Senin, 20 Mei 2019

RASUL TAK PERNAH GOWES


—Saiful Islam—

“Mas. Kok aku sering dengar bid’ah bid’ah begitu. Kesannya serem gitu. Apa sih itu?”

Jadi begini. Bid’ah itu Bahasa Arab. Kalau kamu bukan almaany.com ketika kata ba’, dal, dan ‘ain. Itu kata kerjanya. Fi’il. Terus geser ke bawah. Nanti ketemu kata bid’ah. Kata bendanya, atau ism. Itu bentuk tunggal (singular, kalau Inggris). Pluralnya adalah bida’. Di situ disebut bahwa bid’ah berarti apa pun yang dibuat-buat. Baik dalam Islam, maupun yang lain. Ini arti umumnya.

Kemudian dikutipkan penggalan sebuah Hadis. Bunyinya begini: setiap yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Hadis itu ada terusannya. Yaitu, dan setiap kesesatan itu akan masuk neraka. Nah, mungkin inilah yang membuat bid’ah itu terkesan serem, seperti yang kamu katakan tadi. Jadi gampangnya, bid’ah itu inovasi. Yakni lebih tepatnya, inovasi dalam Islam.

Tentunya, bukan semua inovasi. Tetapi, membuat inovasi dalam ritual-ritual atau akidah-akidah agama Islam. Kita tahu dalam Islam itu, ada ibadah secara khusus. Ibadah mahdhah. Khusus maksudnya, tata caranya sudah ditentukan. Seperti shalat, puasa, dan haji. Nah, dalam hal ini memang tidak boleh berinovasi. Misalnya, karena kita orang Indonesia lalu shalat pakai bahasa Indonesia. Contoh lain, puasa Ramadan diganti saja bulannya Rajab. Tidak bisa.

Dalam Islam, itu ada ritual-ritual, akidah-akidah (keyakinan), dan ada juga budaya. Sangat penting di sini membedakan hal tersebut. Kalau ritual atau akidah, ini sifatnya global dan universal. Tetap. Shalat misalnya. Dari zaman Rasulullah sampai sekarang, mestinya tidak boleh berubah. Tapi pakaian orang yang shalat itu, tempatnya (mau mushala, rumah, kantor, atau masjid), itu boleh dan bisa berubah. Shalat pakai jeans dan kaos oblong? Ya sah. Yang penting menutup aurat.

Sedangkan budaya Islam, ini bersifat lokal dan temporal. Nah, di wilayah inilah kita bisa berinovasi. Disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat, situasi dan kondisi tertentu yang sesuai. Pantas. Tadi sudah kukatakan, bahwa tidak semua inovasi yang sesat. Speaker masjid misalnya. Tentu boleh-boleh saja menyesuaikan konteks. Tapi bisa juga haram kalau tadarus keras-keras tengah malam sehingga mengganggu tetangga sekitarnya.

Tadi menurut arti katanya, bahwa bid’ah itu apapun yang dibuat-buat itu sesat. Masak batik bid’ah, hanya karena Rasul tidak pernah pakai batik? Sepeda engkol bid’ah, hanya karena Rasul tidak pernah gowes? Secuter matic bid’ah, hanya karena Rasul tidak pernah naik sepeda motor? Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, itu bid’ah, hanya karena Rasul tidak pernah punya smartphone berandroid? Tentu tidak bukan?!

Memang dalam masyarakat itu, kita jumpai dua kubu yang ekstrim. Kubu pertama, mudah membid’ahkan. Apa-apa bid’ah. Sedikit-sedikit bid’ah. Yasin bid’ah. Tahlilan bid’ah. Ziarah kubur bid’ah. Megengan bid’ah. Serakalan bid’ah. Barzanjian bid’ah. Ngaji pakai pelantang suara bid’ah. Nanti lama-lama makan pakai garpu dan sendok bid’ah. Makan mie kuah bid’ah. Kalau nggak celana cingkrang dibilang nggak nyunnah. Kalau nggak berjenggot (seperti aku) disebut nggak nyunnah. Membaca usholli, katanya bid’ah. Bersalaman setelah shalat, geleng-geleng, katanya bid’ah. Dzikir atau wirid bersuara, juga diklaim bid’ah.

Kubu kedua sebaliknya. Seperti kendaraan tidak ada remnya. Rem blong. Posisi berdoa, tangan diangkat, kemudian mengatakan, “Ya sayyidi ya Rasulalloh”. Tentu saja, ini haram. Itu artinya kan berdoa kepada Rasulullah. Ya bisa-bisa syirik. Dalam shalat membaca doa panjang. Ditambah-tambahi doa sendiri yang tidak ada contohnya dari Hadis. Sudah tahu Hadisnya tidak ada kata ‘sayyidina’, ditambahi sendiri ‘sayyidina’. Katanya supaya tidak kurang ajar kepada Nabi. Padahal Bahasa Arab itu bahasa netral yang memang berbeda dengan bahasa Jawa—Madura yang berkasta.

Pahala doa dikirim ke mayit. Padahal frase ‘mengirim doa’ itu saja sudah salah. Yang benar itu berdoa atau memanjatkan doa. Doa tidak bisa dikirim. Nabi Muhammad itu istrinya Khadijah wafat, putranya, Ibrahim juga wafat. Saat beliau masih hidup. Tidak pernah beliau mengirim pahala bacaan fatihah kepada orang-orang yang dicintainya itu. Apalagi mengirimkan pahala bacaan Yasin, Waqi’ah, Ar Rahman, dan lain seterusnya. Karena memang Qur’annya mengatakan pahala itu tidak bisa ditransfer seperti kita belanja online begitu.

Maka dalam Islam itu ada hal-hal yang harus tetap. Tidak berubah. Yaitu soal-soal ritual mahdhah dan akidah. Dan ada juga sesuatu yang boleh berubah, bahkan harus bid’ah di sini, mesti berubah, berkreasi, dan berinovasi seiring dengan perubahan zaman dan tempat. Seperti soal sosial budaya, sains teknologi, dan semisalnya.

Pegang prinsip ini. Asal dari sesuatu itu (budaya), adalah boleh. Sampai ada dalil yang melarang. Asal dari ibadah mahdhah, itu batal. Tidak boleh. Alias haram. Sampai ada dalil yang menyuruh.

Islam itu, memang agama substansial. Fokus yang digarap adalah pikiran dan hati manusia. Sampai membuahkan karakter yang indah. “Aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia,” tutur Rasul. Budaya itu hanya pelengkap saja. Bahkan casing saja. Batik, jubah, celana cingkrang, jeans, songkok, tasbih, jas, surban, sarung, siwak, kaca mata, model kerudung, semua itu sekadar bungkus. Kemasan. Fashion. Yang tidak jarang bisa menipu.

Bahkan namaku (Saiful Islam), ini juga topeng belaka. Padahal sangat bisa jadi aku ini penipu, pembohong, pengkhianat, pendusta agama yang semena-mena kepada anak yatim, bakhil pada sesama. Yang shalatnya cuma untuk pamer. Baca Qur’annya juga pamer. Yang malas belajar dan bekerja. Yang kasar dan jahat pada anak istri. Yang durhaka pada orang tua. Yang tidak menghormati guru dan sesama. Yang zhalim pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

“Ooo… jadi begitu ya…”

Ya. Sementara itu dulu…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...