Jumat, 24 Mei 2019

BERSEKUTU DENGAN JIN


—Saiful Islam—

“Inilah bedanya anak-anak Yahudi dengan anak-anak kita. Sejak kecil, mereka akrab dengan bahasa dan alat musik, kalau kita dicekokin dan ditakut-takutin dengan hantu…”

“Jin itu apa? Apakah ia makhluk halus?” Tanya seorang kawan.

Dalam budaya kita bangsa Indonesia, khususnya saya (Jawa-Madura), sudah menjadi pandangan umum (common sense) bahwa jin itu adalah makhluk halus. Sekali lagi, dalam konteks budaya itu, makhluk halus dipercaya sebagai makhluk metafisik yang hidup di alam lain. Atau dimensi lain.

Kepercayaan ini berkembang. Misalnya jin itu bisa bersekutu (berkawan dan bekerjasama) dengan manusia. “Bersekutu dengan setan,” begitu kalau versi Ebiet. Hehehe. Dikatakan juga bahwa jin itu bisa merasuk dalam tubuh manusia. Diistilahkan dengan kesurupan. Dengan kata lain, jin itu digambarkan sebagai sosok. Kata benda abstrak.

Makhluk halus ini mereka istilahkan juga dengan makhluk ghoib. Sebuah sosok yang bisa memberi manfaat dan mudarat kepada manusia. Makhluk ghoib yang bisa disuruh oleh manusia sekaligus bisa menyuruh manusia. Bahkan digambarkan sebagai sosok-sosok yang sedang bergentayangan di langit, di sekitar kita, siang dan terutama malam.

Keberadaan sesuatu itu, memang ada yang fisik. Ada juga yang metafisik. Gampangnya begini. Fisik itu bisa diindra. Kata benda kongkret. Bisa dijangkau dengan kaidah-kaidah ilmiah. Materi. Real. Seperti secangkir kopi di depan saya ini. Atau globe ini. Atau laptop ini, buku-buku ini, tembok ini, smartphone ini, dan seterusnya.

Yang kedua, adalah keberadaan metafisik. Kebalkan dari fisik. Kata benda abstrak. Tidak bisa dijangkau dengan lima panca indra kita. Non materi yang tidak tersusun dari sel-sel, inti sel, proton, elektron, neutron, dan seterusnya. Seperti Allah, malaikat, surga, dan lain-lain.

Tapi kok bisa diyakini keberadaannya? Gampang, karena kita orang yang beriman. Kok bisa beriman? Kepada Allah misalnya. Kita percaya betul, Allah itu harus ada. Kenapa? Sebelum ke kitab suci, akal rasional kita menyimpulkan itu. Karena keberaadaan alam semesta ini yang begitu mengagumkan, indah, yang teratur sistemnya dengan segala item-itemnya. Dalam sebuah hubungan yang harmonis. Yang membuat mata terbelalak. Dan tentu semua itu mesti ada yang mengatur. Dialah Allah!

Keberadaan yang metafisik itu adalah ghoib. Dalam Bahasa Arab, asalnya ghoib itu berarti lawan dari hadir. Setiap yang tidak hadir sekarang di hadapan kalian, itu adalah ghoib. Karena lawan dari hadir, ia bisa hal fisik maupun metafisik. Saya yang menulis ini, adalah ghoib bagi kalian yang membaca. Karena saya tidak hadir di hadapan kalian saat kalian membaca. Iya kan?

Ghoib juga berarti semua makhluk metafisika itu. Kata benda abstrak itu. Kenapa? Karena semuanya tidak bisa kita indra dengan lima panca indra kita: penglihatan dengan mata, pendengaran dengan telinga, penciuman dengan hidung, penyecapan dengan lidah, dan perabaan dengan tangan. Maka Allah, dalam sudut pandang ini, adalah ghoib. Begitu juga dengan jin yang diartikan makhluk halus oleh budaya kita, Jawa-Madura.

Jadi, ghoib itu tidak selalu makhluk halus. Tapi juga makhluk kasar. Saya bisa jadi ghoib bagi kalian, ketika saya tidak berada di hadapan kalian. Begitu juga sebalknya, kalian adalah ghoib bagi saya, ketika kalian tidak sedang berada di depan saya. Meski begitu, akal kalian bisa pastikan bahwa saya ada. Buktinya adalah tulisan yang sedang kalian baca ini.

Sudah jamak diketahui, bahwa rukun iman itu ada enam. Iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari yang terakhir (kiamat), dan takdir. Nah kan. Di situ salah satunya disebutkan iman kepada kitab-kitab Allah. Yakni Zabur kepada Daud, Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, dan Qur’an kepada Muhammad SAW. Kitab-kitab ini adalah kongkret. Benda fisik. Jadi sekali lagi, ghoib itu tidak selalu makhluk halus.

Ayat Qur’an menyebut, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghoib...” (2:3). Kalau ditinjau secara umum, maka ghoib di sini bisa berarti dua tadi. Bisa sesuatu yang fisik, bisa juga yang metafisik. Namun bila ditinjau dari bentuk katanya, al-ghoib, di situ, ada tambahan ‘al’. ‘The’ dalam Bahasa Inggris. Berarti ghoib tunggal yang tertentu. Khusus. Misalnya tertuju hanya pada Allah. Bukan jamak ‘ghuyub’ atau ‘ghiyab’.

Sebagai orang yang beriman, referensi hidup kita, pada dasarnya adalah kitab sucinya. Yakni, Al Qur’an. Terutama informasi seputar makhluk metafisik itu. Ini rumusnya: kita hanya percaya keberadaan hal-hal metafisik itu sebatas informasi Allah dalam Al Qur’an. Bahkan juga Nabi Muhammad. Beliau hanyalah manusia biasa. Bedanya dengan kita, beliau mendapat wahyu secara langsung (18:110).

Termasuk soal jin, malaikat, setan, surga, dan lain seterusnya. Insya Allah akan kita lihat bersama. Sebab, biasanya keyakinan kita itu hanya ikut-ikut. Terpengaruh tradisi dan budaya dimana seorang anak itu dilahirkan. Jangan sampai kita salah memberikan konsep yang salah tentang jin, setan, hantu, dan seterusnya itu kepada anak didik kita. Terutama anak-anak kita sendiri. Bisa rusak otaknya. Berbahaya sekali!

Saya pernah menulis, kenapa anak-anak orang Yahudi itu kok cerdas-cerdas dan jenius? Berbeda dengan anak-anak kita, bangsa Indonesia? Silakan cek di blog saya (tipkemenangan.blogspot.com). Kalau tidak salah, salah satunya sejak kecil anak-anak Yahudi diajari paling tidak minimal tiga bahasa: Ibrani, Arab, Inggris. Mereka juga dilatih bermain alat musik. Kalau anak-anak kita? Sejak kecil dicekokin hantu!

Salam…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...