Kamis, 16 Mei 2019

SANTRI TANGGUH


—Saiful Islam—

“Artinya, siapa pun, asal bernasib seperti saya, ya akan dibeginikan…”

Di Ramadan ini, Idris bertemu santri. Dari Kalimantan. Saefuddin, namanya. Dia mondok di Jakarta. Mau pulang. Lewat Surabaya. Naik kapal, dari Pelabuhan Perak. Ngakunya kehabisan bekal. Ia merasa dirinya ibnu sabil. Alias musafir. Pencari ilmu. Ia juga merasa berhak menerima zakat. Lantas ia datang ke sebuah masjid—konon terbesar kedua di Surabaya. Menemui bidang yang khusus di bidang zakat. Lembaga amil zakat. Maksud dan tujuannya adalah untuk meminta bantuan.

“Oiya. Memang salah satu yang berhak menerima zakat itu, adalah ibnu sabil. Musafir. Petualang ilmu seperti sampean ini,” ujar Idris padanya.

Pemuda 26 tahun itu bertemu seorang perempuan muda di masjid tersebut. Ia pun menyampaikan maksudnya. Malah oleh si mbak dipanggilkan satpam. Dan pemuda sederhana itu diarahkan ke Dinas Sosial. Ternyata, setelah sampi di Dinas Sosial, santri yang murah senyum ini protes. Meskipun hanya di dalam hati. Dan baru berani menyampaikan unek-uneknya itu saat Idris menanyainya.

“Loh. Saya kok malah disuruh ke sini. Kalau begini kan, umum. Artinya, siapa pun, asal bernasib seperti saya, ya akan dibeginikan. Mau saya yang Islami begitu. Saya kan ibnu sabil. Saya kan santri. Kan sudah tugas amil zakat menolong orang seperti saya. Kalau begini prosedurnya, saya juga sudah tahu. Tak perlu saya datang ke lembaga zakat itu. Langsung saja saya lapor ke polsek, atau satpol PP, saya pasti diantar juga ke Dinsos ini,” begitu curhatnya kurang lebih.

Saefuddin lantas cerita soal keluarganya. Bahwa di Kalimantan sana, orang tuanya tinggal seorang saja. Ibunya. Ada juga saudara-saudaranya. Ayahnya sudah meninggal. Dulu awalnya, kakaknya bisa membantunya biaya nyantri itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Soal makan, memang digratiskan oleh pondok. Meskipun seringkali makan hanya nasi saja. “Kalau mau berasa, ya ke dapun cari garam,” katanya.

“Kalau begitu, kan sudah enak. Biaya hidup terpenuhi. Sampean bisa tenang belajar?” Sahut Idris.

“Iya sih, Pak. Tapi buku-bukunya harus beli sendiri. Ya untuk beli buku dan kebutuhan yang lain, saya sambil jualan,” katanya sambil melepas jaket. Pemuda berkopiyah coklat, bersandal japit swallow hijau, ini terkesan ramah.

“Ooo… bagus itu. Teruskan. Teruskan...,” timpal Idris. Sebelum berpisah, Idris sempat mengeluarkan beberapa kata kepadanya. Ia memang mirip hidup Idris dulu. Tepatnya ketika Idris memutuskan kuliah. Padahal orang tua Idris juga terbatas untuk bekal. Bedanya, dia nyantri ke pesantren kiai. Sedangkan Idris, nyantri juga. Tapi ke pesantren pemerintah—kampus. UINSA Surabaya. Dulu IAIN. 2008.

Seperti ini kalimat Idris kepadanya kurang lebih: begini Mas. Ibnu sabil seperti sampeyan ini, memang layak mendapat pertolongan. Berhak menerima zakat. Aku pun pernah menjadi seperti sampeyan. Tapi, sejak dulu, aku berusaha memosisikan pihak yang membantu. Pihak yang memberi. Pihak yang menolong. Jadi, meski aku tahu bahwa aku berhak menerima zakat, aku tidak pernah meminta zakat. Namun, bila orang memberiku, ya aku terima. Kan memang rezeki tidak Allah langsung turunkan dari langit.

Karena nekat, ya mesti siap menerima konsekuensi. Makan hanya bisa sekali dalam sehari semalam, ah tidak menjadi masalah. Beberapa kali aku mengalaminya. Kalau memang tidak ada. Tidak perlu meminta-minta. Asal bertakwa kepada Allah, dan selalu baik sama orang, insya Allah, Allah akan beri solusi. Dan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Aku yakin betul soal ini. Maka sebaliknya, orang yang mbangkang kepada Allah, serta jahat dan semena-mena kepada orang lain, jangan harap dapat jalan keluar dari Allah.

Kira-kira 3,5 tahun Mas, nasib membuat aku mesti tinggal di masjid. Subhanallah berkah. Bukan hanya bisa membiayai hidup, membayar biaya kuliah, aku sampai bisa membeli yang lain. Dari apa? Mengajar! Terutama yang paling berkesan adalah aku bisa laptop dan buku-buku. Aku pun bisa lulus. Seperti teman-teman yang lain, yang mungkin setiap bulan dapat kiriman dari orang tuanya. Aku, dari awal orang tuaku menantang aku untuk benar-benar mandiri. Terutama soal ekonomi.

Mas. Janganlah kalian merasa hina. Janganlah bersedih. Sejatinya, kalian itu tinggi, jika benar-benar beriman. Begitu kata Allah. Rasul kita pun berpesan, tangan yang di atas, itu lebih baik dari tangan yang di bawah. Mukmin yang kuat, itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah. Orang mau menolong, entah itu badan amil zakat, entah itu pemerintah, atau siapa saja, itu urusan mereka. Mau menolong, ya silakan. Mau tidak ya silakan. Urusan kita, datang justru untuk menolong mereka. Memberi sesuatu pada mereka.

Ini juga jadi pengalaman bagi kita. Mereka itu, mau amanah atau tidak, itu urusan mereka. Siapa tahu, suatu saat, sampeyan menjadi kepala di sebuah dinas penting. Sampeyan jadi paham bahwa penerapan di lapangan tidak selalu persis dengan yang tertulis di SOP. Dan akhirnya, sampeyan turun ke lapangan langsung. Minimal memberi nasehat kepada semua bawahan.

Mas teruskan perjuanganmu. Mencari ilmu itu selamanya. Jadilah pembelajar sepanjang hayat. Dan teruskan juga jualanmu. Dagangmu. Bisnismu. Bantulah urusan-urusan kiaimu. Sampean mesti terus belajar. Pun sampean mesti terus bekerja. Ya ngaji, ya kerja. Mencari nafkah. Menjemput rezeki-rezeki Allah untuk membiayai kehidupan. Syukur-syukur, sampean bisa membantu ibu di kampung. Hidup ini sendiri dari Allah. Ini adalah amanah yang dititipkan kita. Sampean berjualan, itu juga ibadah menjaga amanah kehidupan itu.

Wajah Saefuddin tampak segar. Matanya berbinar-binar. Sepertinya baru saja, ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Akhirnya, ia pun berterima kasih dan pamit kepada Idris. Langkahnya mantap. Nafasnya panjang-panjang. Sambil mengenakan lagi jaket hitamnya, ia lantas pergi…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...