Selasa, 05 November 2019

MILKUL YAMIN ZAMAN NOW


—Saiful Islam—

“Anda tidak bisa seks dengan milkul yamin, itu bukan berarti ayat Qur’an terhapus secara historis…”

Kita akan meneruskan mengritisi Disertasi itu. Insya Allah 52 tulisan sebelumnya, cukup memadai kita jadikan teori untuk ‘menguliti’ pemikiran Syahrur yang diamini oleh Abdul itu.

Di halaman 175-176 disebutkan begini: Tetapi masih terdapat masalah yang lebih besar bagi kita sekarang, tulis Muḥammad Syaḥrūr, yaitu bahwa sekarang ini sistem perbudakan telah lenyap dari muka bumi (tidak lagi diterapkan pada komunitas manapun), dan telah digulung oleh proses sejarah dalam lembaran ingatan, lalu apakah kita akan menggulung ayat yang dianggap berkaitan dengannya? Dengan demikian kita menetapkan bahwa al-Tanzīl al-Ḥakīm tunduk pada ketetapan sejarah (al-ḥatmiyah at-Tārīkhiyah) dan menolak pendapat bahwa Al-Qur’ān adalah sesuai untuk segala ruang dan waktu (ṣāliḥ li kulli zamān wa makān) dan kita diam saja menyaksikan ayat-ayat at-Tanzīl satu persatu berjatuhan dilenyapkan oleh perjalanan sejarah? Hanya karena kita tidak memperbolehkan pembacaan kedua pada kitab yang mulia ini, dan tidak memperbolehkan bagi siapa pun untuk keluar dari wilayah pembacaan pertama?

Ide tersebut sama dengan apa yang ditulis di halaman 182 berikut: Sementara konvensi internasional di masa sekarang telah dengan tegas melarang adanya perbudakan. Abdul lalu menulis begini: Semua fakta itu menjadi alasan yang tidak terbantahkan bahwa tradisi perbudakan telah berakhir di masa sekarang. Oleh karena itu, Syahrūr mengatakan: Akan tetapi term ini (milk al-yamīn), dengan berakhirnya perhambaan dan perbudakan pada masa kini, menjadi sebuah dalil yang terdapat dalam at-Tanzil al-Hakīm, tetapi tidak memiliki maksud atau bukti dalam kenyataan aktual, dan seakan-akan ia telah terhapus secara historis, meskipun ia terulang sebanyak 15 kali dalam at-Tanzīl.

Di halaman 183 kemudian disimpulkan begini: Untuk itu, menurut Syahrūr, harus dicari maksud yang tepat dari istilah tersebut pada masa sekarang ini, karena kalau tidak, maka akan datang kepada kita satu masa di mana kita akan mendapati sebagian ayat-ayat hukum terhapus secara historis.

Ini sebagian sudah saya jawab. Cek tulisan sebelumnya, QUR’AN MASIHKAH RELEVAN. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan, bukan menghidupkan lagi perbudakan itu. Terutama konteks Indonesia abad 21 ini. Kalau begitu, ya salah fatal. Sebab bertentangan dengan semangat Qur’an yang memerdekakan budak. Bukan memperbudak orang yang sudah merdeka.

Kontekstualisasi ayat-ayat milkul yamin, itu bukan seks atas dasar suka sama suka. Semua ayat-ayat yang terkait dengan seks antara laki-laki dalam Qur’an, itu harus dengan nikah. Sekali lagi, semuanya! Mulai dari kata zawj, nakaha, ihshoon, sampai yang spesifik milkul yamin ini. “NIKAHILAH MILKUL YAMIN itu…,” begitu kata QS.4:25.

Jadi kalau ada kesimpulan bahwa ada seks yang dibolehkan yang ghayr mutazawwijeh (tanpa akad nikah), itu pasti salah. Menurut ayat-ayat Qur’an dan analisis kosa kata-kosa katanya yang terkait.

Semua orang di Indonesia ini dilahirkan sudah dengan kondisi merdeka. Kontekstualisasi ayat-ayat perbudakan adalah janganlah kita memperbudak orang, semena-mena kepada orang, zalim kepada orang, menyepelekan dan menghinakan orang, mengambil hak-hak orang dengan paksa, mempekerjakan orang dengan upah sangat minim atau malah tidak diupah, dan lain semisalnya. Tapi hormatilah. Hargailah. Adillah. Jadi ayat-ayat perbudakan itu masih relevan!

Dalam konteks seks, kontekstualisasi ayat-ayat milkul yamin adalah menikahlah! Silakan seks dengan perempuan. Sesuai kemampuan finansial dan keadilan Anda. Tapi awalilah semua aktivitas seks Anda itu dengan akad nikah yang sah. Yang resmi. Akad nikah yang dijiwai oleh ihshoon: membuat perempuan yang seks dengan Anda itu semakin terjaga, semakin terpelihara, semakin terhormat, dan semakin terlindungi! Seks dengan hanya membayar, karena alasan suka sama suka, kemudian ‘kabur’ begitu saja, itu pasti tidak ihshoon!! Perempuannya pun pasti bukan perempuan al-muhshonat!!!

