—Saiful Islam—
Misbah selalu belajar untuk
menikmati momen-momen bersama jamaah. Tidak mentang-mentang penulis yang hobi
membaca—hari-harinya lebih banyak digunakan untuk membaca dan menulis—kemudian
melupakan fakta bahwa dirinya makhluk sosial. Terutama ketika berdiskusi dengan
mereka. Di serambi masjid.
Setiap tahun di bulan Ramadan,
Misbah mendapat jadwal menjadi imam shalat tarawih. Di dua masjid. Seringkali,
setelah selesai shalat, ia cangkrukan. Ia lebih memilih ngobrol dengan para
jamaahnya. Daripada ‘nggetu’ daras Qur’an pakai pelantang suara. Mic. Apalagi ia
memang lebih suka bersunyi-sunyi kalau membaca Qur’an. Meskipun suaranya indah.
Seperti Ra’ad Al Kurdi. Bak seruling Daud. Ia inginkan pelajaran dan hidayah dari
Qur’an. Bukan pamer supaya dipuji orang karena merdunya suaranya itu.
Dalam berdebat itu, Misbah tak
peduli. Pendapat mereka benar atau salah. Wong namanya orang umum. Yang waktu
mereka habis untuk mencari nafkah. Menghidupi anak dan istri. Salah sekali pun,
ya wajar. Ia hanya berusaha menikmatinya saja. Mendengarkan argumen,
mendengarkan pertanyaan, sampai mengutarakan gagasan.
Seorang jamaah. Pak Rokim, namanya.
Usianya 56 tahun. Cukup vocal. Kalau berbicara, mudah sekali mengutip ayat dan
Hadis. Meskipun Bahasa Arabnya, salah-salah. Kadang kurang. Kadang salah kata
kerjanya (fi’il). Kadang salah subjeknya (fa’il). Sekali lagi, Misbah tak
peduli. Ia tak membenarkan. Dibiarkan terus ia berbicara. Misbah diam. Menikmati.
Setiap kalimat jamaahnya. Dan ekspresi ‘sufi’ yang murah senyum itu.
Begitu juga dengan jamaah yang lain.
Kalau tiba-tiba nyeletuk, Misbah langsung perhatikan. Benar-benar diberi
perhatian. Misbah berusaha hadir di situ. Menikmati. Kalau ayat-ayatnya salah,
Bahasa Arabnya salah, bahkan pendapatnya secara totalitas, Misbah diam. Manggut-manggut.
Tentu saja, dengan sikapnya itu, para jamaah senang. Kata-kata mereka semakin
meletup-letup. Ia senang kalau mereka berpikir.
Misalnya, dari seorang jamaah. Pedagang.
Ada kalimat yang bernada pertanyaan begini: “ini kira-kira bagaimana ya untuk
tanggal 22 Mei 2019. Kalau Jokowi yang jadi presiden, ini bakal kisruh. Kalau Prabowo,
baru bisa tenang sepertinya.”
Ditanggapi oleh jamaah yang lain.
Seorang PNS, “Selama ini, Cina-Cina, masuk semua ke negara ini. Insya Allah
kisruh. Insya Allah kisruh,” kata bapak berkopiah putih berapi-api. Dari raut
wajahnya, tampak dia sedang tegang.
“Memang. Ada rencana people
power. Untuk menolak pengumuman KPU. Terkait paslon 02 yang menganggap proses
pemilu tahun ini syarat dengan kecurangan. Didukung oleh, katanya para ulama. Khususnya
alumni 212. Jadi semacam demontrasi massal,” kata Misbah memulai.
“Yang jelas,” lanjut Misbah, “mudah-mudahan
selamat semuanya. Baik pemerintah, maupun rakyat. Terutama yang ikut demo. Kita
adalah satu bangsa. Soal kecurangan, beberapa kali kuikuti berita Jawa Pos.
Juga pendapat Mahfud MD, mantan ketua MK. Begini kurang lebih narasinya. Bahwa pemilu
itu sudah ada mekanismenya. Sudah ada jalur hukumnya.
“Kalau misalnya, Pak Prabowo dan
para pendukungnya tidak puas dengan hasil pemilu, bisa menyampaikan bukti-bukti
di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Perang data. Kalau tidak puas dengan
keputusan KPU, bisa melaporkannya ke Bawaslu. Alias Badan Pengawas Pemilu. Belum
puas lagi, baru ke MK. Yang jelas, harus bisa menunjukkan bukti-bukti
kecurangan tersebut.
“Menurut Mahfud, sudah biasa
keputusan bisa berubah jika sudah sampai di MK. Yang menang bisa kalah. Yang kalah
bisa jadi dimenangkan. Tapi sekali lagi, harus bisa menunjukkan bukti-bukti. “Sudah
banyak saya membatalkan kemenangan kepala daerah, gubernur-gubernur,” kata Pak
Mahfud kurang lebih. “Tapi kalau mekanisme itu langsung tidak dipercaya, ya
bisa celaka bangsa ini,” pungkasnya.”
Soal peserta demo yang katanya
berjuta-juta, seorang jamaah nyeletuk: “Berapa sih jumlah yang akan demo? 7
juta? 10 juta? Ingat, penduduk Indonesia ini kurang lebih 300 juta,” katanya
lantas menyeruput kopi hitam panas di depannya.
“Ya intinya, kita semua berharap
selamat semua bangsa ini,” kata Misbah mengulangi.
Sesekali ada jamaah datang membawakan
kopi, kue, dan lain-lain. Memang seperti itu tradisi saat Ramadan di sini. Di dalam,
beberapa orang tadarrus bergilir. Seorang jamaah sudah melempar pertanyaan yang
lain, “Nah. Mumpung banyak ustadz di sini. Saya mau tanya. Nikah sirri itu
bagaimana?”
Ada yang nyeletuk, “Sah. Sah…” Ada
pula yang menimpali, “Kan, harus minta izin dulu dengan istri pertama?”
“Ya pokoknya ada walinya, maharnya,
dan saksinya, ya sah nikah sirri itu,” balas yang lain.
“Ah, minta izin dulu ke istri
pertama, itu kan aturan negara. Bukan aturan Islam,” kata bapak PNS tadi.
Komentar jamaah berikut ini yang
unik, “Apanya. Wong kawan saya pokoknya ada 750 sudah dapat kwitansi. Sudah sah.
Kalau 1,5 juta dapat surat-suratnya komplit. Walinya, dia membawa temannya
sendiri. Jadi misalnya saya punya teman. Saya kepengin nikah sirri. Langsung saja,
saya minta bantuan teman saya itu untuk menjadi wali calon istri kedua saya.
Dengan 750, sudah sah. Dapat kwitansi.”
“Jadi, walinya bukan dari keluarga
pihak perempuan?” sahut yang lain.
“Ya, tidak,” pungkasnya.
Menarik pula komentar Pak Rokim. “Itu
cinta. Energinya luar biasa. Jangankan orang lain. Wong orang tuanya saja,
ditentang kok. Sudah tidak bisa dipisahkan. Kalau sudah ada dua sejoli yang
sudah saling cinta. Itu sudah sah. Daripada mereka berzina, ya disatukan saja. Enak
kok Islam ini. Kita orang awam, memilih yang mudah-mudah saja.”
Mereka semua ger-geran. Begitu pun Misbah.
Mengikuti arusnya. Sudah kubilang, Misbah berusaha menikmati setiap momennya. Baru
kemudian, yang tanya tadi memandangnya. Seperti menunggu, komentar Misbah.
“Memberi jawaban, memang harus
hati-hati. Mesti pintar-pintar, supaya tidak merusak kemesraan cangkrukan malam
ini,” batin Misbah.
Sudah banyak. Khawatir kalian bosan
bacanya. Bersambung dulu. Insya Allah. Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar