Senin, 13 Mei 2019

APEM MEGENGAN


—Saiful Islam—
“Mas, megengan itu apa? Dan bagaimana hukumnya? Gimana kita menyikapinya?”
Megengan itu tradisi. Budaya. Atau kebiasaan masyarakat setempat. Dari Banyuwangi, Madura, sampai Surabaya, kita bisa temui tradisi ini. Gampangnya, megengan itu rasa bangga menyambut datangnya bulan Ramadan. Masyarakat biasanya ramai-ramai membuat kue apem. Konon apem itu asalnya dari kata Bahasa Arab, afwan. Artinya minta maaf.
Makanya sehari, dua hari, beberapa hari menjelang Bulan Ramadan benar-benar tiba, teman-teman kita mengucapkan permintaan maaf. Mereka berharap mendapat maaf dari orang lain. Terutama saudara, teman, tetangga, dan orang-orang lain yang mereka kenal. Sehingga dalam hubungan antar manusia, mereka tidak punya salah. Tidak memiliki dosa lagi. Mereka ingin masuk Bulan Ramadan dalam keadaan benar-benar bersih.
Masyarakat juga berlomba-lomba memberi nasi bungkus, nasi kotakan, dan sepertinya ke masjid. Itu juga ungkapan kebahagiaan menyambut datangnya Bulan Ramadan. Disamping itu, motivasinya adalah bersedekah dengan harapan pahala bacaan Yasin Tahlil yang dibacakan ustadz dan para jamaah sampai ke orang-orang yang mereka cintai yang telah meninggal.
Bahkan di tempatku, orang-orang yang bersedekah ke masjid seperti itu sampai berhari-hari. Ya mau tidak mau, ustadz membaca Yasin setiap hari. Biasanya selepas maghrib. Anak-anak usia SD biasanya, tentu gembira sekali dengan tradisi ini. Mereka mendapat bagian yang sama dengan jamaah yang lain.
Selain itu, masyarakat biasanya ke kuburan. Nyekar, istilah populernya. Mereka datang untuk membersihkan kuburan keluarga tercintanya yang telah meninggal. Juga menyiram dan menabur bunga di atasnya. Kemudian mereka duduk dengan khusyuk sambil membaca Al Qur’an. Agaknya motivasinya sama: mengirim pahala bacaan mereka itu untuk si mayit. Lantas mereka berdoa kepada Allah supaya almarhum almarhumah diampuni semua dosanya dan mendapat surga-Nya.
Ada yang memrotes ziarah kubur khususnya. Yang paling ekstrim alasannya adalah berdoa kepada mayit. Tapi jujur, aku belum pernah menemui orang yang terang-terangan berdoa kepada keluarganya yang sudah wafat itu. Entahlah kalau dulu, saat masyarakat Jawa-Madura khususnya benar-benar tradisional yang sulit orang pandai. Kalau sekarang, tampaknya, semua orang sudah tahu bahwa tidak berdoa kepada mayit.
Lalu soal hukumnya. Sudah kusebut di atas bahwa ini adalah tradisi. Atau budaya. Islam itu tidak anti tradisi. Tapi juga tidak sembarangan menerima tradisi. Seperti kendaraan, Islam itu canggih remnya. Islam itu hanya menerima tradisi yang baik-baik. Yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Begini rumusnya: kalau soal tradisi asalnya boleh. Sampai ada dalil yang melarang. Urusan ibadah (mahdhah), asalnya dilarang. Sampai ada dalil yang menyuruhnya.
Baca yasin dan tahlilan berjamaah, ini baik-baik saja. Orang-orang bersedekah dengan memberi apem, nasi kotak, dan lain-lain, ini juga bagus sekali. Tapi kalau keyakinan bahwa pahala bacaan yasin dan tahlil, atau pahala bancaan itu sampai ke mayit, baru harus ada dalilnya. Sayang, sepanjang penelusuranku pada ayat-ayat Qur’an, pahala itu tidak bisa ditransferkan. Siapa yang berbuat, dia yang dapat. Jadi yang dapat pahala, ya orang-orang yang membaca yasin dan tahlil. Serta orang-orang yang bersedekah itu sendiri.
Soal ziarah kubur. Ziarah kubur itu baik. Mendoakan mayit juga bagus. Boleh. Halal. Bisa membuat kita ingat mati. Suatu saat, pasti, kita akan mati. Gentian dengan orang-orang yang kita ziarahi itu: ayah kita, kakek kita, paman kita, dan seterusnya. Nanti, giliran kita yang akan ‘tidur’ berkalang tanah itu. “Dulu aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, berziarahlah,” tutur Nabi. Nyekar itu halal. Malah menjadi berkah bagi para penjual bunga dan tukang parkir, serta mungkin petugas kebersihan dan para pedagang kecil di sekitarnya.
Yang haram itu kalau berdoa kepada mayit. Atau menganggap mayit itu keramat, ampuh, sakti. Sehingga kehebatan si mayit menandingi Allah. Atau menjadikan mayit sebagai perantara sampainya doa kita kepaad Allah. Ini yang nggak boleh, menurutku. Atau yakin, kalau doa kita tak akan diterima Allah kecuali melalui perantara si mayit. “Mintalah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya,” begitu tegas sekali pernyataan Allah dalam QS. Al Baqarah. Jadi langsung ‘kepada-Ku’. Tidak boleh perantara-perantara lagi. Wong Allah sudah amat sangat dekat dengan kita. Allah sudah ‘di sini’.
Jadi begitu. Sama sekali aku tidak memaksakan sikapku ini. Karena aku tahu, banyak yang punya sikap lain. Kalau kau merasa tentram, silakan diterima. Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Kita, selama mukmin, tetap bersaudara. Hattal akhirah. Wassalam…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...