Rabu, 15 Mei 2019

MENJADI KEPALA SEMUT


—Saiful Islam—

“Apakah orang miskin tidak perlu uang? Tidak. Karena jalan menuju surga ditaburi emas dan berlian…”

Pernyataan terkenal dari Karl Mark, “Agama adalah candu masyarakat.” Atau opium masyarakat. Bisa juga disebut, agama hanyalah fantasi. Sebuah ilusi. Lebih spesifik, kritikan Mark ini tertuju pada agama Kristen. Berpijak pada kejadian abad pertengahan (18—19), di London Inggris, dan Perancis. Yaitu usaha kaum kelas tertindas menggulingkan pemerintah dan dominasi gereja.

            Pandangan Mark ini berdasar bahwa terjadi ketidakadilan ekonomi di masyarakat. Yang menguasai lahan produktif saat itu adalah para elit agama Kristen. Maka muncullah protestan sebagai protes terhadap dominasi tersebut. Agama hanya digunakan alat untuk meredam kekecewaan dan protes kalangan tertindas. Masyarakat miskin tak perlu bersedih, karena jalan di surga bertabur batu jamrud.

            Disebutkan juga bahwa agama dan hukum diciptakan hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi kaum borjuis. Seorang ibu miskin akan dihukum karena mencuri sebutir roti milik saudagar. Meski saudagar ini adalah seorang bos besar yang kaya raya. Jadi, kaum elits baik agamawan maupun negarawan, seperti bersekongkol untuk mempertahankan posisi mereka.

            Agama adalah sebuah pelarian masyarakat miskin dari kenyataan. Sebuah pelarian dari rasa kekecewaan yang sangat dalam. Dengan agama, penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang tereksploitasi dapat diringangkan melalui fantasi tentang dunia supernatural—tempat dimana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan.

            Apakah orang miskin tidak perlu uang? Tidak. Karena jalan menuju surga ditaburi emas dan berlian. Apakah orang miskin iri kepada yang kaya? Tidak. Karena mereka telah membaca kisah Yesus dengan si miskin Lazarus. Jiwa si miskin itu akan pergi ke Bapa Abraham saat meninggal. Di sana, mereka melihat jiwa orang kaya yang menindas mereka sewaktu di dunia dimasukkan neraka. ‘Terbang’ dan kembali kepada Tuhan dalam kehidupan sesudah mati, seperti diyakini orang Negro, adalah pelipur lara yang menggiurkan orang-orang yang menderita dalam kehidupan saat ini.

            Jadi setelah melihat gambaran di atas, pandangan Mark itu menyorot agama dan negara dari sudut negatif. Agama dan negara, atau lebih tepatnya hukum, hanya menguntungkan orang-orang kaya saja. Wajar, sebab penulisnya memang dari awal adalah seorang ateis. Dengan konteks abad 19. Zaman industri. Kritikan Mark itu seakan-akan membela kaum yang tertindas. Para buruh.

            Maka dasar narasi Mark ini adalah pertentangan kelas. Yaitu kelas borjuis dengan kelas proletar. Si kaya dengan si miskin. Selalu terjadi dialektika seperti itu di tengah-tengah masyarakat. Dulu manusia satu memang bisa memperbudak manusia lainnya. Atau mempekerjakan orang lain dengan upah seminimum mungkin agar mendapat laba semaksimal mungkin. Bahkan romusa, alias kerja paksa.

            Sekarang mari kita melihat realitas sosial abad informasi ini. Sebuah abad yang sudah berubah dan berangsur berbeda dengan abad industri itu. Di abad industri tersebut, orang-orang tertentu memang bisa memonopoli ekonomi. Tapi di abad terbuka informasi ini, sangat memungkinkan bagi kalangan miskin untuk bangkit. Bahkan bersaing dengan para pemilik modal.

            Satu-satunya cara yang harus dilakukan kaum miskin itu adalah menguasai teknologi informasi serta berdagang atau berbisnis dengan memanfaatkan IT tersebut. Sekali lagi, masyarakat miskin harus mau berbisnis. Menjadi kepala, meski itu kepala semut. Harus dimulai sesegera mungkin. Bagi kita umat Islam, sudah dari dulu Nabi Muhammad berpesan, “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” Termasuk kuat ekonomi, politik dan sosialnya.

            Era bebasnya informasi ini, bisa menjadi angin segar bagi rakyat jelata. Bagi masyarakat miskin. Lebih tepatnya kaum buruh yang ingin mengubah nasibnya. Dari bodoh menjadi cerdas. Dari miskin menjadi sejahtera. Dari terbelakang menjadi terdepan. Mereka bisa bernafas panjang, sebab sudah muncul saat ini brand-brand besar bertumbangan. Kalah dengan bisnis kecil pemula. Rumahan pula.

            Sudah waktunya umat, kembali ke Qur’an. Buku sakti yang akan mengubah hidup. Sebuah pesan langit yang perintah awalnya adalah bacalah! Kita tahu, peradaban berkembang pesat seperti ini, itu semua berawal dari menerapkan perintah ajaib tersebut. Kembali ke Sains. Kembali memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya. Dan sebaliknya, meninggalkan mitos-mitos yang melenakan.

            Salam…
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...