—Saiful Islam—
“Jadi Nabi menikahi sepupunya
sendiri?”
Sebenarnya sudah cukup lama,
seorang kawan menanyakan soal ini. Zainab. Kesannya memang kontroversial. “Nabi
menikahi menantunya sendiri,” sekan-akan ia mau bilang begitu. Tapi jangan
gegabah dulu. Itu baru kesan. Marilah kita lihat.
Nabi itu pernah punya anak angkat. Namanya
Zaid bin Haritsah. Awalnya ia adalah budak yang dihadiahkan oleh Khadijah kepada
Nabi. Kemudian oleh Nabi dibebaskan dan menjadi anak angkat sekaligus sahabat
yang sangat loyal kepada Nabi. Kalau sekarang, ya seperti seorang santri yang
amat taat pada kiainya. Khodam-nya kiai.
Saking dekatnya dengan Nabi,
orang-orang sampai akan menasabkan namanya dengan Nabi. Zaid bin Muhammad.
Namun ini tidak diperbolehkan oleh Allah dalam QS. Al Ahzab ayat 5. Seorang anak
harus tetap dinasabkan kepada orang tua kandungnya. Makanya namanya tetap, Zaid
bin Haritsah (Zaid putranya Haritsah).
Nah, Nabi menikahkan Zaid ini
dengan Zainab. Jadi, Zainab itu sejatinya bukan menantu Nabi. Karena status
Zaid hanyalah anak angkat. Bukan anak kandung. Kalau pun maksa mengatakan
menantu, ok lah. Menantu angkat.
Orang-orang lebih mengenalnya
sebagai Zainab binti Jahsy. Nama aslinya, sebelum diganti oleh Nabi, adalah
Barrah. Ia punya nama lengkap, Zainab binti Jahsy bin Ri’ab al Asadiyyah. Lahir
pada tahun 33 sebelum Hijriyah. Atau kira-kira tahun 590 Masehi.
Ibunya bernama Umaimah. Dilihat
silsilah dari ibunya ini, Zainab adalah sepupu Nabi. Sebab Umaimah ini adalah
putri Abdul Muthalib. Dengan kata lain, Umaimah adalah saudara ayah Nabi,
Abdullah. Karena Umaimah dan Abdullah adalah putra kakek Nabi, Abdul Muthallib.
Dalam perjalanannya, ternyata rumah
tangga Zaid dan Zainab tak seindah yang terbayangkan. Tak sekali Zaid
mengadukan masalah rumah tangganya itu kepada Nabi. Tentu saja, Nabi
menasehatinya supaya bersabar. Agar mempertahankan rumah tangganya. Namun ringkas
cerita, keduanya bercerai.
Setelah bercerai dengan anak
angkatnya itu, Nabi menikahi Zainab. Allah yang menikahkan Nabi dengannya. Ayat
berikut ini mengindikasikan demikian.
QS. Al Ahzab[33] ayat 37
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ
وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ
أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya. Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya pada isterinya.
Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Agaknya sebelum turun ayat ini,
masyarakat Arab di sekitar Nabi itu, menyangka bahwa aib menikahi mantan istri
anak angkatnya. “Muhammad kawin dengan bekas istri anaknya,” ribut mereka. Makanya
digambarkan Nabi pun khawatir dengan cibiran orang-orang. Nah, dengan turun
ayat ini, sudah clear bahwa menikahi mantan istri anak angkat itu boleh.
Halal. Ya kan memang tak ada hubungan darah?!
“Berarti Nabi menikah dengan
sepupunya sendiri dong?”
Iya! Memang dalam masyarakat umum,
tidak terbayang kebolehan itu. Seperti di lingkungan ibu saya misalnya di
Banyuwangi. Karena komunitas abangan, mereka tidak punya rujukan. Nyaris tidak
ada yang menikah dengan sepupunya sendiri. Kecuali orang Arab pendatang bisa
jadi.
Tapi kalau di lingkungan ayah saya,
di Batang-Batang Sumenep, santri sudah paham soal ini. Makanya di sana banyak
ditemukan anak-anak sudah punya bekal. Dari Bahasa Indonesia yang
berarti akan. Alias calon. Atau tunangan kalau di Surabaya. Secara hukum Islam
(fikih) memang boleh menikah dengan sepupu. Bagi keluarga yang mempertahankan
keturunan (nasab), biasanya masih mempraktekkannya.
Perempuan yang terampil dan gemar
sekali memberi itu, wafat pada tahun 20 Hijriyah di usia 53 tahun. Di Madinah. Tepatnya
pada pemerintahan Umar bin Khaththab.
Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar