—Saiful Islam—
“Anda tidak bisa seks dengan
milkul yamin, itu bukan berarti ayat Qur’an terhapus secara historis…”
Kita akan meneruskan mengritisi
Disertasi itu. Insya Allah 52 tulisan sebelumnya, cukup memadai kita jadikan
teori untuk ‘menguliti’ pemikiran Syahrur yang diamini oleh Abdul itu.
Di halaman 175-176 disebutkan begini:
Tetapi masih terdapat masalah yang lebih besar bagi kita sekarang, tulis Muḥammad
Syaḥrūr, yaitu bahwa sekarang ini sistem perbudakan telah lenyap dari muka bumi
(tidak lagi diterapkan pada komunitas manapun), dan telah digulung oleh proses
sejarah dalam lembaran ingatan, lalu apakah kita akan menggulung ayat yang
dianggap berkaitan dengannya? Dengan demikian kita menetapkan bahwa al-Tanzīl
al-Ḥakīm tunduk pada ketetapan sejarah (al-ḥatmiyah at-Tārīkhiyah) dan menolak
pendapat bahwa Al-Qur’ān adalah sesuai untuk segala ruang dan waktu (ṣāliḥ li
kulli zamān wa makān) dan kita diam saja menyaksikan ayat-ayat at-Tanzīl satu
persatu berjatuhan dilenyapkan oleh perjalanan sejarah? Hanya karena kita tidak
memperbolehkan pembacaan kedua pada kitab yang mulia ini, dan tidak
memperbolehkan bagi siapa pun untuk keluar dari wilayah pembacaan pertama?
Ide tersebut sama dengan apa yang
ditulis di halaman 182 berikut: Sementara konvensi internasional di masa
sekarang telah dengan tegas melarang adanya perbudakan. Abdul lalu menulis
begini: Semua fakta itu menjadi alasan yang
tidak terbantahkan bahwa tradisi perbudakan telah berakhir di masa sekarang.
Oleh karena itu, Syahrūr mengatakan:
Akan tetapi term ini (milk al-yamīn), dengan berakhirnya perhambaan dan perbudakan pada masa kini,
menjadi sebuah dalil yang terdapat dalam at-Tanzil al-Hakīm, tetapi tidak memiliki maksud atau bukti dalam kenyataan aktual,
dan seakan-akan ia telah
terhapus secara historis, meskipun ia terulang sebanyak 15 kali dalam at-Tanzīl.
Di halaman 183 kemudian disimpulkan
begini: Untuk
itu, menurut Syahrūr, harus dicari maksud yang tepat dari istilah tersebut pada
masa sekarang ini, karena kalau tidak, maka akan datang kepada kita satu masa
di mana kita akan mendapati sebagian ayat-ayat hukum terhapus secara historis.
Ini sebagian sudah saya jawab. Cek tulisan
sebelumnya, QUR’AN MASIHKAH RELEVAN. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan, bukan
menghidupkan lagi perbudakan itu. Terutama konteks Indonesia abad 21 ini. Kalau
begitu, ya salah fatal. Sebab bertentangan dengan semangat Qur’an yang
memerdekakan budak. Bukan memperbudak orang yang sudah merdeka.
Kontekstualisasi ayat-ayat milkul
yamin, itu bukan seks atas dasar suka sama suka. Semua ayat-ayat yang
terkait dengan seks antara laki-laki dalam Qur’an, itu harus dengan nikah. Sekali
lagi, semuanya! Mulai dari kata zawj, nakaha, ihshoon,
sampai yang spesifik milkul yamin ini. “NIKAHILAH MILKUL YAMIN itu…,”
begitu kata QS.4:25.
Jadi kalau ada kesimpulan bahwa ada
seks yang dibolehkan yang ghayr mutazawwijeh (tanpa akad nikah), itu
pasti salah. Menurut ayat-ayat Qur’an dan analisis kosa kata-kosa katanya yang
terkait.
Semua orang di Indonesia ini
dilahirkan sudah dengan kondisi merdeka. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan
adalah janganlah kita memperbudak orang, semena-mena kepada orang, zalim kepada
orang, menyepelekan dan menghinakan orang, mengambil hak-hak orang dengan
paksa, mempekerjakan orang dengan upah sangat minim atau malah tidak diupah, dan
lain semisalnya. Tapi hormatilah. Hargailah. Adillah. Jadi ayat-ayat perbudakan
itu masih relevan!
Dalam konteks seks,
kontekstualisasi ayat-ayat milkul yamin adalah menikahlah! Silakan seks
dengan perempuan. Sesuai kemampuan finansial dan keadilan Anda. Tapi awalilah
semua aktivitas seks Anda itu dengan akad nikah yang sah. Yang resmi. Akad nikah
yang dijiwai oleh ihshoon: membuat perempuan yang seks dengan Anda itu
semakin terjaga, semakin terpelihara, semakin terhormat, dan semakin
terlindungi! Seks dengan hanya membayar, karena alasan suka sama suka, kemudian
‘kabur’ begitu saja, itu pasti tidak ihshoon!! Perempuannya pun pasti
bukan perempuan al-muhshonat!!!
