—Saiful Islam—
“Apakah orang miskin tidak perlu
uang? Tidak. Karena jalan menuju surga ditaburi emas dan berlian…”
Pernyataan terkenal dari Karl Mark,
“Agama adalah candu masyarakat.” Atau opium masyarakat. Bisa juga disebut,
agama hanyalah fantasi. Sebuah ilusi. Lebih spesifik, kritikan Mark ini tertuju
pada agama Kristen. Berpijak pada kejadian abad pertengahan (18—19), di London
Inggris, dan Perancis. Yaitu usaha kaum kelas tertindas menggulingkan
pemerintah dan dominasi gereja.
Pandangan
Mark ini berdasar bahwa terjadi ketidakadilan ekonomi di masyarakat. Yang
menguasai lahan produktif saat itu adalah para elit agama Kristen. Maka
muncullah protestan sebagai protes terhadap dominasi tersebut. Agama hanya
digunakan alat untuk meredam kekecewaan dan protes kalangan tertindas.
Masyarakat miskin tak perlu bersedih, karena jalan di surga bertabur batu
jamrud.
Disebutkan
juga bahwa agama dan hukum diciptakan hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan
ekonomi kaum borjuis. Seorang ibu miskin akan dihukum karena mencuri sebutir
roti milik saudagar. Meski saudagar ini adalah seorang bos besar yang kaya
raya. Jadi, kaum elits baik agamawan maupun negarawan, seperti bersekongkol
untuk mempertahankan posisi mereka.
Agama
adalah sebuah pelarian masyarakat miskin dari kenyataan. Sebuah pelarian dari
rasa kekecewaan yang sangat dalam. Dengan agama, penderitaan dan kepedihan yang
dialami oleh masyarakat yang tereksploitasi dapat diringangkan melalui fantasi
tentang dunia supernatural—tempat dimana tidak ada lagi penderitaan dan
penindasan.
Apakah
orang miskin tidak perlu uang? Tidak. Karena jalan menuju surga ditaburi emas
dan berlian. Apakah orang miskin iri kepada yang kaya? Tidak. Karena mereka
telah membaca kisah Yesus dengan si miskin Lazarus. Jiwa si miskin itu akan
pergi ke Bapa Abraham saat meninggal. Di sana, mereka melihat jiwa orang kaya
yang menindas mereka sewaktu di dunia dimasukkan neraka. ‘Terbang’ dan kembali
kepada Tuhan dalam kehidupan sesudah mati, seperti diyakini orang Negro, adalah
pelipur lara yang menggiurkan orang-orang yang menderita dalam kehidupan saat
ini.
Jadi
setelah melihat gambaran di atas, pandangan Mark itu menyorot agama dan negara
dari sudut negatif. Agama dan negara, atau lebih tepatnya hukum, hanya
menguntungkan orang-orang kaya saja. Wajar, sebab penulisnya memang dari awal
adalah seorang ateis. Dengan konteks abad 19. Zaman industri. Kritikan Mark itu
seakan-akan membela kaum yang tertindas. Para buruh.
Maka
dasar narasi Mark ini adalah pertentangan kelas. Yaitu kelas borjuis dengan
kelas proletar. Si kaya dengan si miskin. Selalu terjadi dialektika seperti itu
di tengah-tengah masyarakat. Dulu manusia satu memang bisa memperbudak manusia
lainnya. Atau mempekerjakan orang lain dengan upah seminimum mungkin agar
mendapat laba semaksimal mungkin. Bahkan romusa, alias kerja paksa.
Sekarang
mari kita melihat realitas sosial abad informasi ini. Sebuah abad yang sudah
berubah dan berangsur berbeda dengan abad industri itu. Di abad industri
tersebut, orang-orang tertentu memang bisa memonopoli ekonomi. Tapi di abad
terbuka informasi ini, sangat memungkinkan bagi kalangan miskin untuk bangkit.
Bahkan bersaing dengan para pemilik modal.
Satu-satunya
cara yang harus dilakukan kaum miskin itu adalah menguasai teknologi informasi
serta berdagang atau berbisnis dengan memanfaatkan IT tersebut. Sekali lagi,
masyarakat miskin harus mau berbisnis. Menjadi kepala, meski itu kepala semut.
Harus dimulai sesegera mungkin. Bagi kita umat Islam, sudah dari dulu Nabi
Muhammad berpesan, “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada mukmin yang lemah.” Termasuk kuat ekonomi, politik dan sosialnya.
Era
bebasnya informasi ini, bisa menjadi angin segar bagi rakyat jelata. Bagi
masyarakat miskin. Lebih tepatnya kaum buruh yang ingin mengubah nasibnya. Dari
bodoh menjadi cerdas. Dari miskin menjadi sejahtera. Dari terbelakang menjadi
terdepan. Mereka bisa bernafas panjang, sebab sudah muncul saat ini brand-brand
besar bertumbangan. Kalah dengan bisnis kecil pemula. Rumahan pula.
Sudah
waktunya umat, kembali ke Qur’an. Buku sakti yang akan mengubah hidup. Sebuah pesan
langit yang perintah awalnya adalah bacalah! Kita tahu, peradaban berkembang
pesat seperti ini, itu semua berawal dari menerapkan perintah ajaib tersebut.
Kembali ke Sains. Kembali memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya. Dan sebaliknya,
meninggalkan mitos-mitos yang melenakan.
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar