Senin, 11 November 2019

HUBUNGAN INTIM ALA QUR’AN


—Saiful Islam—

“Ungkapan Qur’an untuk menyebut hubungan intim ini cenderung metaforis…”

“Berdasar landasan hubungan seksual, Syahrūr menemukan dua kemungkinan: pertama, antara suami dengan istri dan kedua antara suami dengan milk al-yamīn. Dalam dua kemungkinan tersebut terdapat hubungan seksual. Hal ini sangat jelas dalam firman-Nya: “...kecuali terhadap istri-istri mereka atau milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang mempersatukan di antara kesemuanya adalah hubungan seksual.” Sebagaimana ditulis Abdul dalam Disertasinya halaman 178.

Sekali lagi, itu tidak benar. Yang mempersatukan kesemuanya, itu bukan hubungan seksual. Tetapi akad nikah. QS.23:6 itu hanya menginfokan bahwa Kaum Mukminin itu memang boleh berhubungan intim. Selain dengan istri mereka, juga dengan milkul yamin diperoleh dari rampasan perang. Tetapi bukan berarti langsung dipahami tanpa akad nikah. Tetap akad nikah. Apalagi redaksi akad nikah itu ada dalam Qur’an. Yaitu ‘uqdah al-nikaah (QS.2:235 dan QS.2:237).

Yang pasti, nikah itu beda dengan hubungan seksual. Nikah bukan hubungan seksual. Hubungan seksual juga bukan nikah. Secara bahasa, nikah memang bisa untuk maksud hubungan seksual. Tetapi itu makna kiasan. Majas. Bukan makna sebenarnya. Asalnya, nikah itu memang untuk makna akad. Tidak bisa kita mengalihkan kata pada makna majasnya. Sampai ada konteks yang membuat tidak bisa dimaknai secara hakikatnya.

Sedangkan semua kata nikah dalam ayat-ayat Qur’an sendiri, itu tidak ada konteks yang mengharuskan kita untuk memahaminya secara majas. Maka, kita harus mengembalikannya kepada makna asalnya. Yakni akad. Jadi baru akad. Belum sampai berhubungan seksual.

Begitu juga kata zawj. Atau al-zawjiyah. Tidak sama dengan hubungan seksual. Beda. Terserah zawj mau dimaknai yang mana: pasangan, istri, jodoh, kawin, status sudah punya pasangan, dan lain seterusnya. Secara langsung, kata zawj dan derivasinya itu memang bukan bermakna hubungan seksual. Apalagi dalam Qur’an. Tidak akan pernah kita menemukan makna zawj adalah hubungan seksual.

Sebaliknya. Untuk menggambarkan hubungan seksual, Qur’an punya istilah sendiri. Biasanya memang, Qur’an menyebut hubungan seksual ini dengan ungkapan halus. Tidak vulgar. Cenderung metafor. Isti’aroh, majas, atau kiasan. Misalnya mass, lams, dakhola, taghosysya, dan lain-lain. Lebih jelasnya sebagai berikut.

QS. Al-Nisa’[4]: 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau KAMU TELAH ‘MENYENTUH’ PEREMPUAN, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.

QS. Al-Maidah[5]: 6
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau ‘MENYENTUH’ PEREMPUAN, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

QS. Maryam[19]: 20
قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang TIDAK PERNAH SEORANG MANUSIAPUN ‘MENYENTUHKU’ dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

QS. Mujadilah[58]: 3
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak SEBELUM KEDUA SUAMI ISTERI ITU ‘SALING BERSENTUHAN’.

QS. Mujadilah[58]: 4
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut SEBELUM KEDUANYA ‘SALING BERSENTUHAN’.

QS. Al-A’raf[7]: 189
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu. Dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya, agar ia merasa senang kepadanya. MAKA SETELAH ‘DICAMPURINYA’, ISTERINYA ITU MENGANDUNG KANDUNGAN YANG RINGAN, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

QS. Al-Nisa’[4]: 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal SEBAGIAN KAMU TELAH ‘BERGAUL’ DENGAN YANG LAIN SEBAGAI SUAMI-ISTERI. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

QS. Al-Nisa’[4]: 23
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari ISTERI YANG TELAH KAMU ‘MASUKI’. Tetapi jika kamu belum ‘MEMASUKI’ isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya..

QS. Al-Nisa’[4]: 24
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Maka ISTERI-ISTERI YANG TELAH KAMU ‘NIKMATI’ di antara mereka, berikanlah kepada mereka upahnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan upah itu..

QS. Al-Baqarah[2]: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa ‘BERCAMPUR’ DENGAN ISTERI-ISTERI KAMU; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang ‘CAMPURILAH’ MEREKA dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) JANGANLAH KAMU ‘CAMPURI’ MEREKA itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid.

 QS. Al-Baqarah[2]: 222
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Dan janganlah kamu ‘MENDEKATI’ MEREKA, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka ‘DATANGILAH’ MEREKA itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.

QS. Al-Baqarah[2]: 236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu ‘MENYENTUH’ MEREKA dan sebelum kamu menentukan maharnya..

QS. Al-Baqarah[2]: 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu ‘MENYENTUH’ MEREKA padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. Kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Akal yang sederhana sekalipun, bisa menyimpulkan. Bahwa semua hubungan intim yang disebut Qur’an itu, adalah konsekuensi dari akad nikah. Pastinya akad nikah dulu, menentukan mahar dulu, barulah dibolehkan ‘bersentuhan’ antar laki-laki dan perempuan. Mustahil ‘bergaul’ dulu, baru akad nikah dan menentukan maharnya!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...