Atau begini. Di depan saya
klasifikasikan, maa malakat aymaanukum itu adalah khusus budak hasil
rampasan perang. Jadi, budak jenis milkul yamin ini, adalah konsekuensi
dari adanya perang. Nah. Sekarang, perang sudah tidak ada. Sehingga seks dengan
milkul yamin sudah tidak bisa. Apakah ini otomatis menghapus ayat Qur’an
secara historis? Tentu tidak! Kenapa? Sebab redaksinya adalah maa makalat
aymaanuhum. Kata kerjanya bentuk lampau (past tense/fi’il madhi). Yaitu,
milkul yamin yang TELAH dimiliki. Tidak ada dalam Qur’an yang redaksinya
misalnya maa tamlik aymaanuhum: milkul yamin yang AKAN dimiliki. Tidak
ada!
Maka tidak benar menjadikan
perempuan yang mau dibayar untuk seks, itu sebagai milkul yamin yang sama
dengan milkul yamin abad 7 Masehi. Sebab sekali lagi, milkul yamin
itu jenis budak hasil rampasan perang. Anda tidak bisa seks dengan milkul
yamin, itu bukan berarti ayat Qur’an terhapus secara historis. Anda tetap
bisa seks. Secara substansi sama saja. Maaf, rasanya juga sama saja. Dengan
makhluk yang sama: perempuan! Entah itu Anda beri nama milkul yamin, hurroh,
atau apa pun.
Yang jelas kalau Anda normal, Anda
masih bisa seks. Dengan perempuan. Pastinya dengan akad nikah yang dijiwai
dengan ihshoon. Jadi, kaum Mukmin boleh seks dengan perempuan, itu sudah
bentuk relevansi ayat Qur’an tentang seks di masa sekarang. Dan masa depan. Qur’an
memang akan selalu relevan kapan pun dan dimana pun. Jadi jangan mengatakan sebagian
ayat Qur’an tidak relevan hanya karena milkul yamin dan perang yang sudah
tidak ada.
Relevansi hukum Qur’an itu, memang
bukan hanya ditinjau secara teknis. Atau legal spesifik. Tapi juga main idea-nya.
Alias substansinya. Teknis itu bisa disesuaikan dengan ketupat (keadaan, waktu,
dan tempat) tertentu. Bisa berubah. Mutaghayyar. Yang tidak boleh hilang
adalah main idea-nya atau substansinya itu. Teknis seks dengan milkul
yamin akibat perang memang sudah tidak ada. Tapi substansi seks, itu masih
ada. Karenanya masih relevan. Anda bisa seks dengan istri Anda yang sah.
Belum lagi kalau kontekstualisasi Syahrur
yang diamini oleh Abdul Aziz itu dibedah dengan pisau maqashid al-syari’ah:
memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan-keturunan, dan harta benda. Seks atas
dasar suka sama suka, itu jelas terutama tidak memelihara kehormatan-keturunan.
Sudah terlalu sering kita menyaksikan dampak buruk seks bebas, seks tanpa akad
pernikahan, atau seks hanya suka sama suka seperti itu. Terutama korbannya
adalah perempuan dan anak-anak.
Perempuan menjadi hamil. Si laki-laki
tidak bertanggung jawab. Lantas si laki-laki dipenjara. Yang hamil itu bahkan
masih usia sekolah. Ada yang SMP, ada yang SMA. Terpaksa putus sekolah. Mengubur
dalam-dalam masa depannya. Lantas disibukkan mengurus anak yang tak diharapkan.
Bahkan lebih parah, ada yang membunuh bayinya hidup-hidup: digugurkan, ditimbun
tanah, atau dibuang di tempat sampah.
Menghidupi dan merawat anak,
membutuhkan ekonomi yang cukup. Juga kematangan dan stabilnya emosi. Butuh
kedewasaan intelektual, emosional, dan spiritual. Nah, karena masih SMP atau
SMA bahkan SD, otomatis biasanya tidak bisa bekerja. Lantas karena merasa sudah
tidak perawan, dan salah pergaulan, masuklah dia dalam dunia prostitusi. Betapa
banyak perempuan yang terpaksa menjual diri, karena pernah seks hanya atas
dasar suka sama suka sebelumnya. Serta himpitan ekonomi untuk membesarkan anak
yang tak diharapkannya itu.
Baru kemarin. Saya baca Jawa Pos.
Seorang pengacara mewakili klien-nya menuntut seorang laki-laki karena
menghamili klien-nya itu. Namun, laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab. Alasannya,
si perempuan sudah seks bebas (atas dasar suka sama suka) dengan beberapa
pacarnya sebelumnya. Hakim pun tidak bisa memutuskan. Si perempuan diminta
untuk membuktikan dengan tes DNA terlebih dahulu.
Betapa banyak yang kemudian putus
asa karena dampak seks tanpa akad nikah yang resmi tersebut. Awalnya bingung, malu,
gelisah, stres, lalu terperosok dalam miras dan narkoba. Depresi yang begitu
akut. Rusak jiwanya. Rusak akalnya. Lantas menyerah: bunuh diri! Jadi seks hanya
atas dasar suka sama suka itu bertentangan dengan maqaashid al-syarii’ah
yang lima itu.
Bandingkan dengan cinta dua insan
yang dibungkus dengan pernikahan. Yang dibingkai dengan janji suci dan tulus. Dibingkai
dengan janji dan komitmen yang amat sangat kokoh. Untuk membangun sebuah
keluarga yang terhormat. Yang ingin menyayangi, merawat, dan membesarkan
anak-anak berdua. Yang ingin menua berdua. Yang terus berlatih menghilangkan ‘ke-aku-an’.
Menggantinya dengan kasih, sayang, dan pelayanan. Hanya karena ‘takut’ sekaligus
rindu kepada-Nya.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar