebab lebih memprioritaskan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Hamka kecil itu ke sekolah Thawalib. Sekolah ini mewajibkan para muridnya menghafal kitab-kitab klasik, serta grammar Bahasa Arab (Nahwu-Sharaf). Jadi, paginya Malik ke Diniyah School, sorenya ke Thawalib, dan malamnya kembali ke surau. Model hafalan, itu ternyata membuat Hamka kecil jenuh. Ia hanya tertarik pelajaran arudh yang mengkaji seputar syair dalam Bahasa Arab.

            Meski hidup dalam lingkungan ilmu seperti itu, Hamka kecil terkenal nakal. Jika ada maunya, kemudian tidak dituruti, Hamka kecil itu sering mengganggu teman-temannya. Ia pun bocah yang hobi nonton film. Ia pernah bolos ngaji, mengelabui ayahnya untuk menonton film bioskop. Makanya sering kukatakan pada kalian, jangan keburu melabel anak itu nakal. Sangat bisa jadi nakal itu adalah daya kreatif dan inovatif yang belum terarah saja.

            Sejak remaja, Malik adalah anak bolang. Suka merantau. Bahkan ayahnya sendiri menjulukinya, Si Bujang Jauh. Di usia 15 tahun, ia pernah minggat dari rumah untuk berkelana ke Jawa. Di Jogja, ia belajar Tafsir Al Qur’an kepada Ki Bagus Hadikusumo. Ia menemukan keasyikan dalam belajar tafsir itu yang mengupas ayat-ayat Qur’an secara mendalam.

            Gurunya yang lain adalah Hos Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Tjokroaminoto ini sangat sayang kepada Malik. Ia menaruh perhatian kepada Hamka muda itu, karena semangatnya yang luar biasa dalam belajar. Malik tekun sekali mengikuti pelajaran. Juga sering bertanya dan menyalin pelajaran yang diperolehnya.

            Hamka menjalani hidupnya sebagai seorang wartawan, penulis dan pengajar. Selain yang kusebut di atas, masih banyak lagi karya-karya Hamka antara lain. Tak kurang dari 70-an judul. Seperti Si Sabariah, Pembela Islam, Ringkasan Tarikh Umat Islam, Laila Majnun, Merantu ke Deli, Tashawwuf Modern, dan lain-lain. Hamka wafat di Jakarta 24 Juli 1981, pada usia 73 tahun.

Salam…
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...