Sabtu, 30 November 2019

QUR’AN MENEGUR NABI


—Saiful Islam—

“Bahkan Sunnah pun, itu bukan wahyu. Tapi murni ijtihad Nabi…”

Nabi itu memang manusia biasa. Yang mempunyai nafsu dan akal. Layaknya manusia-manusia yang lain. Beliau makan dan minum. Beliau tidur. Beliau menikah. Beliau beraktivitas. Cuma satu yang membedakan beliau dengan kita. Yaitu beliau mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah. Yakni Qur’an (QS.18:110).

Mendapat Qur’an, itu sama sekali bukan keinginan Nabi. Muhammad SAW tidak pernah berharap mendapat Qur’an itu. Itu murni hak prerogatif Tuhan menurunkan kalimat-kalimat-Nya kepada seseorang yang Dia kehendaki.

QS. Al-Qashash[28]: 86
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ
DAN KAMU TIDAK PERNAH MENGHARAP AGAR QUR’AN DITURUNKAN KEPADAMU. Tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. Sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.

Bahkan Qur’an pernah menegur Nabi. Ya, Anda tidak salah baca. Saya juga tidak salah tulis. Qur’an menegur Nabi! Berarti ada yang keliru dengan Nabi. Dalam dua Surat berikut ini.

QS. ‘Abasa[80]: 1 – 12
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ
1.      Dia (Muhammad) BERMUKA MASAM DAN BERPALING.

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ
2.      Karena telah datang seorang buta kepadanya (‘Abdullah bin Ummi Maktum).

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ
3.      Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
4.      Atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ
5.      Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy).

فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ
6.      Maka kamu melayaninya.

وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ
7.      Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman).

وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ
8.      Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

وَهُوَ يَخْشَىٰ
9.      sedang ia takut kepada (Allah),

فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ
10.  maka KAMU MENGABAIKANNYA.

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
11.  SEKALI-KALI JANGAN (DEMIKIAN)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.

فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ
12.  Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.

QS. Al-Tahrim[66]: 1
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai Nabi. Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS.66:1 adalah Surat makkiyah. Diturunkan sebelum hijrah. Sedangkan QS.80:1-12 adalah Surat madaniyah. Turun setelah hijrah. Tidak diragukan lagi, Muhammad SAW sudah menjadi Nabi saat itu. Maka, sebagai manusia biasa, meskipun telah menerima Qur’an, Nabi bisa keliru. Itu artinya, tidak benar, bahwa Sunnah adalah wahyu. Apalagi Hadis.

Jadi, ketika Nabi mengharamkan (QS.66:1), pengharaman Nabi itu bukan berdasar Qur’an. Bukan wahyu. Tetapi murni ijtihad Nabi sendiri. Karenanya bisa salah. Kemudian dikoreksi oleh Qur’an. Kalau betul pengharaman Nabi itu adalah wahyu yang tak tertulis, tentunya pasti benar. Dan tak perlu ditegur oleh Qur’an (QS.66:2).

Begitu juga dalam QS.80:1-12 itu. Ketika Nabi gak patek ngereken (berpaling) Ibnu Maktum yang buta itu. Sampai disebut Qur’an, Nabi berwajah kecut. Karena lebih mempedulikan para pembesar Quraisy. Langsung ditegur Qur’an, “Sekali-kali jangan begitu!” Artinya, sikap dan perbuatan Nabi itu keliru. Jadi tidak benar kalau Sunnah adalah wahyu. Masak wahyu salah?!

Sekali lagi, wahyu itu ya cuma Qur’an saja. Sunnah bukan wahyu. OK. Tetapi fungsi beliau sebagai penyampai Qur’an—karenanya disebut Rasul—Nabi tidak pernah salah. Tidak pernah keliru. Nabi tidak pernah lupa Qur’an, meski satu hurufnya (QS.87:6). Semua wahyu dari Allah, itu sudah komplit. Tidak kurang, tidak lebih. Tidak ada wahyu lain, selain Qur’an (QS.6:115).

Kemanusiaan Nabi itu, bukan hanya ketika beliau belum menjadi Rasul. Di usia sekitar 40 tahun itu. Meskipun beliau mendapatkan Qur’an, lantas menjadi Rasul, Nabi tetap manusia biasa. Beliau bisa senang, bisa susah. Bisa bersuka, bisa berduka. Kadang bahagia, kadang sedih. Bisa sakit. Bahkan bisa kalah dalam peperangan.

Yang diingkari oleh para rival Nabi, itu ya Qur’an. Kerasulan Muhammad. Mereka menuntut bukti kepada Nabi dengan hal-hal yang non manusiawi. Dikiranya, kalau benar menjadi utusan Allah (Rasul Allah), itu harus tidak manusiawi. Harus bisa melakukan hal-hal yang magic. Harus tidak makan dan minum. Harus tidak berjalan di pasar. Harus tidak menikah. Intinya, harus tidak manusiawi. Digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-Furqan[25]: 7 – 8
وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا
7. Dan mereka (para rival Nabi) berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?

أَوْ يُلْقَىٰ إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا ۚ وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَسْحُورًا
8. “Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?" Dan orang-orang yang zalim itu berkata: "Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.”

Qur’an telak sekali memberi jawaban pertanyaan para pengingkar seperti itu. Sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-An’am[6]: 50
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
KATAKANLAH: “Aku TIDAK mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku. Dan TIDAK (pula) AKU MENGETAHUI YANG GAIB. Dan TIDAK (pula) AKU MENGATAKAN KEPADAMU BAHWA AKU SEORANG MALAIKAT. AKU TIDAK MENGIKUTI KECUALI APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"

Makanya beberapa kali Qur’an menginformasikan bahwa Nabi hanyalah penyampai risalah. Penyampai Qur’an kepada umat manusia. Tidak lebih, tidak kurang. Nabi tidak bertanggung jawab, apakah mereka menjadi mendapat petunjuk, ataukah mereka tetap sesat (27:92). Beriman atau tidak, itu murni pilihan mereka sendiri (QS.18:29).

Karena mendapat Qur’an itulah, Nabi lantas shalat. Karena Qur’an memerintahkan shalat (QS.2:43). Nabi lantas puasa Ramadan. Karena Qur’an memerintahkan puasa Ramadan (QS.2:183). Nabi kemudian berhaji. Karena Qur’an memerintahkan haji (QS.3:97). Nabi berzakat. Karena Qur’an memerintahkan zakat (QS.9:103).

Nabi lantas juga tahu hal-hal gaib. Hal-hal metafisika. Nabi tahu gambaran surga, gambaran neraka, ada timbangan amal perbuatan (mizan), bahwa ada malaikat, Allah dan perbuatan-perbuatan-Nya, ada pahala, dan gambaran-gambaran metafisika yang lain. Karena Qur’an yang menginformasikannya. Semua itu diketahui Nabi, itu SEBATAS info dari Qur’an saja (QS.6:50).

Tanpa Qur’an, Nabi tidak akan tahu hal-hal eskatologi seperti itu. Karenanya, sulit dipercaya jika ada Hadis-Hadis yang berbicara hal-hal tersebut yang tidak ada cantolannya dari Qur’an. Pasti bertentangan dengan QS.6:50 itu. Bahwa soal metafisika tersebut, Nabi hanya mengikuti Qur’an saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...