—Saiful Islam—
“Mas, megengan
itu apa? Dan bagaimana hukumnya? Gimana kita menyikapinya?”
Megengan itu
tradisi. Budaya. Atau kebiasaan masyarakat setempat. Dari Banyuwangi, Madura,
sampai Surabaya, kita bisa temui tradisi ini. Gampangnya, megengan itu rasa
bangga menyambut datangnya bulan Ramadan. Masyarakat biasanya ramai-ramai
membuat kue apem. Konon apem itu asalnya dari kata Bahasa Arab, afwan. Artinya
minta maaf.
Makanya sehari,
dua hari, beberapa hari menjelang Bulan Ramadan benar-benar tiba, teman-teman
kita mengucapkan permintaan maaf. Mereka berharap mendapat maaf dari orang
lain. Terutama saudara, teman, tetangga, dan orang-orang lain yang mereka
kenal. Sehingga dalam hubungan antar manusia, mereka tidak punya salah. Tidak memiliki
dosa lagi. Mereka ingin masuk Bulan Ramadan dalam keadaan benar-benar bersih.
Masyarakat
juga berlomba-lomba memberi nasi bungkus, nasi kotakan, dan sepertinya ke
masjid. Itu juga ungkapan kebahagiaan menyambut datangnya Bulan Ramadan. Disamping
itu, motivasinya adalah bersedekah dengan harapan pahala bacaan Yasin Tahlil
yang dibacakan ustadz dan para jamaah sampai ke orang-orang yang mereka cintai
yang telah meninggal.
Bahkan di
tempatku, orang-orang yang bersedekah ke masjid seperti itu sampai
berhari-hari. Ya mau tidak mau, ustadz membaca Yasin setiap hari. Biasanya selepas
maghrib. Anak-anak usia SD biasanya, tentu gembira sekali dengan tradisi ini. Mereka
mendapat bagian yang sama dengan jamaah yang lain.
Selain itu,
masyarakat biasanya ke kuburan. Nyekar, istilah populernya. Mereka datang untuk
membersihkan kuburan keluarga tercintanya yang telah meninggal. Juga menyiram
dan menabur bunga di atasnya. Kemudian mereka duduk dengan khusyuk sambil membaca
Al Qur’an. Agaknya motivasinya sama: mengirim pahala bacaan mereka itu untuk si
mayit. Lantas mereka berdoa kepada Allah supaya almarhum almarhumah diampuni
semua dosanya dan mendapat surga-Nya.
Ada yang
memrotes ziarah kubur khususnya. Yang paling ekstrim alasannya adalah berdoa
kepada mayit. Tapi jujur, aku belum pernah menemui orang yang terang-terangan
berdoa kepada keluarganya yang sudah wafat itu. Entahlah kalau dulu, saat
masyarakat Jawa-Madura khususnya benar-benar tradisional yang sulit orang
pandai. Kalau sekarang, tampaknya, semua orang sudah tahu bahwa tidak berdoa
kepada mayit.
Lalu soal
hukumnya. Sudah kusebut di atas bahwa ini adalah tradisi. Atau budaya. Islam
itu tidak anti tradisi. Tapi juga tidak sembarangan menerima tradisi. Seperti kendaraan,
Islam itu canggih remnya. Islam itu hanya menerima tradisi yang baik-baik. Yang
tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Begini rumusnya: kalau soal
tradisi asalnya boleh. Sampai ada dalil yang melarang. Urusan ibadah (mahdhah),
asalnya dilarang. Sampai ada dalil yang menyuruhnya.
Baca yasin dan
tahlilan berjamaah, ini baik-baik saja. Orang-orang bersedekah dengan memberi
apem, nasi kotak, dan lain-lain, ini juga bagus sekali. Tapi kalau keyakinan
bahwa pahala bacaan yasin dan tahlil, atau pahala bancaan itu sampai ke mayit,
baru harus ada dalilnya. Sayang, sepanjang penelusuranku pada ayat-ayat Qur’an,
pahala itu tidak bisa ditransferkan. Siapa yang berbuat, dia yang dapat. Jadi yang
dapat pahala, ya orang-orang yang membaca yasin dan tahlil. Serta orang-orang
yang bersedekah itu sendiri.
Soal ziarah
kubur. Ziarah kubur itu baik. Mendoakan mayit juga bagus. Boleh. Halal. Bisa membuat
kita ingat mati. Suatu saat, pasti, kita akan mati. Gentian dengan orang-orang
yang kita ziarahi itu: ayah kita, kakek kita, paman kita, dan seterusnya.
Nanti, giliran kita yang akan ‘tidur’ berkalang tanah itu. “Dulu aku pernah
melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, berziarahlah,” tutur Nabi. Nyekar itu
halal. Malah menjadi berkah bagi para penjual bunga dan tukang parkir, serta
mungkin petugas kebersihan dan para pedagang kecil di sekitarnya.
Yang haram itu
kalau berdoa kepada mayit. Atau menganggap mayit itu keramat, ampuh, sakti. Sehingga
kehebatan si mayit menandingi Allah. Atau menjadikan mayit sebagai perantara
sampainya doa kita kepaad Allah. Ini yang nggak boleh, menurutku. Atau yakin,
kalau doa kita tak akan diterima Allah kecuali melalui perantara si mayit. “Mintalah
kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya,” begitu tegas sekali pernyataan
Allah dalam QS. Al Baqarah. Jadi langsung ‘kepada-Ku’. Tidak boleh
perantara-perantara lagi. Wong Allah sudah amat sangat dekat dengan kita. Allah
sudah ‘di sini’.
Jadi begitu. Sama
sekali aku tidak memaksakan sikapku ini. Karena aku tahu, banyak yang punya
sikap lain. Kalau kau merasa tentram, silakan diterima. Kalau tidak, ya tidak
apa-apa. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Kita, selama mukmin, tetap
bersaudara. Hattal akhirah. Wassalam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar