Minggu, 12 Mei 2019

KETIKA PROFESOR DIPECAT


—Saiful Islam—

“Tentu saja, bagi saya, Qur’an bukan kitab sastra. Bukan novel. Kisah-kisah masa lalunya, serta kejadian-kejadian masa depan yang disebutnya, adalah kenyataan!”

Adalah Ali Abdurraziq dalam bukunya Al Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan) yang mengritik konsep khilafah. Menurutnya, kekhalifahan itu soal politik. Bukan agama. Lebih tegasnya, ia memisahkan antara politik dan agama. Kita, Indonesia, juga punya tokoh yang pemikirannya seperti itu: Nur Khalis Majid, dan Gus Dur. Islam yes, partai Islam No.

            Kita juga pernah mendengar bahwa kisah-kisah dalam Al Quran itu, bukan pasti bersifat historis. Artinya, kisah-kisah tersebut tidak benar-benar terjadi. Bukan kejadiannya yang penting. Tapi ibrahnya atau pelajarannya. Adalah Thaha Husain yang menggunakan konsep Muhammad Abduh, bahwa kisah-kisah Al Quran itu adalah tamtsilat (perumpamaan). Bukan fakta-fakta historis semata. Kesimpulan itu dikuatkan setelah Thaha mengkaji puisi Jahiliah.

            Kata Thaha Husain, kisah tentang Hijrah Ibrahim, Ismail, dan ibunya ke Mekah, bukan merupakan fakta historis. Yang bisa disimpulkan dari kisah ini adalah bahwa sejak saat itu sudah ada bahasa di Jazirah Arab. Kelompok tradisionalis bereaksi keras kepadanya. Tepatnya, dua tahun setelah peristiwa pengadilan atas Ali Abdurraziq. Sebuah reaksi yang juga mirip didapatkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.

            Ini di Universitas Kairo. Kira-kira dua puluh tahun kemudian. Peristiwa ketiga ini adalah, ketika Muhamad Ahmad Khalafullah meneliti untuk meraih gelar doktor tentang Seni Naratif dalam Al Quran (Fann al Qashsh fi al Quran al Karim). Pembimbingnya adalah Amin al Khuli.

            Berangkat dari tesis-tesis gurunya serta keberhasilan Muhammad Abduh, Khalafullah berusaha mengkaji kisah-kisah Al Quran dengan metode analisis sastra. Ia pun menyatakan, bahwa kisah-kisah itu adalah sistem narasi yang difungsikan secara religius. Bukan sebagai fakta sejarah. Alis tidak benar-benar terjadi.

            Akibatnya, Khalafullah dipecat dari Universitas dan hasil penelitiannya itu tidak diterima. Dan beberapa tahun kemudian, gurunya bersama sejumlah profesor juga dipecat dalam ‘proses pembersihan’ yang dilakukan oleh penguasa militer liberal.

            Sampai saat ini, saya tidak setuju kalau kisah-kisah itu dikatakan tidak benar-benar terjadi. Bagi saya, kisah-kisah dalam Qur’an, semuanya, memang pernah terjadi. Sebuah fakta historis. Meski begitu, saya tidak setuju kalau para pemikir itu harus dipecat, dituduh kafir, murtad, dan semisalnya. Pemikiran kreatif mereka itu, tetap berharga bagi kita sebagai khazanah intelektual.

            Dalam dunia cerita, memang ada cerita yang benar-benar terjadi. Ada juga cerita yang hanya rekaan. Cerita itu memang ada yang non fiksi, ada juga yang fiksi. Non fiksi berarti cerita itu benar-benar terjadi. Misalnya cerita-cerita yang ada di surat kabar. Jawa Pos, atau Kompas misalnya. Ceritanya bisa berbentuk berita, bisa juga berupa feature. Alias berita yang lebih lembut.

            Adapun cerita fiksi, ini adalah cerita rekaan. Buah imajinasi. Hayalan. Karena hayalan, semua orang hampir bisa melakukannya. Sebebas-bebasnya. Terserah dia. Misalnya saya bercerita singkat begini. Tadi malam saya ketemu pocong di belakang masjid. Waktu orang tarawih. Karena saya memang penasaran, pocong itu saya bukan tali-talinya. Subhanallah. Ternyata itu pocong cantik banget. Sekarang pocong itu ada di rumah saya. Menjadi adik istri saya. Hehehe…

            Dalam pikiran, tepatnya otak kanan, tak ada bedanya antara kisah fiksi dan non fiksi. Prosesnya pun, saya rasa, mirip. Yaitu menghadirkan gambar-gambar, atau ide-ide dalam kepala. Maka wajar kalau sempat rame beberapa hari lalu, saat disebut bahwa kitab suci itu adalah fiksi. Ditinjau dari kacamata filsafat, memang bisa begitu. Tapi tentu beda dengan kaca mata orang beriman. Yang sejak awal dengan rasionalitasnya amat sangat yakin bahwa semesta yang begitu teratur ini pasti ada penciptanya.

            Cerita rekaan misalnya cerita-cerita sinetron, novel, cerpen, dan lain sebagainya. Meski begitu, cerita-cerita fiksi, itu idenya bisa dari kejadian real. Nyata. Saya beberapa kali membuat cerita seperti ini. Awalnya saya ceritakan apa adanya nama-nama orangnya, tempatnya, alurnya dan seterusnya. Nah, untuk kepentingan sastra, saya ubahlah semua itu. Saya tambah-tambahi, kurangi, dan seterusnya. Memang begitu kalau kita belajar menulis dari sastrawan dunia.

            Malah kita juga kenal dengan sains fiksi. Yaitu teori-teori sains yang dibumbu-bumbui dengan hayalan. Imajinasi. Rekaan. Tapi tunggu dulu. Jangan meremehkan fiksi. Sebab semua teknologi canggih yang pernah ada di muka bumi ini, awalnya adalah imajinasi! Sebut saja misalnya pesawat, helikopter, kapal, gawai (gadget), dan lain seterusnya. Pantas saja kata Einstein, “Imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan.”

            Tentu saja, bagi saya, Qur’an bukan kitab sastra. Bukan novel. Kisah-kisah masa lalunya, serta kejadian-kejadian masa depan yang disebutnya, adalah kenyataan!

            Salam…
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...