Atau begini. Di depan saya klasifikasikan, maa malakat aymaanukum itu adalah khusus budak hasil rampasan perang. Jadi, budak jenis milkul yamin ini, adalah konsekuensi dari adanya perang. Nah. Sekarang, perang sudah tidak ada. Sehingga seks dengan milkul yamin sudah tidak bisa. Apakah ini otomatis menghapus ayat Qur’an secara historis? Tentu tidak! Kenapa? Sebab redaksinya adalah maa makalat aymaanuhum. Kata kerjanya bentuk lampau (past tense/fi’il madhi). Yaitu, milkul yamin yang TELAH dimiliki. Tidak ada dalam Qur’an yang redaksinya misalnya maa tamlik aymaanuhum: milkul yamin yang AKAN dimiliki. Tidak ada!

Maka tidak benar menjadikan perempuan yang mau dibayar untuk seks, itu sebagai milkul yamin yang sama dengan milkul yamin abad 7 Masehi. Sebab sekali lagi, milkul yamin itu jenis budak hasil rampasan perang. Anda tidak bisa seks dengan milkul yamin, itu bukan berarti ayat Qur’an terhapus secara historis. Anda tetap bisa seks. Secara substansi sama saja. Maaf, rasanya juga sama saja. Dengan makhluk yang sama: perempuan! Entah itu Anda beri nama milkul yamin, hurroh, atau apa pun.

Yang jelas kalau Anda normal, Anda masih bisa seks. Dengan perempuan. Pastinya dengan akad nikah yang dijiwai dengan ihshoon. Jadi, kaum Mukmin boleh seks dengan perempuan, itu sudah bentuk relevansi ayat Qur’an tentang seks di masa sekarang. Dan masa depan. Qur’an memang akan selalu relevan kapan pun dan dimana pun. Jadi jangan mengatakan sebagian ayat Qur’an tidak relevan hanya karena milkul yamin dan perang yang sudah tidak ada.

Relevansi hukum Qur’an itu, memang bukan hanya ditinjau secara teknis. Atau legal spesifik. Tapi juga main idea-nya. Alias substansinya. Teknis itu bisa disesuaikan dengan ketupat (keadaan, waktu, dan tempat) tertentu. Bisa berubah. Mutaghayyar. Yang tidak boleh hilang adalah main idea-nya atau substansinya itu. Teknis seks dengan milkul yamin akibat perang memang sudah tidak ada. Tapi substansi seks, itu masih ada. Karenanya masih relevan. Anda bisa seks dengan istri Anda yang sah.

Belum lagi kalau kontekstualisasi Syahrur yang diamini oleh Abdul Aziz itu dibedah dengan pisau maqashid al-syari’ah: memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan-keturunan, dan harta benda. Seks atas dasar suka sama suka, itu jelas terutama tidak memelihara kehormatan-keturunan. Sudah terlalu sering kita menyaksikan dampak buruk seks bebas, seks tanpa akad pernikahan, atau seks hanya suka sama suka seperti itu. Terutama korbannya adalah perempuan dan anak-anak.

Perempuan menjadi hamil. Si laki-laki tidak bertanggung jawab. Lantas si laki-laki dipenjara. Yang hamil itu bahkan masih usia sekolah. Ada yang SMP, ada yang SMA. Terpaksa putus sekolah. Mengubur dalam-dalam masa depannya. Lantas disibukkan mengurus anak yang tak diharapkan. Bahkan lebih parah, ada yang membunuh bayinya hidup-hidup: digugurkan, ditimbun tanah, atau dibuang di tempat sampah.

Menghidupi dan merawat anak, membutuhkan ekonomi yang cukup. Juga kematangan dan stabilnya emosi. Butuh kedewasaan intelektual, emosional, dan spiritual. Nah, karena masih SMP atau SMA bahkan SD, otomatis biasanya tidak bisa bekerja. Lantas karena merasa sudah tidak perawan, dan salah pergaulan, masuklah dia dalam dunia prostitusi. Betapa banyak perempuan yang terpaksa menjual diri, karena pernah seks hanya atas dasar suka sama suka sebelumnya. Serta himpitan ekonomi untuk membesarkan anak yang tak diharapkannya itu.

Baru kemarin. Saya baca Jawa Pos. Seorang pengacara mewakili klien-nya menuntut seorang laki-laki karena menghamili klien-nya itu. Namun, laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab. Alasannya, si perempuan sudah seks bebas (atas dasar suka sama suka) dengan beberapa pacarnya sebelumnya. Hakim pun tidak bisa memutuskan. Si perempuan diminta untuk membuktikan dengan tes DNA terlebih dahulu.

Betapa banyak yang kemudian putus asa karena dampak seks tanpa akad nikah yang resmi tersebut. Awalnya bingung, malu, gelisah, stres, lalu terperosok dalam miras dan narkoba. Depresi yang begitu akut. Rusak jiwanya. Rusak akalnya. Lantas menyerah: bunuh diri! Jadi seks hanya atas dasar suka sama suka itu bertentangan dengan maqaashid al-syarii’ah yang lima itu.

Bandingkan dengan cinta dua insan yang dibungkus dengan pernikahan. Yang dibingkai dengan janji suci dan tulus. Dibingkai dengan janji dan komitmen yang amat sangat kokoh. Untuk membangun sebuah keluarga yang terhormat. Yang ingin menyayangi, merawat, dan membesarkan anak-anak berdua. Yang ingin menua berdua. Yang terus berlatih menghilangkan ‘ke-aku-an’. Menggantinya dengan kasih, sayang, dan pelayanan. Hanya karena ‘takut’ sekaligus rindu kepada-Nya.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...