—Saiful Islam—
“Tentu saja, bagi saya, Qur’an
bukan kitab sastra. Bukan novel. Kisah-kisah masa lalunya, serta
kejadian-kejadian masa depan yang disebutnya, adalah kenyataan!”
Adalah Ali Abdurraziq dalam bukunya
Al Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan) yang
mengritik konsep khilafah. Menurutnya, kekhalifahan itu soal politik. Bukan
agama. Lebih tegasnya, ia memisahkan antara politik dan agama. Kita, Indonesia,
juga punya tokoh yang pemikirannya seperti itu: Nur Khalis Majid, dan Gus Dur.
Islam yes, partai Islam No.
Kita
juga pernah mendengar bahwa kisah-kisah dalam Al Quran itu, bukan pasti
bersifat historis. Artinya, kisah-kisah tersebut tidak benar-benar terjadi.
Bukan kejadiannya yang penting. Tapi ibrahnya atau pelajarannya. Adalah Thaha
Husain yang menggunakan konsep Muhammad Abduh, bahwa kisah-kisah Al Quran itu
adalah tamtsilat (perumpamaan). Bukan fakta-fakta historis semata. Kesimpulan
itu dikuatkan setelah Thaha mengkaji puisi Jahiliah.
Kata
Thaha Husain, kisah tentang Hijrah Ibrahim, Ismail, dan ibunya ke Mekah, bukan
merupakan fakta historis. Yang bisa disimpulkan dari kisah ini adalah bahwa
sejak saat itu sudah ada bahasa di Jazirah Arab. Kelompok tradisionalis
bereaksi keras kepadanya. Tepatnya, dua tahun setelah peristiwa pengadilan atas
Ali Abdurraziq. Sebuah reaksi yang juga mirip didapatkan oleh Cak Nur dan Gus
Dur.
Ini
di Universitas Kairo. Kira-kira dua puluh tahun kemudian. Peristiwa ketiga ini
adalah, ketika Muhamad Ahmad Khalafullah meneliti untuk meraih gelar doktor
tentang Seni Naratif dalam Al Quran (Fann al Qashsh fi al Quran al Karim).
Pembimbingnya adalah Amin al Khuli.
Berangkat
dari tesis-tesis gurunya serta keberhasilan Muhammad Abduh, Khalafullah
berusaha mengkaji kisah-kisah Al Quran dengan metode analisis sastra. Ia pun
menyatakan, bahwa kisah-kisah itu adalah sistem narasi yang difungsikan secara
religius. Bukan sebagai fakta sejarah. Alis tidak benar-benar terjadi.
Akibatnya,
Khalafullah dipecat dari Universitas dan hasil penelitiannya itu tidak
diterima. Dan beberapa tahun kemudian, gurunya bersama sejumlah profesor juga
dipecat dalam ‘proses pembersihan’ yang dilakukan oleh penguasa militer
liberal.
Sampai
saat ini, saya tidak setuju kalau kisah-kisah itu dikatakan tidak benar-benar
terjadi. Bagi saya, kisah-kisah dalam Qur’an, semuanya, memang pernah terjadi.
Sebuah fakta historis. Meski begitu, saya tidak setuju kalau para pemikir itu
harus dipecat, dituduh kafir, murtad, dan semisalnya. Pemikiran kreatif mereka
itu, tetap berharga bagi kita sebagai khazanah intelektual.
Dalam
dunia cerita, memang ada cerita yang benar-benar terjadi. Ada juga cerita yang
hanya rekaan. Cerita itu memang ada yang non fiksi, ada juga yang fiksi. Non fiksi
berarti cerita itu benar-benar terjadi. Misalnya cerita-cerita yang ada di
surat kabar. Jawa Pos, atau Kompas misalnya. Ceritanya bisa berbentuk berita,
bisa juga berupa feature. Alias berita yang lebih lembut.
Adapun
cerita fiksi, ini adalah cerita rekaan. Buah imajinasi. Hayalan. Karena hayalan,
semua orang hampir bisa melakukannya. Sebebas-bebasnya. Terserah dia. Misalnya saya
bercerita singkat begini. Tadi malam saya ketemu pocong di belakang masjid. Waktu
orang tarawih. Karena saya memang penasaran, pocong itu saya bukan tali-talinya.
Subhanallah. Ternyata itu pocong cantik banget. Sekarang pocong itu ada di
rumah saya. Menjadi adik istri saya. Hehehe…
Dalam
pikiran, tepatnya otak kanan, tak ada bedanya antara kisah fiksi dan non fiksi.
Prosesnya pun, saya rasa, mirip. Yaitu menghadirkan gambar-gambar, atau ide-ide
dalam kepala. Maka wajar kalau sempat rame beberapa hari lalu, saat disebut
bahwa kitab suci itu adalah fiksi. Ditinjau dari kacamata filsafat, memang bisa
begitu. Tapi tentu beda dengan kaca mata orang beriman. Yang sejak awal dengan
rasionalitasnya amat sangat yakin bahwa semesta yang begitu teratur ini pasti
ada penciptanya.
Cerita
rekaan misalnya cerita-cerita sinetron, novel, cerpen, dan lain sebagainya. Meski
begitu, cerita-cerita fiksi, itu idenya bisa dari kejadian real. Nyata. Saya beberapa
kali membuat cerita seperti ini. Awalnya saya ceritakan apa adanya nama-nama
orangnya, tempatnya, alurnya dan seterusnya. Nah, untuk kepentingan sastra,
saya ubahlah semua itu. Saya tambah-tambahi, kurangi, dan seterusnya. Memang
begitu kalau kita belajar menulis dari sastrawan dunia.
Malah
kita juga kenal dengan sains fiksi. Yaitu teori-teori sains yang dibumbu-bumbui
dengan hayalan. Imajinasi. Rekaan. Tapi tunggu dulu. Jangan meremehkan fiksi. Sebab
semua teknologi canggih yang pernah ada di muka bumi ini, awalnya adalah
imajinasi! Sebut saja misalnya pesawat, helikopter, kapal, gawai (gadget), dan
lain seterusnya. Pantas saja kata Einstein, “Imajinasi itu lebih penting
daripada pengetahuan.”
Tentu
saja, bagi saya, Qur’an bukan kitab sastra. Bukan novel. Kisah-kisah masa
lalunya, serta kejadian-kejadian masa depan yang disebutnya, adalah kenyataan!
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar