—Saiful Islam—
“Mas. Kok aku sering dengar bid’ah
bid’ah begitu. Kesannya serem gitu. Apa sih itu?”
Jadi begini. Bid’ah itu Bahasa
Arab. Kalau kamu bukan almaany.com ketika kata ba’, dal, dan ‘ain. Itu kata
kerjanya. Fi’il. Terus geser ke bawah. Nanti ketemu kata bid’ah. Kata bendanya,
atau ism. Itu bentuk tunggal (singular, kalau Inggris). Pluralnya adalah bida’.
Di situ disebut bahwa bid’ah berarti apa pun yang dibuat-buat. Baik dalam
Islam, maupun yang lain. Ini arti umumnya.
Kemudian dikutipkan penggalan sebuah
Hadis. Bunyinya begini: setiap yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah
adalah sesat. Hadis itu ada terusannya. Yaitu, dan setiap kesesatan itu akan
masuk neraka. Nah, mungkin inilah yang membuat bid’ah itu terkesan serem,
seperti yang kamu katakan tadi. Jadi gampangnya, bid’ah itu inovasi. Yakni
lebih tepatnya, inovasi dalam Islam.
Tentunya, bukan semua inovasi. Tetapi,
membuat inovasi dalam ritual-ritual atau akidah-akidah agama Islam. Kita tahu
dalam Islam itu, ada ibadah secara khusus. Ibadah mahdhah. Khusus maksudnya,
tata caranya sudah ditentukan. Seperti shalat, puasa, dan haji. Nah, dalam hal
ini memang tidak boleh berinovasi. Misalnya, karena kita orang Indonesia lalu
shalat pakai bahasa Indonesia. Contoh lain, puasa Ramadan diganti saja bulannya
Rajab. Tidak bisa.
Dalam Islam, itu ada ritual-ritual,
akidah-akidah (keyakinan), dan ada juga budaya. Sangat penting di sini
membedakan hal tersebut. Kalau ritual atau akidah, ini sifatnya global dan
universal. Tetap. Shalat misalnya. Dari zaman Rasulullah sampai sekarang,
mestinya tidak boleh berubah. Tapi pakaian orang yang shalat itu, tempatnya
(mau mushala, rumah, kantor, atau masjid), itu boleh dan bisa berubah. Shalat
pakai jeans dan kaos oblong? Ya sah. Yang penting menutup aurat.
Sedangkan budaya Islam, ini
bersifat lokal dan temporal. Nah, di wilayah inilah kita bisa berinovasi. Disesuaikan
dengan konteks waktu dan tempat, situasi dan kondisi tertentu yang sesuai. Pantas.
Tadi sudah kukatakan, bahwa tidak semua inovasi yang sesat. Speaker masjid
misalnya. Tentu boleh-boleh saja menyesuaikan konteks. Tapi bisa juga haram
kalau tadarus keras-keras tengah malam sehingga mengganggu tetangga sekitarnya.
Tadi menurut arti katanya, bahwa
bid’ah itu apapun yang dibuat-buat itu sesat. Masak batik bid’ah, hanya karena
Rasul tidak pernah pakai batik? Sepeda engkol bid’ah, hanya karena Rasul tidak
pernah gowes? Secuter matic bid’ah, hanya karena Rasul tidak pernah naik sepeda
motor? Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, itu bid’ah, hanya karena Rasul
tidak pernah punya smartphone berandroid? Tentu tidak bukan?!
Memang dalam masyarakat itu, kita
jumpai dua kubu yang ekstrim. Kubu pertama, mudah membid’ahkan. Apa-apa bid’ah.
Sedikit-sedikit bid’ah. Yasin bid’ah. Tahlilan bid’ah. Ziarah kubur bid’ah. Megengan
bid’ah. Serakalan bid’ah. Barzanjian bid’ah. Ngaji pakai pelantang suara bid’ah.
Nanti lama-lama makan pakai garpu dan sendok bid’ah. Makan mie kuah bid’ah. Kalau
nggak celana cingkrang dibilang nggak nyunnah. Kalau nggak berjenggot (seperti
aku) disebut nggak nyunnah. Membaca usholli, katanya bid’ah. Bersalaman setelah
shalat, geleng-geleng, katanya bid’ah. Dzikir atau wirid bersuara, juga diklaim
bid’ah.
Kubu kedua sebaliknya. Seperti kendaraan
tidak ada remnya. Rem blong. Posisi berdoa, tangan diangkat, kemudian
mengatakan, “Ya sayyidi ya Rasulalloh”. Tentu saja, ini haram. Itu artinya kan
berdoa kepada Rasulullah. Ya bisa-bisa syirik. Dalam shalat membaca doa
panjang. Ditambah-tambahi doa sendiri yang tidak ada contohnya dari Hadis.
Sudah tahu Hadisnya tidak ada kata ‘sayyidina’, ditambahi sendiri ‘sayyidina’. Katanya
supaya tidak kurang ajar kepada Nabi. Padahal Bahasa Arab itu bahasa netral
yang memang berbeda dengan bahasa Jawa—Madura yang berkasta.
Pahala doa dikirim ke mayit. Padahal
frase ‘mengirim doa’ itu saja sudah salah. Yang benar itu berdoa atau
memanjatkan doa. Doa tidak bisa dikirim. Nabi Muhammad itu istrinya Khadijah
wafat, putranya, Ibrahim juga wafat. Saat beliau masih hidup. Tidak pernah
beliau mengirim pahala bacaan fatihah kepada orang-orang yang dicintainya itu.
Apalagi mengirimkan pahala bacaan Yasin, Waqi’ah, Ar Rahman, dan lain
seterusnya. Karena memang Qur’annya mengatakan pahala itu tidak bisa ditransfer
seperti kita belanja online begitu.
Maka dalam Islam itu ada hal-hal
yang harus tetap. Tidak berubah. Yaitu soal-soal ritual mahdhah dan akidah. Dan
ada juga sesuatu yang boleh berubah, bahkan harus bid’ah di sini, mesti berubah,
berkreasi, dan berinovasi seiring dengan perubahan zaman dan tempat. Seperti soal
sosial budaya, sains teknologi, dan semisalnya.
Pegang prinsip ini. Asal dari
sesuatu itu (budaya), adalah boleh. Sampai ada dalil yang melarang. Asal dari
ibadah mahdhah, itu batal. Tidak boleh. Alias haram. Sampai ada dalil yang
menyuruh.
Islam itu, memang agama
substansial. Fokus yang digarap adalah pikiran dan hati manusia. Sampai
membuahkan karakter yang indah. “Aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan
akhlak manusia,” tutur Rasul. Budaya itu hanya pelengkap saja. Bahkan casing
saja. Batik, jubah, celana cingkrang, jeans, songkok, tasbih, jas, surban,
sarung, siwak, kaca mata, model kerudung, semua itu sekadar bungkus. Kemasan. Fashion.
Yang tidak jarang bisa menipu.
Bahkan namaku (Saiful Islam), ini
juga topeng belaka. Padahal sangat bisa jadi aku ini penipu, pembohong, pengkhianat,
pendusta agama yang semena-mena kepada anak yatim, bakhil pada sesama. Yang shalatnya
cuma untuk pamer. Baca Qur’annya juga pamer. Yang malas belajar dan bekerja. Yang
kasar dan jahat pada anak istri. Yang durhaka pada orang tua. Yang tidak
menghormati guru dan sesama. Yang zhalim pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
“Ooo… jadi begitu ya…”
Ya. Sementara itu dulu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar