—Saiful Islam—
“Ungkapan Qur’an untuk menyebut
hubungan intim ini cenderung metaforis…”
“Berdasar landasan hubungan
seksual, Syahrūr menemukan dua kemungkinan: pertama, antara suami dengan istri
dan kedua antara suami dengan milk al-yamīn. Dalam dua kemungkinan
tersebut terdapat hubungan seksual. Hal ini sangat jelas dalam firman-Nya: “...kecuali
terhadap istri-istri mereka atau milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut
terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri) dan antara milk
al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang
mempersatukan di antara kesemuanya adalah hubungan seksual.” Sebagaimana
ditulis Abdul dalam Disertasinya halaman 178.
Sekali lagi, itu tidak benar. Yang
mempersatukan kesemuanya, itu bukan hubungan seksual. Tetapi akad nikah.
QS.23:6 itu hanya menginfokan bahwa Kaum Mukminin itu memang boleh berhubungan
intim. Selain dengan istri mereka, juga dengan milkul yamin diperoleh dari
rampasan perang. Tetapi bukan berarti langsung dipahami tanpa akad nikah. Tetap
akad nikah. Apalagi redaksi akad nikah itu ada dalam Qur’an. Yaitu ‘uqdah
al-nikaah (QS.2:235 dan QS.2:237).
Yang pasti, nikah itu beda dengan
hubungan seksual. Nikah bukan hubungan seksual. Hubungan seksual juga bukan
nikah. Secara bahasa, nikah memang bisa untuk maksud hubungan seksual. Tetapi
itu makna kiasan. Majas. Bukan makna sebenarnya. Asalnya, nikah itu memang
untuk makna akad. Tidak bisa kita mengalihkan kata pada makna majasnya. Sampai
ada konteks yang membuat tidak bisa dimaknai secara hakikatnya.
Sedangkan semua kata nikah dalam
ayat-ayat Qur’an sendiri, itu tidak ada konteks yang mengharuskan kita untuk
memahaminya secara majas. Maka, kita harus mengembalikannya kepada makna
asalnya. Yakni akad. Jadi baru akad. Belum sampai berhubungan seksual.
Begitu juga kata zawj. Atau al-zawjiyah.
Tidak sama dengan hubungan seksual. Beda. Terserah zawj mau dimaknai
yang mana: pasangan, istri, jodoh, kawin, status sudah punya pasangan, dan lain
seterusnya. Secara langsung, kata zawj dan derivasinya itu memang bukan
bermakna hubungan seksual. Apalagi dalam Qur’an. Tidak akan pernah kita
menemukan makna zawj adalah hubungan seksual.
Sebaliknya. Untuk menggambarkan
hubungan seksual, Qur’an punya istilah sendiri. Biasanya memang, Qur’an
menyebut hubungan seksual ini dengan ungkapan halus. Tidak vulgar. Cenderung
metafor. Isti’aroh, majas, atau kiasan. Misalnya mass, lams,
dakhola, taghosysya, dan lain-lain. Lebih jelasnya sebagai
berikut.
QS. Al-Nisa’[4]: 43
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ
أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau KAMU TELAH ‘MENYENTUH’
PEREMPUAN, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
QS. Al-Maidah[5]: 6
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ
أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau ‘MENYENTUH’ PEREMPUAN,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
QS. Maryam[19]: 20
قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ
لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: "Bagaimana
akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang TIDAK PERNAH SEORANG MANUSIAPUN ‘MENYENTUHKU’
dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
QS. Mujadilah[58]: 3
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ
مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak SEBELUM KEDUA SUAMI ISTERI ITU ‘SALING
BERSENTUHAN’.
QS. Mujadilah[58]: 4
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut SEBELUM
KEDUANYA ‘SALING BERSENTUHAN’.
QS. Al-A’raf[7]: 189
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ
مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ
حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا
صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah yang menciptakan kamu dari
diri yang satu. Dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya, agar ia merasa
senang kepadanya. MAKA SETELAH ‘DICAMPURINYA’, ISTERINYA ITU MENGANDUNG KANDUNGAN
YANG RINGAN, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala ia
merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah
Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
QS. Al-Nisa’[4]: 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ
أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal SEBAGIAN KAMU TELAH ‘BERGAUL’ DENGAN YANG LAIN SEBAGAI
SUAMI-ISTERI. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat.
QS. Al-Nisa’[4]: 23
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي
فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari ISTERI YANG TELAH KAMU ‘MASUKI’. Tetapi jika kamu belum ‘MEMASUKI’
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya..
QS. Al-Nisa’[4]: 24
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Maka ISTERI-ISTERI YANG TELAH KAMU ‘NIKMATI’
di antara mereka, berikanlah kepada mereka upahnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan upah itu..
QS. Al-Baqarah[2]: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ
لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari bulan puasa ‘BERCAMPUR’ DENGAN ISTERI-ISTERI KAMU; mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu
tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang ‘CAMPURILAH’ MEREKA dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) JANGANLAH KAMU ‘CAMPURI’ MEREKA itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam masjid.
QS. Al-Baqarah[2]: 222
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ
يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Dan janganlah kamu ‘MENDEKATI’ MEREKA,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka ‘DATANGILAH’ MEREKA itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
QS. Al-Baqarah[2]: 236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu ‘MENYENTUH’
MEREKA dan sebelum kamu menentukan maharnya..
QS. Al-Baqarah[2]: 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu ‘MENYENTUH’ MEREKA padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu. Kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
segala apa yang kamu kerjakan.
Akal yang sederhana sekalipun, bisa
menyimpulkan. Bahwa semua hubungan intim yang disebut Qur’an itu, adalah
konsekuensi dari akad nikah. Pastinya akad nikah dulu, menentukan mahar dulu,
barulah dibolehkan ‘bersentuhan’ antar laki-laki dan perempuan. Mustahil ‘bergaul’
dulu, baru akad nikah dan menentukan maharnya!
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar