—Saiful Islam—
“Bahkan ada juga Sunnah Nabi, yang
itu HARUS TIDAK diikuti malah…”
Jadi tidak benar kalau al-Hikmah ujug-ujug
dipahami sebagai Sunnah Nabi. Dianggap sebuah wahyu yang berdiri sendiri selain
Qur’an. Sebuah wahyu tak tertulis yang antah berantah.
Allah itu menurunkan al-Kitab dan
al-Hikmah. Yakni teks ayat-ayat Qur’an dan kandungan maknanya. Allah tidak
menurunkan al-Kitab sendiri. Kemudian menurunkan al-Hikmah sendiri. Tidak
begitu. Allah menurunkan al-Kitab, yakni teks Qur’an, sekaligus kandungan
maknanya. Jadi sebenarnya, Allah menurunkan satu paket.
Yang Allah turunkan adalah al-Kitab
dan al-Hikmah. Allah tidak menurunkan al-Kitab dan Sunnah Nabi. Sunnah Nabi itu
murni adalah ijtihad Nabi. Jika beliau terinpirasi oleh Qur’an, atau beliau ‘menafsiri’
Qur’an, maka sudah pasti benarnya. Fungsi beliau sebagai utusan Allah. Maka
Sunnah yang demikian, itu wajib kita ikuti.
Adapun Sunnah Nabi yang itu terkait
sebatas kemanusiaan beliau, maka Sunnah yang demikian tidak harus diikuti. Boleh
diikuti, boleh tidak. Bahkan ada Sunnah Nabi, yang itu harus tidak diikuti
malah. Seperti perempuan Mukminah yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi. Maka
itu halal bagi beliau SAW jika beliau berkehendak untuk menikahinya. “Khaalishatan
lak min duun al-mu’miniin,” begitu kata QS.33:50. Itu hanya halal bagi
Nabi. Tapi haram bagi kita.
Jadi, Sunnah Nabi yang harus dan
wajib diikuti itu disebut Sunnah Tasyri’iyah. Yakni Sunnah Nabi yang
terkait risalah Tuhan. Atau Sunnah Nabi yang terkait dengan fungsi beliau sebagai
Rasul Allah. Sedangkan Sunnah Nabi yang tidak harus bahkan haram diikuti, itu
disebut Sunnah Ghayr Tasyri’iyyah. Tidak betul kalau semua ucapan Nabi
itu terkait dengan syariat. Maka pasti tidak benar jika disebutkan bahwa Sunnah
Nabi adalah wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an.
Kalau benar Allah juga menurunkan
wahyu yang berupa Sunnah Nabi, maka sudah pasti semua ucapan, ketetapan, dan
perbuatan Nabi itu ‘selalu benar’. Tetapi faktanya, Allah masih menegur Nabi.
Berarti ada yang ‘keliru’ dengan Sunnah Nabi. Dan kalau saja benar bahwa Sunnah
Nabi adalah wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an, maka pasti semua Sunnah
harus dan wajib diikuti oleh Kaum Mukminin. Nyatanya, ada Sunnah Nabi yang
malah haram kalau kita ikuti.
Kalau Hadis? Kalau Hadis, ya malah
sudah pasti dan pasti bukan wahyu. Wong Hadis itu artinya berita. Hadis
Nabi, berarti berita tentang Nabi. Hadis-Hadis itu, ditulis oleh para penulis
Hadis. Jelas para penulis Hadis tersebut tidak diberi wahyu (secara teologis
sebagaimana wahyu Qur’an) oleh Allah untuk menulis Hadis. Malah ketika Nabi
masih hidup, dalam proses pewahyuan Qur’an, beliau SAW melarang para Sahabatnya
menulis yang selain Qur’an. Termasuk melarang menulis Hadis.
Hadis-Hadis itu murni karya para
penulis Hadis atau para ulama Hadis yang tidak dikawal oleh Rasulullah. Karenanya,
Hadis-Hadis itu ada yang hoax. Yang mengatakan Hadis itu wahyu atau
penulisnya terinspirasi oleh wahyu, itu sama dengan keyakinan Klaus, teman saya
yang pastur itu. “Bible itu, memang bukan firman Tuhan. Ditulis belakangan. Tetapi
para penulis Bible, itu diinspirasi oleh Roh Kudus,” begitu katanya kurang
lebih.
Sebenarnya, tulisan kawan tentang
al-Hikmah, itu di awal sudah benar. Bahwa Allah menurunkan Al-Kitab dan
al-Hikmah. Dengan mendasarkannya pada QS.2:231 dan QS.4:113. Tetapi mulai
meleset, ketika dia mengutip QS.33:34.
Begini pernyataannya yang meleset
dan cenderung dipaksakan: “Bukti nyata bahwa maksud dari al-Hikmah yang
diturunkan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah
as-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hanyalah Al-Qur`ân dan as-Sunnah.”
Semakin parah melesetnya itu ketika
ia membuat kesimpulan begini: “Dengan demikian, Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berasal dari Allah Ta’ala sebagaimana Al-Qur`ân. As-Sunnah
merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana Al-Qur`ân. Oleh karena itu, Keduanya Memiliki KEDUDUKAN YANG SAMA
Sebagai Hujjah (Argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.”
Kesimpulan seperti itu, seakan-akan
ada teks Qur’an dan juga ada teks Hadis. Tentu, ini tidak benar. Ketika beliau
SAW masih hidup, itu tidak ada teks wahyu selain Qur’an. Jadi yang dibaca di rumah-rumah
istri Nabi, itu ya teks Qur’an itu sendiri. Al-Hikmah di situ, adalah kandungan
maknanya yang bisa jadi memang lebih luas. Yakni tafsiran Nabi.
Tidak benar kalau al-Hikmah yang
dibacakan di rumah istri-istri Nabi, itu dipahami sebagai teks Hadis. Kenapa? Semua
teks Hadis yang kita kenal sekarang, itu TIDAK ADA ketika Nabi masih hidup. Jangankan
zaman Nabi (w. 632 M), wong zaman Imam Abu Hanifah (w. 767 M), Imam
Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Ahmad (w. 855 M) saja, itu
TIDAK ADA Kutub al-Sittah: Bukhari (w. 870 M), Muslim (w. 875 M), Ibnu
Majah (w. 887 M), Abu Dawud (w. 889 M), Tirmidzi (w. 892 M), dan Nasa’i (w. 915
M). Karenanya memang, para imam mazhab itu tidak pernah memakai Hadis-Hadis Kutub
al-Sittah.
Indikasi pikiran penulisnya yang
meleset itu adalah kalimatnya: “Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berasal dari Allah Ta’ala SEBAGAIMANA Al-Qur`ân.” Nah jelas, kata ‘sebagaimana’
menunjukkan bahwa menurutnya ada wahyu lain selain Qur’an. “As-Sunnah merupakan
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
Al-Qur`ân,” tentu ini tidak benar.
Semakin jelas kesalahan itu ketika
disebutkan: “Keduanya (Qur’an dan Sunnah Nabi) memiliki kedudukan yang sama
sebagai hujah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.” Qur’an dan Sunnah
Nabi, itu kedudukannya TIDAK SAMA. Berbeda. Ya, Qur’an dan Sunnah Nabi, itu
kedudukanya TIDAK SEDERAJAT. Kedudukan Qur’an dan Sunnah Nabi, itu bertingkat.
Qur’an nomor 1. Sedangkan Sunnah Nabi nomor 2, setingkat di bawah Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar