Sabtu, 18 Mei 2019

KOPI CANGKRUKAN


—Saiful Islam—

Misbah selalu belajar untuk menikmati momen-momen bersama jamaah. Tidak mentang-mentang penulis yang hobi membaca—hari-harinya lebih banyak digunakan untuk membaca dan menulis—kemudian melupakan fakta bahwa dirinya makhluk sosial. Terutama ketika berdiskusi dengan mereka. Di serambi masjid.

Setiap tahun di bulan Ramadan, Misbah mendapat jadwal menjadi imam shalat tarawih. Di dua masjid. Seringkali, setelah selesai shalat, ia cangkrukan. Ia lebih memilih ngobrol dengan para jamaahnya. Daripada ‘nggetu’ daras Qur’an pakai pelantang suara. Mic. Apalagi ia memang lebih suka bersunyi-sunyi kalau membaca Qur’an. Meskipun suaranya indah. Seperti Ra’ad Al Kurdi. Bak seruling Daud. Ia inginkan pelajaran dan hidayah dari Qur’an. Bukan pamer supaya dipuji orang karena merdunya suaranya itu.

Dalam berdebat itu, Misbah tak peduli. Pendapat mereka benar atau salah. Wong namanya orang umum. Yang waktu mereka habis untuk mencari nafkah. Menghidupi anak dan istri. Salah sekali pun, ya wajar. Ia hanya berusaha menikmatinya saja. Mendengarkan argumen, mendengarkan pertanyaan, sampai mengutarakan gagasan.

Seorang jamaah. Pak Rokim, namanya. Usianya 56 tahun. Cukup vocal. Kalau berbicara, mudah sekali mengutip ayat dan Hadis. Meskipun Bahasa Arabnya, salah-salah. Kadang kurang. Kadang salah kata kerjanya (fi’il). Kadang salah subjeknya (fa’il). Sekali lagi, Misbah tak peduli. Ia tak membenarkan. Dibiarkan terus ia berbicara. Misbah diam. Menikmati. Setiap kalimat jamaahnya. Dan ekspresi ‘sufi’ yang murah senyum itu.

Begitu juga dengan jamaah yang lain. Kalau tiba-tiba nyeletuk, Misbah langsung perhatikan. Benar-benar diberi perhatian. Misbah berusaha hadir di situ. Menikmati. Kalau ayat-ayatnya salah, Bahasa Arabnya salah, bahkan pendapatnya secara totalitas, Misbah diam. Manggut-manggut. Tentu saja, dengan sikapnya itu, para jamaah senang. Kata-kata mereka semakin meletup-letup. Ia senang kalau mereka berpikir.

Misalnya, dari seorang jamaah. Pedagang. Ada kalimat yang bernada pertanyaan begini: “ini kira-kira bagaimana ya untuk tanggal 22 Mei 2019. Kalau Jokowi yang jadi presiden, ini bakal kisruh. Kalau Prabowo, baru bisa tenang sepertinya.”

Ditanggapi oleh jamaah yang lain. Seorang PNS, “Selama ini, Cina-Cina, masuk semua ke negara ini. Insya Allah kisruh. Insya Allah kisruh,” kata bapak berkopiah putih berapi-api. Dari raut wajahnya, tampak dia sedang tegang.

“Memang. Ada rencana people power. Untuk menolak pengumuman KPU. Terkait paslon 02 yang menganggap proses pemilu tahun ini syarat dengan kecurangan. Didukung oleh, katanya para ulama. Khususnya alumni 212. Jadi semacam demontrasi massal,” kata Misbah memulai.

“Yang jelas,” lanjut Misbah, “mudah-mudahan selamat semuanya. Baik pemerintah, maupun rakyat. Terutama yang ikut demo. Kita adalah satu bangsa. Soal kecurangan, beberapa kali kuikuti berita Jawa Pos. Juga pendapat Mahfud MD, mantan ketua MK. Begini kurang lebih narasinya. Bahwa pemilu itu sudah ada mekanismenya. Sudah ada jalur hukumnya.

“Kalau misalnya, Pak Prabowo dan para pendukungnya tidak puas dengan hasil pemilu, bisa menyampaikan bukti-bukti di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Perang data. Kalau tidak puas dengan keputusan KPU, bisa melaporkannya ke Bawaslu. Alias Badan Pengawas Pemilu. Belum puas lagi, baru ke MK. Yang jelas, harus bisa menunjukkan bukti-bukti kecurangan tersebut.

“Menurut Mahfud, sudah biasa keputusan bisa berubah jika sudah sampai di MK. Yang menang bisa kalah. Yang kalah bisa jadi dimenangkan. Tapi sekali lagi, harus bisa menunjukkan bukti-bukti. “Sudah banyak saya membatalkan kemenangan kepala daerah, gubernur-gubernur,” kata Pak Mahfud kurang lebih. “Tapi kalau mekanisme itu langsung tidak dipercaya, ya bisa celaka bangsa ini,” pungkasnya.”

Soal peserta demo yang katanya berjuta-juta, seorang jamaah nyeletuk: “Berapa sih jumlah yang akan demo? 7 juta? 10 juta? Ingat, penduduk Indonesia ini kurang lebih 300 juta,” katanya lantas menyeruput kopi hitam panas di depannya.

“Ya intinya, kita semua berharap selamat semua bangsa ini,” kata Misbah mengulangi.

Sesekali ada jamaah datang membawakan kopi, kue, dan lain-lain. Memang seperti itu tradisi saat Ramadan di sini. Di dalam, beberapa orang tadarrus bergilir. Seorang jamaah sudah melempar pertanyaan yang lain, “Nah. Mumpung banyak ustadz di sini. Saya mau tanya. Nikah sirri itu bagaimana?”

Ada yang nyeletuk, “Sah. Sah…” Ada pula yang menimpali, “Kan, harus minta izin dulu dengan istri pertama?”

“Ya pokoknya ada walinya, maharnya, dan saksinya, ya sah nikah sirri itu,” balas yang lain.

“Ah, minta izin dulu ke istri pertama, itu kan aturan negara. Bukan aturan Islam,” kata bapak PNS tadi.

Komentar jamaah berikut ini yang unik, “Apanya. Wong kawan saya pokoknya ada 750 sudah dapat kwitansi. Sudah sah. Kalau 1,5 juta dapat surat-suratnya komplit. Walinya, dia membawa temannya sendiri. Jadi misalnya saya punya teman. Saya kepengin nikah sirri. Langsung saja, saya minta bantuan teman saya itu untuk menjadi wali calon istri kedua saya. Dengan 750, sudah sah. Dapat kwitansi.”

“Jadi, walinya bukan dari keluarga pihak perempuan?” sahut yang lain.

“Ya, tidak,” pungkasnya.

Menarik pula komentar Pak Rokim. “Itu cinta. Energinya luar biasa. Jangankan orang lain. Wong orang tuanya saja, ditentang kok. Sudah tidak bisa dipisahkan. Kalau sudah ada dua sejoli yang sudah saling cinta. Itu sudah sah. Daripada mereka berzina, ya disatukan saja. Enak kok Islam ini. Kita orang awam, memilih yang mudah-mudah saja.”

Mereka semua ger-geran. Begitu pun Misbah. Mengikuti arusnya. Sudah kubilang, Misbah berusaha menikmati setiap momennya. Baru kemudian, yang tanya tadi memandangnya. Seperti menunggu, komentar Misbah.

“Memberi jawaban, memang harus hati-hati. Mesti pintar-pintar, supaya tidak merusak kemesraan cangkrukan malam ini,” batin Misbah.

Sudah banyak. Khawatir kalian bosan bacanya. Bersambung dulu. Insya Allah. Salam…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...