—Saiful Islam—
“Tidak perlu nggetu-nggetu berprinsip
dengan hadis-hadis. Sampai mem-bid’ah-bid’ah-kan yang lain. Seng penting onok
hadise, atau niro wong Madinah, yoweslah. lumayan!”
Dengan tulisan-tulisan sebelumnya,
tampaknya sudah sangat jelas. Bahwa Hadis-Hadis, itu memang bukan wahyu. Sudah
cukup untuk membuktikan bahwa Hadis-Hadis, memanglah bukan wahyu. Tidak semua
yang diucapkan, disikapi, dan diputuskan Nabi adalah wahyu. Yang wahyu itu
hanyalah Qur’an saja. The one and only wahyu itu ya Qur’an itu saja.
Tidak ada wahyu yang sampai ke Nabi
selain Qur’an. Tidak ada wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an. Tidak ada
wahyu yang tidak tertulis. Semua wahyu sudah tertulis semua. Yakni Qur’an.
Sudah komplit Qur’an ini. Tidak ada kurang meski satu hurufnya. Firman Tuhan
sudah komplit. Sudah sempurna. Tidak ada sedikit pun yang dilupakan oleh Nabi.
Juga sudah komplit dan sempurna disampaikan
beliau SAW untuk kita, umatnya. Supaya Qur’an itu dijadikan referensi utama dalam
hidup dan kehidupan kita. Menjadi kiblat utama hati dan akal kita. Semua
rujukan doktrin Islam, sekali lagi semuanya, itu zhann. Kebenarannya itu
hanya sebatas dugaan saja. Yang pasti benarnya, memang hanya Qur’an. Pasti
keluar dari mulut Rasulullah SAW yang amat kita cintai itu.
Biasanya yang dijadikan andalan
untuk membantah kesimpulan-kesimpulan saya itu, adalah Hadis-Hadis teknis ibadah
mahdhah. Yaitu teknis shalat, zakat, puasa, dan teknis (manasik) haji. Dianggap
teknis-teknis ibadah tersebut tidak ada dalam Qur’an. Lantas ujug-ujug
disimpulkan bahwa ada wahyu lain selain Qur’an. Ada wahyu yang tidak tertulis. Ada
wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an. Lalu memaksakan QS.53:3-4 sebagai
pembenar bahwa semua Hadis-Hadis (termasuk Hadis Qudsi) yang sahih adalah
wahyu. Tentu saja, tidak benar. Karena pasti bertabrakan dengan ayat-ayat yang
saya tulis pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Pertama, jangan
gampangan mengatakan semua teknis ibadah mahdhah tersebut, itu tidak ada dalam
Qur’an. Kita ambil contoh teknis salat misalnya. Pernah saya mendengar
Sejarawan Barat yang menjeneralisir bahwa salat itu tidak ada dalam Qur’an.
Salat dalam Islam, itu hanya Tradisi (Hadis). Tak sedikit juga kaum Mukminin
yang ‘pukul rata’ begitu, bahwa teknis salat tidak ada dalam Qur’an.
Memang ada benarnya. Tapi juga ada
salahnya. Ini yang saya maksud, hati-hatilah dengan pernyataan: teknis salat
itu tidak ada dalam Qur’an. Teknis salat, itu memang tidak ada dalam Qur’an. Itu
hanya yang tidak substansial. Teknis salat yang paling substansial
(isi/pokok/inti) itu ada dalam Qur’an. Yaitu sujud, rukuk, bertasbih (memuji
dan mengagungkan-Nya).
Sujud, misalnya QS.
Fushshilat[41]: 37
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ
وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ
إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian bersujud
kepada matahari maupun bulan. TETAPI BERSUJUDLAH KEPADA ALLAH YANG MENCIPTAKAN
SEMUA ITU, jika hanya kepada-Nya saja kalian menyembah.
Rukuk, misalnya QS. Al-Hajj[22]:
77
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, RUKUKLAH
KALIAN, SUJUDLAH, SEMBAHLAH TUHAN KALIAN, dan berbuatlah kebajikan, supaya
kalian mendapat kemenangan.
Bertasbih (menquduskan Allah),
misalnya QS. Thaha[20]: 130
فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا
يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ
غُرُوبِهَا ۖ وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ
تَرْضَىٰ
Maka sabarlah kamu atas apa yang
mereka katakan. Dan BERTASBIHLAH DENGAN MEMUJI TUHANMU, sebelum terbit matahari
dan sebelum terbenamnya. Dan BERTASBIHLAH juga pada waktu-waktu di malam hari,
dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang (puas).
Begitu juga, banyak yang ceroboh
bahwa waktu salat itu juga tidak ada dalam Qur’an. Sekali lagi, jangan ujug-ujug
mengatakan teknis-teknis ibadah mahdhah itu, tidak ada dalam Qur’an sebelum
mengeceknya langsung. Atau jangan-jangan mereka telah mencuekin Qur’an?
Dan ujug-ujug suibuk dengan Hadis-Hadis? Menjadikan Qur’an nomer 2 di
bawah Hadis-Hadis? Berikut bahwa waktu salat yang lima waktu itu ada dalam Qur’an!
QS. Al-Isra’[17]: 78
أَقِمِ الصَّلَاةَ
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ
الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah salat DARI SESUDAH
MATAHARI TERGELINCIR (DHUHUR DAN ASAR) SAMPAI GELAP MALAM (MAGRIB DAN ISYA’)
DAN (DIRIKANLAH PULA SALAT) SUBUH. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).
QS. Hud[11]: 114
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
Dan dirikanlah salat itu PADA KEDUA
TEPI SIANG (SUBUH DAN ASAR) DAN PADA BAGIAN PERMULAAN MALAM (MAGRIB DAN ISYA’).
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
QS. Al-Rum[30]: 17
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ
تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ
Maka bertasbihlah kepada Allah DI
WAKTU KAMU BERADA DI PETANG HARI (MAGRIB DAN ISYA’) DAN WAKTU KAMU BERADA DI
WAKTU SUBUH.
QS. Al-Nisa’[4]: 103
فَإِذَا قَضَيْتُمُ
الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا
اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah
menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di
waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat
itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya SALAT ITU ADALAH FARDHU YANG DITENTUKAN
WAKTUNYA atas orang-orang yang beriman.
Adapun teknis salat yang tidak
substansial, seperti posisi tangan ketika takbiratul ihram, posisi tangan
bersedekap (sendakep, jare wong Jowo), bacaan-bacaan tasbih, i’tidal dan
bacaan-bacaannya, itu memang bisa berbeda-beda. Posisi tangan ketika sujud. Ketika
mau sujud tangannnya dulu sampai lantai atau dengkulnya dulu. Dan seterusnya. Tidak
masalah. Semua ini, memang teknis yang tidak substansial. Dan itu dilakukan
Nabi berdasar ijtihad beliau sendiri. Bukan karena ada wahyu lain selain Qur’an.
Makanya, Imam Malik dengan Imam
Syafi’i misalnya, itu bisa berbeda terkait teknis-teknis yang tidak substansial
ini. Karena Imam Malik lebih percaya pada praktik turun temurun orang-orang
Madinah, sedangkan Imam Syafi’i lebih menggunakan Hadis-Hadis. Tetapi yang
jelas, para Imam yang kita hormati tersebut, itu salat. Sujud. Rukuk. Bertasbih
dan memuji Allah! Makanya, tidak perlu nggetu-nggetu berprinsip dengan
Hadis-Hadis. Sampai-sampai membid’ah-bid’ah-kan yang lain. Seng penting onok
Hadise, atau niro wong Madinah, yoweslah. Lumayan! Kecuali misalnya ada
orang sujud dengan salto dan kayang. Hehe. Nah itu boleh kalian bid’ahkan, sah
kalian sesatkan.
Kedua, ada kawan
yang meminta menunjukkan dasar saya bahwa Nabi terinspirasi oleh Qur’an. Memang
secara tekstual, tidak ada ayat yang berbunyi misalnya: “Sesungguhnya
Rasulullah itu terinspirasi oleh Qur’an.” Ya, tidak ada. Tetapi memahami Qur’an,
selain secara komprehensif, itu juga harus kontekstual. Mengumpulkan ayat-ayat
terkait (tadabbur), dipertimbangkan secara konteksual, barulah diambil
kesimpulan.
Dasar saya bahwa Nabi itu
terinspirasi oleh Qur’an adalah teknis ibadah mahdhah Nabi yang tidak
substansial itu sendiri. Seperti teknis salat Nabi yang tidak substansial
tersebut. Seperti posisi sendakep tangan di pusar perut, atau di dada,
atau miring di perut bagian pinggir kiri. Tidak ada semua itu dalam Qur’an. Kok
bisa berbeda-beda begitu? Ya itu karena Nabi terinspirasi oleh perintah salat
dalam Qur’an. Misalnya QS.2:43 berikut ini.
QS. Al-Baqarah[2]: 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
DAN DIRIKANLAH SALAT, TUNAIKANLAH
ZAKAT DAN RUKUKLAH BESERTA ORANG-ORANG YANG RUKUK.
Jadi teknis salat Nabi yang tidak
substansial tersebut, itu terinspirasi oleh Qur’an. Bukan karena wahyu lain yang
berdiri sendiri, yang tidak tertulis.
Kawan lain berkomentar. “Wah,
terinspirasi oleh Qur’an? Kalau begitu apa bedanya Syahrur dengan Nabi?”
Oh, beda sekali. Pertama, kalau
inspirasi Nabi salah, maka langsung ditegur oleh Allah. Kalau Syahrur, dan
siapa pun yang selain Nabi, itu tidak ditegur langsung oleh Allah. Kedua, yang
berhak berjitihad soal teknis salat adalah Nabi SAW saja. Syahrur, dan siapa
pun yang selain Nabi, tidak berhak. Misalnya salat dengan Bahasa Inggris, hehe,
ya haram.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar