—Saiful Islam—
“Artinya, siapa pun, asal bernasib
seperti saya, ya akan dibeginikan…”
Di Ramadan ini, Idris bertemu
santri. Dari Kalimantan. Saefuddin, namanya. Dia mondok di Jakarta. Mau pulang.
Lewat Surabaya. Naik kapal, dari Pelabuhan Perak. Ngakunya kehabisan bekal. Ia merasa
dirinya ibnu sabil. Alias musafir. Pencari ilmu. Ia juga merasa berhak menerima
zakat. Lantas ia datang ke sebuah masjid—konon terbesar kedua di Surabaya. Menemui
bidang yang khusus di bidang zakat. Lembaga amil zakat. Maksud dan tujuannya
adalah untuk meminta bantuan.
“Oiya. Memang salah satu yang
berhak menerima zakat itu, adalah ibnu sabil. Musafir. Petualang ilmu seperti
sampean ini,” ujar Idris padanya.
Pemuda 26 tahun itu bertemu seorang
perempuan muda di masjid tersebut. Ia pun menyampaikan maksudnya. Malah oleh si
mbak dipanggilkan satpam. Dan pemuda sederhana itu diarahkan ke Dinas Sosial. Ternyata,
setelah sampi di Dinas Sosial, santri yang murah senyum ini protes. Meskipun hanya
di dalam hati. Dan baru berani menyampaikan unek-uneknya itu saat Idris
menanyainya.
“Loh. Saya kok malah disuruh ke
sini. Kalau begini kan, umum. Artinya, siapa pun, asal bernasib seperti saya,
ya akan dibeginikan. Mau saya yang Islami begitu. Saya kan ibnu sabil. Saya kan
santri. Kan sudah tugas amil zakat menolong orang seperti saya. Kalau begini
prosedurnya, saya juga sudah tahu. Tak perlu saya datang ke lembaga zakat itu.
Langsung saja saya lapor ke polsek, atau satpol PP, saya pasti diantar juga ke
Dinsos ini,” begitu curhatnya kurang lebih.
Saefuddin lantas cerita soal
keluarganya. Bahwa di Kalimantan sana, orang tuanya tinggal seorang saja. Ibunya.
Ada juga saudara-saudaranya. Ayahnya sudah meninggal. Dulu awalnya, kakaknya
bisa membantunya biaya nyantri itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Soal makan,
memang digratiskan oleh pondok. Meskipun seringkali makan hanya nasi saja. “Kalau
mau berasa, ya ke dapun cari garam,” katanya.
“Kalau begitu, kan sudah enak. Biaya
hidup terpenuhi. Sampean bisa tenang belajar?” Sahut Idris.
“Iya sih, Pak. Tapi buku-bukunya
harus beli sendiri. Ya untuk beli buku dan kebutuhan yang lain, saya sambil
jualan,” katanya sambil melepas jaket. Pemuda berkopiyah coklat, bersandal
japit swallow hijau, ini terkesan ramah.
“Ooo… bagus itu. Teruskan. Teruskan...,”
timpal Idris. Sebelum berpisah, Idris sempat mengeluarkan beberapa kata kepadanya.
Ia memang mirip hidup Idris dulu. Tepatnya ketika Idris memutuskan kuliah. Padahal
orang tua Idris juga terbatas untuk bekal. Bedanya, dia nyantri ke pesantren
kiai. Sedangkan Idris, nyantri juga. Tapi ke pesantren pemerintah—kampus. UINSA
Surabaya. Dulu IAIN. 2008.
Seperti ini kalimat Idris kepadanya
kurang lebih: begini Mas. Ibnu sabil seperti sampeyan ini, memang layak
mendapat pertolongan. Berhak menerima zakat. Aku pun pernah menjadi seperti
sampeyan. Tapi, sejak dulu, aku berusaha memosisikan pihak yang membantu. Pihak
yang memberi. Pihak yang menolong. Jadi, meski aku tahu bahwa aku berhak
menerima zakat, aku tidak pernah meminta zakat. Namun, bila orang memberiku, ya
aku terima. Kan memang rezeki tidak Allah langsung turunkan dari langit.
Karena nekat, ya mesti siap
menerima konsekuensi. Makan hanya bisa sekali dalam sehari semalam, ah tidak
menjadi masalah. Beberapa kali aku mengalaminya. Kalau memang tidak ada. Tidak perlu
meminta-minta. Asal bertakwa kepada Allah, dan selalu baik sama orang, insya
Allah, Allah akan beri solusi. Dan rezeki dari arah yang tidak kita
sangka-sangka. Aku yakin betul soal ini. Maka sebaliknya, orang yang mbangkang
kepada Allah, serta jahat dan semena-mena kepada orang lain, jangan harap dapat
jalan keluar dari Allah.
Kira-kira 3,5 tahun Mas, nasib
membuat aku mesti tinggal di masjid. Subhanallah berkah. Bukan hanya bisa
membiayai hidup, membayar biaya kuliah, aku sampai bisa membeli yang lain. Dari
apa? Mengajar! Terutama yang paling berkesan adalah aku bisa laptop dan
buku-buku. Aku pun bisa lulus. Seperti teman-teman yang lain, yang mungkin
setiap bulan dapat kiriman dari orang tuanya. Aku, dari awal orang tuaku
menantang aku untuk benar-benar mandiri. Terutama soal ekonomi.
Mas. Janganlah kalian merasa hina. Janganlah
bersedih. Sejatinya, kalian itu tinggi, jika benar-benar beriman. Begitu kata
Allah. Rasul kita pun berpesan, tangan yang di atas, itu lebih baik dari tangan
yang di bawah. Mukmin yang kuat, itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari
mukmin yang lemah. Orang mau menolong, entah itu badan amil zakat, entah itu
pemerintah, atau siapa saja, itu urusan mereka. Mau menolong, ya silakan. Mau tidak
ya silakan. Urusan kita, datang justru untuk menolong mereka. Memberi sesuatu
pada mereka.
Ini juga jadi pengalaman bagi kita.
Mereka itu, mau amanah atau tidak, itu urusan mereka. Siapa tahu, suatu saat,
sampeyan menjadi kepala di sebuah dinas penting. Sampeyan jadi paham bahwa
penerapan di lapangan tidak selalu persis dengan yang tertulis di SOP. Dan
akhirnya, sampeyan turun ke lapangan langsung. Minimal memberi nasehat kepada
semua bawahan.
Mas teruskan perjuanganmu. Mencari
ilmu itu selamanya. Jadilah pembelajar sepanjang hayat. Dan teruskan juga
jualanmu. Dagangmu. Bisnismu. Bantulah urusan-urusan kiaimu. Sampean mesti
terus belajar. Pun sampean mesti terus bekerja. Ya ngaji, ya kerja. Mencari nafkah.
Menjemput rezeki-rezeki Allah untuk membiayai kehidupan. Syukur-syukur, sampean
bisa membantu ibu di kampung. Hidup ini sendiri dari Allah. Ini adalah amanah
yang dititipkan kita. Sampean berjualan, itu juga ibadah menjaga amanah
kehidupan itu.
Wajah Saefuddin tampak segar. Matanya
berbinar-binar. Sepertinya baru saja, ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Akhirnya,
ia pun berterima kasih dan pamit kepada Idris. Langkahnya mantap. Nafasnya panjang-panjang.
Sambil mengenakan lagi jaket hitamnya, ia lantas pergi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar