—Saiful Islam—
Indonesia
ini, pernah punya seorang mufassir yang sekaligus sastrawan. Hamka, namanya. Aku
bilang mufassir, karena dia menulis kitab tafsir yang berjudul Tafsir Al
Azhar. Saat menyelesaikan tugas, kami dulu mahasiswa Tafsir Hadis, sering
mengutip buku ini. Di samping Tafsir Al Misbah, karya Quraisy Shihab.
Mungkin lebih mudah, karena memang ditulis dengan Bahasa Indonesia. Tentu saja,
di samping kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Disebut
sastrawan, sebab Hamka juga menulis novel. Dua yang sudah kuhatamkan: Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dua novel yang
membuat hati mendesir-desir, bulu kuduk merinding, sekaligus sangat inspiratif.
Ceritanya sedih, romantis, sekaligus membangun jiwa. Sastra memang bukan
sakadar ‘hayalan belaka’. Tapi sering inspirasinya dari kehidupan real.
Nama
lengkapnya Abdul Malik Karim Amrullah. Disingkat Hamka, itu menjadi nama
penanya. Ia lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya. Kabupaten Agam,
Sumatera Barat. Persisnya pada 17 Februari tahun 1908. Mendapat gelar doktor
kehormatan dari Universitas Al Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Juga dikukuhkan
sebagai guru besar (profesor) oleh Universitas Moestopo, Jakarta.
Yang
paling menarik dari Hamka ini, adalah ia mendalami sejarah Islam dan sastra
secara otodidak. Alias tanpa guru. Sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar
tanpa guru. Sebelumnya, Hamka telah belajar Bahasa Arab. Sebuah alat yang
membantunya mampu mengakses kitab-kitab berbahasa Arab karya ulama-ulama besar.
Memang.
Allah berikan ilmu, itu tidak selalu yang sekolah. Bukan selalu yang nyantri di
pondok pesantren atau yang ngampus di Universitas. Juga bukan yang jurusannya. Tetapi
Allah memberikan ilmu itu kepada siapa yang semangat belajar. Yang rakus kepada
ilmu. Yang nafsu penasarannya sangat besar. Artinya, yang bukan jurusannya pun
akan diberi ilmu Allah. Kalau ia mau belajar. Apalagi sudah jurusannya,
semangat pula.
Hamka
kecil, dulu dipanggil Malik. Ayah Malik yang bernama Haji Rasul, adalah murid
langsung Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Haji Rasul ini, adalah seorang ulama
yang menentang tradisi dan amalan tarekat yang dianggap menyimpang. Meskipun
ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah (kakek Malik), adalah seorang mursyid
tarekat Naqsyabandiyah. Dan Sitti Tarsawa, istri Amrullah (nenek Malik), adalah
pengajar tari, nyanyian, dan pencak silat.
Malik
tinggal bersama neneknya itu. Seperti anak-anak pada umumnya, pastilah
bersentuhan dengan budaya setempat. Begitu juga Malik. Ia terbiasa mendengarkan
pantun-pantun yang menggambarkan keindahan alam Minangkabau. Di usia 4 tahun,
Hamka kecil itu bersama orang tuanya pindah ke Padangpanjang. Di sana ia mulai
belajar membaca Al Qur’an dan bacaan-bacaan shalat.
Menginjak
usia 7 tahun, Malik mulai masuk Sekolah Desa. Seperti SD kalau sekarang. Hanya bedanya,
sekolah desa itu ditempuh tiga tahun saja. Paginya, ia ke Sekolah Desa. Malamnya,
belajar di Diniyah School—pengganti sistem pendidikan berbasis surau (langgar)
yang dirintis oleh Zainuddin Labay El Yunusy tahun 1916. Sejak kecil, Malik
amat suka dengan bahasa. Ini membuatnya cepat sekali menguasai Bahasa Arab.
Sebab
lebih memprioritaskan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Hamka kecil itu
ke sekolah Thawalib. Sekolah ini mewajibkan para muridnya menghafal kitab-kitab
klasik, serta grammar Bahasa Arab (Nahwu-Sharaf). Jadi, paginya Malik ke
Diniyah School, sorenya ke Thawalib, dan malamnya kembali ke surau. Model hafalan,
itu ternyata membuat Hamka kecil jenuh. Ia hanya tertarik pelajaran arudh yang
mengkaji seputar syair dalam Bahasa Arab.
Meski
hidup dalam lingkungan ilmu seperti itu, Hamka kecil terkenal nakal. Jika ada
maunya, kemudian tidak dituruti, Hamka kecil itu sering mengganggu
teman-temannya. Ia pun bocah yang hobi nonton film. Ia pernah bolos ngaji,
mengelabui ayahnya untuk menonton film bioskop. Makanya sering kukatakan pada
kalian, jangan keburu melabel anak itu nakal. Sangat bisa jadi nakal itu adalah
daya kreatif dan inovatif yang belum terarah saja.
Sejak
remaja, Malik adalah anak bolang. Suka merantau. Bahkan ayahnya sendiri
menjulukinya, Si Bujang Jauh. Di usia 15 tahun, ia pernah minggat dari rumah
untuk berkelana ke Jawa. Di Jogja, ia belajar Tafsir Al Qur’an kepada Ki Bagus
Hadikusumo. Ia menemukan keasyikan dalam belajar tafsir itu yang mengupas
ayat-ayat Qur’an secara mendalam.
Gurunya
yang lain adalah Hos Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Tjokroaminoto ini sangat
sayang kepada Malik. Ia menaruh perhatian kepada Hamka muda itu, karena
semangatnya yang luar biasa dalam belajar. Malik tekun sekali mengikuti
pelajaran. Juga sering bertanya dan menyalin pelajaran yang diperolehnya.
Hamka
menjalani hidupnya sebagai seorang wartawan, penulis dan pengajar. Selain yang
kusebut di atas, masih banyak lagi karya-karya Hamka antara lain. Tak kurang
dari 70-an judul. Seperti Si Sabariah, Pembela Islam, Ringkasan Tarikh Umat
Islam, Laila Majnun, Merantu ke Deli, Tashawwuf Modern, dan lain-lain. Hamka wafat
di Jakarta 24 Juli 1981, pada usia 73 tahun.
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar