—Saiful Islam—
“Cukup aneh. Kalau sebuah Hadis
tidak ada dalam Muwatta’, tetapi tiba-tiba muncul dalam Tarikh Shoghir Bukhari,
Al-Kabir Thobroniy, Al-Mustadrak Hakim, dan seterusnya yang lebih belakangan…”
Bagaimana dengan teknis zakat
secara detail dan spesifik? Apakah teknis zakat itu wahyu lain selain Qur’an?
Masalah kedua yang sering disalah
kaprahi adalah teknis zakat yang dianggap bersumber dari wahyu antah berantah
selain Qur’an. Dikira Nabi SAW dapat wahyu lain selain Qur’an ketika beliau
praktek berzakat itu.
Yang paling penting untuk
disampaikan pertama kali adalah bahwa perintah zakat itu ada dalam Qur’an.
Bahwa zakat itu memang wajib. Tidak ada keraguan lagi. Bertaburan ayat-ayatnya
kalau kita mau searching. Misalnya QS.2:43, 83, 110, 277; QS.4:77;
QS.9:5,11; QS.22:41, 78; QS.24:56; QS.58:13, dan lain-lain.
QS. Al-Hajj[22]: 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ
حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ
وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kam. Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia. Maka dirikanlah salat, TUNAIKANLAH ZAKAT dan berpeganglah kamu
pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu. Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong.
Zakat menurut al-Raghib
al-Asfahaniy dalam Al-Mufradat-nya, diartikan begini. Zakat itu asalnya
berarti tumbuh yang menghasilkan berkah (tambahnya kebaikan) dari Allah. Makna
ini lantas dipakai untuk urusan-urusan dunia (fisik) sampai urusan akhirat
(metafisik). Jika dikatakan, “Tanaman zakaa yazkuw,” maka tanaman
tersebut tumbuh subur, berkembang yang menghasilkan keuntungan dan keberkahan
(manfaat).
Menurut Qur’an sendiri, inti zakat
adalah menyalurkan atau menunaikan atau membayarkan sebagian harta yang
dimiliki sebagai keharusan atau kewajiban dari Allah. Sebagaimana disebut dalam
QS.9:103 dan QS.9:60.
QS. Al-Taubah[9]: 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat DARI SEBAGIAN HARTA
MEREKA, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
QS. Al-Taubah[9]: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, SEBAGAI SUATU KETETAPAN YANG DIWAJIBKAN ALLAH, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Yang tak kalah pentingnya adalah
ini. Kita mesti sadar, bahwa harta yang kita miliki itu tidak semuanya milik
kita. Tetapi memang ada hak orang lain yang harus dan wajib diberikan. Disebutkan
misalnya QS.70:24-25 dan QS.2:177.
Di depan sudah saya sampaikan juga.
Berdasar QS.17:26, 27, dan 29, di dalam harta kita, itu sebenarnya ada hak-hak
orang lain. Yang mesti diberikan kepada mereka. Yaitu kerabat atau saudara
dekat yang mengalami kesulitan ekonomi, orang-orang miskin (dhu’afa),
dan Ibnu Sabil (seperti pelajar, santri, mahasiswa yang membiayai sendiri, dan
orang-orang baik penempuh perjalanan yang ‘kekurangan’ bekal).
Pada QS.9:60 di atas juga disebutkan
tentang siapa saja yang berhak menerima zakat. Yaitu: “Hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan.”
Bukan hanya itu. Untuk apa tujuan
zakat itu, juga disebutkan dalam Qur’an. Seperti ditunjukkan oleh QS.9:103 di
atas. Yaitu: “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
Jadi sebenarnya, esensi dan
substansi dari zakat, itu sudah komplit dalam Qur’an itu sendiri. Barulah
secara teknis operasional yang detail dan spesifik, tentang zakat ini disebutkan
dalam Hadis-Hadis.
Catatan pertama. Mestinya soal
teknis zakat yang spesifik ini, kita harus merujuk Hadis-Hadis dalam Muwatta’
karya Imam Malik terlebih dahulu. Jangan langsung Bukhari dan Muslim atau Kutub
al-Sittah. Kenapa? Karena Imam Malik (w.179 H) itu asli orang Madinah yang
lahir dan wafat di Madinah. Sementara Rasulullah SAW, itu juga 10 tahun
terakhir hidupnya, sampai wafatnya ya di Madinah. Maka logis, jika praktek-praktek
beragama Rasulullah itu langsung ditiru oleh orang-orang Madinah. Terus turun
temurun sampai Imam Malik menulis Muwatta’ dan terus turun temurun
sampai sekarang.
Kan aneh (cukup meragukan). Jika misalnya
sebuah Hadis tidak ada dalam Muwatta’. Tetapi tiba-tiba muncul dalam Tarikh
Shoghir Bukhari (orang Uzbekistan--yang wafat tahun 256 H), Al-Kabir
Thobroniy (wafat di Isfahan/Iran pada tahun 360 H), Al-Mustadrak Hakim (juga
orang Iran yang wafat pada tahun 405 H), dan seterusnya yang lebih belakangan?!
Catatan kedua. Kalau bisa jangan
langsung merujuk Imam Syafi’i atau ulama-ulama Syafi’iyyah. Kenapa? Karena
secara geografis dan periodik, Imam Syafi’i (w. 204 H) itu lahir di Gaza,
Palestina dan wafat di Mesir. Cukup jauh dari sumber utama—Nabi SAW. Jelas Imam
Malik lebih mendekati sumber utama itu daripada Imam Syafi’i. Lagi pula, Imam
Syafi’i itu muridnya Imam Malik.
OK. Saya lantas membaca Muwatta’
Imam Malik tersebut. Disebutkan beberapa Hadis tentang teknis spesifik zakat
ini yang saya duga (ingat Hadis tetap dalam posisinya yang zhanny)
dipraktekkan oleh Nabi SAW. Misalnya tentang bentuk atau berupa apa zakat itu.
Yaitu pertanian (al-harts), emas dan perak (al-‘ayn), dan al-maasyiyah
(unta, sapi, dan domba).
Kemudian juga disebutkan Hadis
tentang berapa ukuran harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Yaitu tidak wajib
zakat unta yang kurang dari lima dzawd (3 sampai 5), tidak wajib zakat
emas dan perak yang kurang dari lima awaaq (40 dirham), dan tidak wajib
zakat hasil pertanian yang kurang dari lima awsuq (60 sha’).
Menurut Mazhab Malikiy, 1 sha’
itu sama dengan 2,7 kilo gram (kg). Ukuran ini antar Mazhab berbeda-beda.
Mazhab Syafi’i 1 sha’ sama dengan 2,75 kg. Dan Mazhab Hambali 1 sha’ sama
dengan 2,2 kg.
OK, itu sekedar contoh saja. Kita
akan menganalisis dan mengambil pelajaran dari fenomena tersebut.
Saya juga membaca Kitab al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdur Rahman al-Jaziriy. Diceritakan di sini
soal zakat itu lebih detail dan rinci lagi. Terjadi perbedaan-perbedaan
pendapat di sini. Antara Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Tambahan ‘iyyah’ (seperti Hanafiyyah,
dan seterusnya) di situ sudah menunjuk pada sekelompok orang yang bermazhab,
bukan spesifik kepada imam yang bersangkutan lagi. Bahkan perdebatan yang
semakin panjang dan lebar itu sudah tidak lagi menyertakan Hadisnya, apalagi
Qur’an-nya. Tampkanya memang, karena munculnya masalah-masalah baru, itu sudah
merupakan sunnatullah. Yang otomatis membutuhkan solusi-solusi hukum baru pula.
Analisisnya, insya Allah di
belakang.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar